"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 27 September 2010


KUNJUNGAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

Setelah hari kemarin, jum'at, 24/9/10, Pondok Pesantren Suryalaya kedatangan Menteri Agama RI, pada hari ini, sabtu, 25/09/10 sekitar pukul 18.15 WIB, Suryalaya kedatangan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh untuk bersilaturahmi dengan Pangersa Abah. Kedatangan beliau diterima langsung oleh Sekretaris Pribadi Pangersa Abah H. Baban Ahmad Jihad S.B. Ar, dan Salah seorang Pengemban Amanah Pangersa Abah KH. Zaenal Abidin Anwar dan pada kesempatan itu pula beliau langsung bisa bertemu dengan Pangersa Abah..
Sambil ngobrol-ngobrol ringan di madrasah H. Baban sebagai sekretaris Pondok Pesantren Suryalaya mengundang Bapak Menteri untuk bisa hadir pada acara Wisuda Sarjana Latifah Mubarokiyah 7 Oktober mendatang dan pada acara puncak Milad 105 Suryalaya 10 Oktober mendatang..
Selepas shalat Isya, Bapak Menteri belajar dzikir (Talqin Dzikir) untuk sama-sama belajar mengamalkan ajaran TQN Pondok Pesantren Suryalaya. Setelah talqin dzikir beliau meninggalkan Pondok untuk kembali ke kediamannya di Jakarta.
Sumber:www.suryalaya.org

Minggu, 26 September 2010

Masjid Kholwat Syekh Tolhah di Cirebon ,sedang dalam perbaikan dinding depan lagi di pasang keramik.

TANGGUNG JAWAB KREATOR
Oleh: Muhammad Zuhri

Ketika bayi manusia lahir, sebuah matahari kesadaran mulai terbit dari cakrawala kehidupan. Ia datang bertitah-titah dengan segala kelembutan dan ketidaktahuannya akan arti kehadiran. Kemudian setapak demi setapak ia berusaha mengenal peta semestanya. Ia hapalkan nama-nama, ia pahami makna-makna, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.
Tak putus-putusnya ia menjamah kenyataan. Dengan rasa ingin tahunya yang besar disingkapkannya misteri demi misteri kehidupan, sampai akhirnya menjadi dewasa.
Sejak itu setiap kali ia berangkat menyatakan diri di dalam semestanya, ia mulai tertuntut berbagai tanggung jawab terhadap semua akibat yang ditimbulkan. Ia mulai merasakan beratnya bereksistensi secara otentik. Namun ia terus melangkah. Ia tahu, tidak ada jalan balik di sana. Tidak ada ruang lain baginya untuk melarikan diri. Lebih dari itu ia bahkan telah menemukan dirinya sebagai tanggung jawab itu sendiri. Seolah hidup ini memang sebuah titipan.
Sungguh telah Kami tawarkan amanat itu kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan menerimanya karena takut akan menghianatinya. Tetapi manusia bersedia memikulnya. Ia sungguh dzalim dan bodoh sekali. (Qur'an, Al-Ahzab:72)
Tetapi realita kehidupan yang kita saksikan tidak selalu tampak demikian. Hukum kehidupan tidak sekeras dan sekejam itu. Di sana banyak terdapat kelonggaran, pengampunan, dan penundaan akibat perbuatan. Di sana banyak sekali pribadi-pribadi yang lemah, sakit, tercecer dan ada pula yang terbelenggu sumpah kepada pihak yang lebih kuat. Mereka perlu mendapatkan kesempatan untuk berbenah diri supaya kemudian dapat berubah sikap.
Semua itu bisa dimaklumi karena mereka tidak berangkat bersama-sama dalam menempuh hidup, menjadi dewasa, dan menemukan identitas diri. Apalagi fasilitas hidup yang mereka miliki sangat beragam. Sejak dari potensi diri, karakter, sarana, kesempata, sampai kepada masalah yang dihadapinya tidak ada yang sama. Mereka berbeda hampir di dalam semua. Oleh karena itu setiap individu hanya dibebani untuk memikul semestanya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (lihat Qur'an, Al-Baqarah:286)
Adapun tanggung jawab bersama hanya bisa ditegakkan melewati kesepakatan terlebih dahulu. Itulah rupanya hukum keadilan yang paling dasar di dalam kehidupan ini.

Medan Tanggung Jawab
Setelah kita memaklumi keunikan setiap individu dengan tanggung jawabnya yang tak terpisahkan, kita beralih mengamati medan tanggung jawab mereka. Ketika Al-Qur'an mengidentifikasikan orang-orang lalai, tergambar di sana dimensi-dimensi tempat beroperasinya tanggung jawab.
Mereka mempunyai hati yang tidak digunakan untuk mengerti. Mereka mempunyai mata yang tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga yang tidak digunakan untuk mendengar. Seperti binatang-lah mereka, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qur'an, Al-A'raf:179)
Meskipun mereka masih dapat melangsungkan hidup secara fisikal, namun sebagai manusia sebenarnya mereka itu telah mati. Karena ruang yang dijelajahinya tinggal ruang yang bersifat fisikal. Sedang ruang gerak dan bertumbuhnya ummat manusia adalah tanggung jawab.
Ayat tersebut di atas mengisyaratkan wujudnya tiga dimensi kehidupan, dimana tanggung jawab manusia akan dioperasikan, yaitu medan operasionalnya hati, mata, dan telinga kita.
Hati bagi manusia memiliki peran sebagai pemandu dalam proses hidup.
Mata berperan sebagai alat untuk mengenal struktur semesta, dimana manusia sarana kehidupan dan pengembangan dirinya didapatkan.
Sedangkan telinga merupakan alat untuk menangkap informasi, dimana manusia dapat merespon situasi kehidupan yang melibat dirinya setiap saat.
Proses hidup, struktur semesta, dan situasi kehidupan merupakan wilayah operasionalnya tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, Allah berkenan menurunkan ayat-ayat-Nya di sana supaya ummat manusia dapat menangkap dan mengungkapkannya di dalam karya mereka.
Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di ufuk-ufuk cakrawala dan di dalam hati mereka, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwa Qur'an itu Haq. (Qur'an, Fushshilat:53)
Orientasi manusia terhadap al-afaq (struktur semesta) akan menghasilkan disiplin-disiplin ilmu dan perspektif-perspektif nilai yang bermanfaat untuk mengungkapkan Kebenaran Objektif.
Respon jiwa manusia terhadap situasi kehidupan akan menjelmakan karya-karya seni yang berguna untuk mengungkapkan Kebenaran Subjektif.
Sedang proses hidup manusia di atas jalan yang ditawarkan Al-Qur'an akan melahirkan agama yang penghayatan secara benar dan bersungguh-sungguh akan menyampaikan manusia kepada Jalan Tuhan, Hikmah, atau Kebenaran Kontekstual. (lihat Qur'an, Al-Ankabut:69)
Perjuangan mengungkapkan Kebenaran Objektif lewat penemuan ilmu, filsafat dan Kebenaran Subjektif lewat karya seni, merupakan partisipasi manusia terhadap ke-manajer-an Tuhan. Kedua karya agung manusia tersebut masing-masing menempati kutub ekstrim yang bertentangan, namun bersifat zaujain (berpasangan) seperti lazimnya wujud-wujud eksistensial di dunia. (lihat Qur'an, Adz-Dzariat:49)
Interaksi antara keduanya akan menciptakan ketegangan yang mengacu perkembangan hidup manusia. Karena situasi dilematis selalu menuntut jalan keluar yang memadai. Yaitu sebuah jalan keluar yang tidak mengorbankan salah satu dari kebenaran yang telah dilahirkan dan tidak pula berakibat memecahkan ummat manusia menjadi dua blok raksasa yang bertentangan sepanjang masa.
Perjuangan mengungkapkan Kebenaran Kontekstual lewat proses pembentukan diri yang sedemikian rupa sebagaimana dilakukan oleh para sufi, merupakan jalan keluar dari ketegangan tersebut dan sekaligus merupakan sintesa dari kedua kebenaran yang telah terungkap sebelumnya.
Sebagai sintesa, Kebenaran Kontekstual itu bersifat tunggal, seperti lazimnya wujud-wujud esensial yang lain. Kebenaran tersebut bukan lahir dari karya manusia, melainkan perwujudan partisipasi Tuhan terhadap ummat manusia.
Dan barang siapa taqwa kepada Allah (berproses dengan cara yang ditawarkan oleh Al-Qur'an). Allah akan menjadikan baginya Jalan Keluar (sintesa dari kedua kebenaran yang bertentangan) dan diberi rizki dari arah yang tak dapat diduga. (Qur'an, Ath-Thalaq:2-3)
Mengapa Allah perlu berpartisipasi terhadap ummat manusia di dalam menempuh dimensi proses dengan mengajarkan Kitab (Petunjuk Ilahi) dan Hikmah (Kebenaran Kontekstual)? (lihat Qur'an, Al-Baqarah:129). Hal itu disebabkan ummat manusia tidak memiliki pengetahuan tentang masa depan. Sebagai tandanya ia selalu mengukur masa depan dengan pola masa lalu. Akibatnya tanpa disadari mereka telah menggali kubur buat diri sendiri, yaitu bersikap membumi.
Bagaimana tidak? Masa lampau manusia lebih banyak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat duniawi yang sifatnya sangat beragam. Efek psikisnya mereka condong untuk memilih yang enak-enak, menyenangkan, ringan, mudah, dan tak banyak resiko sehingga tidak pernah mengalami proses transendensi.
Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qur'an, Al-Baqarah:216)

Lahirnya Kebenaran
Semakin jelas bagi kita bahwa apa yang harus dipertanggung-jawabkan oleh setiap kreator sehubungan dengan karyanya adalah berhasil tidaknya karya tersebut mengungkapkan kebenaran.
Dapatkah hasil karya mereka mengilhami manusia untuk hidup lebih kualifait, damai, utuh, dan lestari? Atau bahkan mereka mengacu kepada pemburuan terhadap hal-hal yang sementara, tak peduli pada nilai-nilai kemanusiaan, dan individualistis.
Bumi kita ini telah menjadi ajang perebutan kekuasaan, peperangan, dan kekacau-balauan yang sulit dimengerti, karena penghuninya tak lagi berorientasi terhadap kebenaran. Kalaupun ada yang masih tersisa dari penganut kebenaran, mereka hanya bermata sebelah.
Al-Qur'an menghimbau kepada orang-orang mukmin untuk memasuki wilayah kebenaran secara utuh dan mencegah mereka untuk mengikuti rayuan setan, yaitu bersikap menyebelah, ekstrim, dan menolak wujud kebenaran yang tak diketahuinya hanya karena kebodohan mereka. (lihat Qur'an, Al-Baqarah:207)
Beban tanggung jawab ini tertumpu di bahu kita, ummat dari kurun globalisasi yang konon potensial untuk menyelamatkan bumi dari ancaman kiamat. Tetapi bagaimana mungkin cita tersebut bisa terwujud, bila gemuruh gerak maju manusia hanya bersifat fisikal, menolak partisipasi Ilahi.
Dapatkah kebenaran kontekstual yang dulu pernah dikibarkan oleh para sufi diganti dengan otoritas lain yang bersandar kepada kepentingan duniawi dan kekuatan senjata pemusnah?
Kesadaran global macam apa yang sedang kita miliki sekarang? Amanat siapa yang sedang kita tunaikan saat ini? Dan Perwakilan (kekhalifahan) siapa yang kita perankan di atas bumi? Golongan kecil Superman atau Hawa Nafsu yang naik daun menjadi tuhan terbesar dunia, seperti kata Ibnu Arabi dari Andalusia.
Sebelum kita mengangkat bibir untuk menjawab pertanyaan tersebut, biarlah seruling An-Nifari singgah sebentar di gerbang imajinasi kita:

"Bila kamu telah berada di puncak kesadaran sebagai manusia (seorang globalis), tetapi masih juga kamu mampu melakukan pelanggaran, maka siksa yang akan menimpa dirimu akan seberat semesta ini, dan penderitaannya adalah seluruh penderitaan yang ada".
Ketika kita dengan sekian banyak pelanggaran yang tak kunjung membosankan belum juga pernah merasakan penderitaan tersebut, maka kita tergolong orang-orang yang dimudahkan Tuhan untuk mengidentifikasi diri.
Cukuplah Allah sebagai saksi!

Tabloid Hikmah, Oktober 1994.
Sumber ;WWW.pakmuh.com

Sabtu, 25 September 2010


Pintu masuk Makam Syekh Tolabudin

(Ayahanda Syekh Tolhah ) di Kalisapu Cirebon.

Para peziarah yang akan memasuki areal makam harus merunduk karena pintunya memang tak cukup untuk berjalan normal,yang mengisyaratkan kepada para peziarah untuk selalu tawadu' atau rendah hati sebagaimana di contohkan oleh Beliau sendiri .

Syawal

Bulan ini bulan Syawal yaitu dilaksanakannya shalat Idul Fitri, manusia sedunia dari mulai Nabi Adam sampai dengan manusia akhir nanti tidak ada manusia satupun yang terbuat .... semuanya dibuat, baik yang fisiknya lengkap atau yang tidak lengkap, baik yang kakinya ada ataupun tidak ada, yang tangannya lengkap ataupun tidak lengkap, semuanya diciptakan oleh Allah. Ini diangkat dalam kitab Sirrur Asror Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani yang menjadi moto utama dalam bidang tasawuf. Firman Allah :"Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun"
artinya : " Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk ibadah"
tapi itu saja belum cukup, rata-rata semua beranggapan seperti ini karena Depag menterjemahkan ayat ini hanya sebatas itu saja. Maka kebanyakan dari manusia asal sudah melaksanakan ibadah menganggap dirinya merasa telah memenuhi tugas karena terjemah DEPAG yang diterangkan oleh para penceramah di TV, Radio-radio dan mimbar-mimbar itu yang dipakai. jika kita merasa dengan sholat lima waktu, puasa ramadhan, bila telah nisab lalu berzakat dan bila kita mampu naik haji. Kita berfikir apabila telah melaksanakan semua itu saja kita telah memenuhi tugas dari Allah. Kita orang tasawuf jangan cuma sampai disitu pemikiran kita.
Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani telah menafsirkan "illa liya'budun" dalam kitab Sirrur Asror bahwa makna kalimat itu adalah liya'rifun. kalau anda ditanya kenapa "liya'budun" lamnya itu lam lita'lil, dia menasabkan ya'budun kalau fi'il mudhore dinasabkan harus hilang nunnya itu, sebab tanda sofanya itu ialah membuang nun, kenapa nun-nya masih juga tetap ada ? dijawab oleh ahli Ilmu alat, sebenarnya ujungnya itu bukan nun tapi iya, asalnya "wamaa kholaqtul jinna wal insa illa ilya'buduuniii" kenapa iya-nya dibuang apakah ada kaidah shorof dan nahwu yang membolehkan membuang iya mutakallim ? tidak ada. Lalu kenapa Allah membuang iya mutakallim ? disitu ilmunya Ilmu Saj'i (sastra). Jadi ".... Tidak Ku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk ma'rifat kepada Allah" bukan sebatas ibadah saja, banyak yang beribadah tapi tidak ma'rifat, kalau ahli ma'rifat pasti dia ahli ibadah. bila ada orang yang mengaku dirinya ma'rifat tapi tidak ibadah berarti aliran sesat. Suryalaya tidak begitu, kalau ada yang seperti itu ? itu bukan dari Suryalaya begitu saja.
Ramadhan itupun merupakan salah satu untuk mencetak manusia yaitu menjadi manusia yang bertaqwa, bagi orang yang belum belajar thareqat mungkin "La'lallakum tattaquun" sebatas menjadi orang sholeh saja, tapi untuk orang yang telah belajar thareqat harus menjadi "wasiliin" orang yang wusul kepada Allah Swt dan untuk menjadi hamba Allah yang sholeh tidak harus memiliki ilmu yang tinggi, maksudnya dengan ilmu dasar yang sedikitpun asalkan diamalkan dengan istiqomah anda bisa wusul kepada Allah, sebaliknya orang yang tinggi ilmunya tapi tidak istiqomah dalam pengamalan maka ia tidak akan wusul kepada Allah. Dalam kitab Jauhar Maknun "Kakulina Li'allimiin Dzigotillah Adzikru Miftahuliba bil Adro" banyak orang yang ilmunya tinggi tapi tidak mau belajar thareqat, tidak akan wusul kepada Allah. orang yang tidak menerima talqin dzikir thareqat muktabaroh dari mursyid, maka ia bisa jadi orang sholeh, orang baik tapi tidak akan mencapai tingkat wusul. Dalam kitab anwirul Qulub "Wa'lam annattarokiya mimma qoumin illa akhoro la budda laka minal musallik al 'arifi biakhwalin nafsi". Ketahuilah bahwa pergeseran peningkatan maqom nafsu dari satu tahap ke tahap yang lain tidak akan terwujud tanpa bimbingan guru yang mengetahui perjalanan ruh itu sendiri.
Di sampaikan oleh :K.H Zezen Zainal Abidin Bazul Ashab,pada ceramah manakib 11 syawal 1429 H , di Masjid Nurul Asror PonPes suryalaya .
Sumber WWW.suryalaya.org

Kamis, 23 September 2010


Dalam rangkaian kegiatan silaturohmi dan manakib ,hari Kamis Tanggal 16 setember 2010 M Ziarah ke Masjid Kholwat Syekh Tolhah ,Ke Makam Syekh Tolabudin dan Ke Makam Syekh Tolhah di Cirebon ,menyempatkan diri berfoto di dalam Masjid Syekh Tolhah.

Kamis, 02 September 2010


Dakwah vs Menakut-nakuti
Oleh : Dr. KH. A. Mustofa Bisri
Seorang kawan budayawan dari satu daerah di Jawa Tengah yang biasanya hanya SMS-an dengan saya, tiba-tiba siang itu menelpon. Dengan nada khawatir, dia melaporkan kondisi kemasyarakatan dan keagamaan di kampungnya.
Keluhnya antara lain,“Kalau ada kekerasan di Jakarta oleh kelompok warga yang mengaku muslim terhadap saudara-saudaranya sebangsa yang mereka anggap kurang menghargai Islam, mungkin itu politis masalahnya. Tapi ini di kampung, Gus, sudah ada kelompok yang sikapnya seperti paling Islam sendiri. Mereka dengan semangat jihad, memaksakan pahamnya ke masyarakat. Sasarannya jamaah-jamaah di masjid dan surau. Rakyat pada takut. Bahkan, na’udzu billah, Gus, saking takutnya ada yang sampai keluar dari Islam. Ini bagaimana? Harus ada yang mengawani masyarakat, Gus. NU dan Muhammadiyah kok diam saja ya?”

Kondisi yang dilaporkan kawan saya itu bukanlah satu-satunya laporan yang saya terima. Ya, akhir-akhir ini sikap perilaku keberagamaan yang keras model zaman Jahiliyah semakin merebak. Hujjah-nya, tidak tanggung-tanggung seperti membela Islam, menegakkan syariat, amar makruf nahi munkar, memurnikan agama, dsb. Cirinya yang menonjol : sikap merasa benar sendiri dan karenanya bila bicara suka menghina dan melecehkan mereka yang tidak sepaham. Suka memaksa dan bertindak keras dan kasar kepada golongan lain yang mereka anggap sesat. Seandainya kita tidak melihat mereka berpakaian Arab dan sering meneriakkan “Allahu Akbar!”, kita sulit mengatakan mereka itu orang-orang Islam. Apalagi bila kita sudah mengenal pemimpin tertinggi dan panutan kaum muslimin, Nabi Muhmmad SAW.

Seperti kita ketahui, Nabi kita yang diutus Allah menyampaikan firman-Nya kepada hamba-hamba-Nya, adalah contoh manusia paling manusia. Manusia yang mengerti manusia dan memanusiakan manusia. Rasulullah SAW seperti bisa dengan mudah kita kenal melalui sirah dan sejarah kehidupannya, adalah pribadi yang sangat lembut, ramah dan menarik. Diam dan bicaranya menyejukkan dan menyenangkan. Beliau tidak pernah bertindak atau berbicara kasar.

روى البخاري عن أنس رضي الله عنه قال: لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم سبابا ولا لماما ولا فاحشا
Sahabat Anas r.a yang lama melayani Rasulullah SAW, seperti diriwayatkan imam Bukhari, menuturkan bahwa Rasulullah SAW bukanlah pencaci, bukan orang yang suka mencela, dan bukan orang yang kasar.

وروى الترمذي عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال: لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاحشا ولا متفاحشا ولا صخابا في الأسواق
Sementara menurut riwayat Imam Turmudzi, dari sahabat Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW pribadinya tidak kasar, tidak keji, dan tidak suka berteriak-teriak di pasar.

Ini sesuai dengan firman Allah sendiri kepada Rasulullah SAW di Q. 3: 159, “Fabima rahmatin minallaahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhalqalbi lanfadhdhuu min haulika …” , Maka disebabkan rahmat dari Alllah, kamu lemah lembut kepada mereka. Seandainya kamu berperangai keras berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…”

Jadi, kita tidak bisa mengerti bila ada umat Nabi Muhammad SAW, berlaku kasar, keras dan kejam. Ataukah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka yang begitu berbudi, lemah- lembut dan menyenangkan; atau mereka mempunyai panutan lain dengan doktrin lain.

Atau mungkin sikap mereka yang demikian itu merupakan reaksi belaka dari kezaliman Amerika dan Yahudi/Israel. Kalau memang ya, bukankah kitab suci kita al-Quran sudah mewanti-wanti, berpesan dengan sangat agar kita tidak terseret oleh kebencian kita kepada suatu kaum untuk berlaku tidak adil. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak-penegak kebenaran karena Allah (bukan karena yang lain-lain!), menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Baca Q. 5: 9).

Hampir semua orang Islam mengetahui bahwa Rasulullah SAW diutus utamanya untuk menyempurnakan budi pekerti. Karena itu, Rasulullah SAW sendiri budi pekertinya sangat luhur (Q. 68: 4). Mencontohkan dan mengajarkan keluhuran budi. Sehingga semua orang tertarik . Ini sekaligus merupakan pelaksanaan perintah Allah untuk berdakwah. Berdakwah adalah menarik orang bukan membuat orang lari. (Baca lagi Q. 3: 159!). Bagaimana orang tertarik dengan agama yang dai-dainya sangar dan bertindak kasar tidak berbudi?

Melihat perilaku mereka yang bicara kasar dan tengik, bertindak brutal sewenang-wenang sambil membawa-bawa simbol-simbol Islam, saya kadang-kadang curiga, jangan-jangan mereka ini antek-antek Yahudi yang ditugasi mencemarkan agama Islam dengan berkedok Islam. Kalau tidak, bagaimana ada orang Islam, apalagi sudah dipanggil ustadz, begitu bodoh: tidak bisa membedakan antara dakwah yang mengajak orang dengan menakut-nakuti yang membuat orang lari. Bagaimana mengajak orang mengikuti Rasulullah SAW dengan sikap dan kelakuan yang berlawanan dengan sikap dan perilaku Rasulullah SAW?
Sumber:www.Gus Mus .Net

Rabu, 01 September 2010


Keutamaan membaca AL Qur’an
Abu Fauzan 28 Agustus jam 11:04


Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Menyukuri.” (QS. Fathir: 29-30)

Ada dua cara seseorang di dalam membaca kitab Allah. Pertama, tilawah hukmiyyah, yaitu membenarkan segala berita yang ada di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, tilawah lafhzhiyyah atau qira’atul Qur’an, banyak sekali nash-nash yang menyebut keutamaannya. Dalam Shahih Bukhari, disebutkan riwayat dari Utsman bin Affan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Dalam Shahihain, disebutkan pula hadits dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an kelak (mendapat tempat disurga) bersama para utusan yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan masih terbata-bata, dan merasa berat dan susah, maka dia mendapatkan dua pahala.”

Dua pahala ini, salah satunya merupakan balasan dari membaca Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan yang kedua adalah atas kesusahan dan keberatan yang dirasakan oleh pembacanya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena pada hari Kiamat nanti dia akan datang sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia mendapatkan satu kebaikan, sedangkan kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi)

Keutamaan-keutamaan ini meliputi seluruh kandungan isi Al-Qur’an. Banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan keutamaan surat-surat tertentu, misalnya surat Al-Fatihah. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Abu Sa’id bin Mu’alla bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Aku akan mengajarkanmu surat yang paling agung di dalam Al-Qur’an, yaitu Alhamdulillaahi Rabbi l-‘alamiin (Al-Fatihah). Ini adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an agung yang diberikan kepadaku.”

Oleh karena keutamaannya itu, maka membacanya menjadi bagian dari rukun shalat. Shalat tidak akan menjadi sah tanpa membaca Al-Fatihah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)

Surat dalam Al-Qur’an lainnya yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah surat Az-Zahrowain, yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran. Karena sesungguhnya keduanya akan datang pada hari Kiamat seperti dua buah awan atau seperti dua kawanan burung yang sedang terbang berbaris membela orang-orang yang biasa membacanya. Bacalah surat Al-Baqarah karena membacanya membawa berkah sedangkan meninggalkannya akan menyebabkan penyesalan. Surat ini tidak akan bisa dibaca oleh para tukang sihir.” (HR. Muslim)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan bisa dimasuki setan.” (HR. Muslim)

Surat lainnya yang mempunyai keutamaan khusus adalah surat Al-Ikhlas. Dalam Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Said Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”

Selain itu, surat yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Falaq dan An-Nas, atau biasa disebut mu’awwidzatain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kamu beberapa ayat yang diturunkan pada hari ini yang belum pernah sebanding dengannya? Yaitu Qul ‘a’udzibi Rabbi l-falaq, dan Qul ‘a’udzubi Rabbi n-nas.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh memperbanyak bacaan Al-Qur’an yang penuh berkah, apalagi di bulan Ramadhan. Para Salafush Shalih dahulu selalu memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Imam Malik, jika Ramadhan tiba, maka beliau berhenti dari membaca hadits dan majelis-majelis ilmu (berhenti mengajar) untuk kemudian berganti membaca Al-Qur’an. Imam Qatadah selalu meng-khatam-kan bacaan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, sedangkan pada bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap tiga hari sekali, dan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap hari.

Wallahu alam
Sumber: FB Group Imam Bukhori