"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Sabtu, 22 Januari 2011


APAKAH TASAWWUF BID'AH ?
Drs. H. Engkir Sukirman, M.Sc.
Peneliti Utama di Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan.
E-mail : skm2792@batan.go.id
HP : 08170813298

Abdul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi'in yang hidup sezaman dengan Hasan Al Bisri (w. 110 H/728 M.) mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw., tasawwuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya". Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan: Apakah Tasawwuf Bid’ah?. Memang benar, tidak ada istilah tasawwuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap :
a. Tawadhu (rendah hati bagaikan padi makin berisi makin merunduk),
b. Wara’ (bersifat hati-hati dalam segala hal),
c. Zuhud (dunia diletakkan dalam genggaman tangan tidak di dalam hati),
d. Qona’ah (merasa cukup dengan yang ada),
e. Tha’at (menjalankan seluruh perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya),
f. Istiqomah (konsisten dan berkekalan dalam beribadah),
g. Mahabbah (mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain),
h. Ikhlas (beribadah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah),
i. Shabar (tangguh dalam menjalankan ibadah dan dalam menghadapi cobaan),
j. Ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah sepanjang hayatnya dengan khusyu.
k. dan sifat-sifat terpuji (mahmudah) lainnya.
Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawwuf.
Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawwuf, beliau tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawwuf. Akan tetapi, beliau memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud). Kalau kita cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawwuf.
Kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qona'ah, taubat, muraqabatullah, 'iffah, dan lain-lain. Anda boleh memberi nama untuk sederet istilah itu dengan nama Tasawwuf. Namun kalau anda tidak suka dengan istilah Tasawwuf dengan alasan istilah tersebut tidak dipakai pada zaman Rasulullah saw, pakai saja istilah lain seperti yang digunakan Imam Ahmad yaitu ilmu zuhud. Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawwuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah nama.
Adapun makna Tasawwuf, bisa dilacak dari asal-usulnya. Para ahli mengatakan bahwa:
a. Suf (bulu domba), yang biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi yang berasal dari Syiria. Mereka memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian.
b. Ahli Suffah, yaitu orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah yang karena kehilangan harta benda, mereka berada dalam keadaan miskin dan tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu Rasulullah saw mendirikan ruangan khusus di samping Masjid (Masjid Nabawi) sebagai tempat tinggal mereka dan di situ mereka dididik dalam ilmu agama.

Mereka tinggal di serambi Masjid Nabawi dan tidur di atas batu dengan bantal memakai pelana kuda. Pelana disebut suffah. Ahli Suffah berhati baik dan mulia, tidak mementingkan keduniawian yang bersifat materi, tetapi berpolakan pada kehidupan yang bersifat im-material (ruhani). Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia, mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan yang sangat kuat, tawakkal dan ikhlas. Kehidupan mereka diabadikan dengan megahnya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Hurairah, Ahli Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, hatinya tidak terikat kepada seorang manusia pun kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan iman dan keyakinan telah menguasai jiwa mereka dimana dienullah dan rasa ketuhanan benar-benar telah berfungsi di dalam batinnya. Mereka berdo’a dengan merasa berkomunikasi dengan Tuhan, sehingga mereka merasa berkekalan bersama Allah. Oleh karena itu mereka berkata, Laa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun. Sebagaimana Firman Allah, Bahwa sesungguhnya wali-wali Allah itu tidaklah ada rasa ketakutan atas mereka dan tidak ada pula rasa duka-cita, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa (QS. Yunus: 62-63).
c. Safa (suci). Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan itu melalui latihan yang berat dan lama, yang disebut riyadhoh dan mujahadah.
d. Sophia (hikmah atau filsafat). Seperti ahli filsafat, ahli Tasawwuf sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidaktahuan.
e. Saf (barisan) dalam sholat. Orang-orang sufi selalu mengambil saf pertama dalam sholat berjamaah untuk mendapatkan pahala yang utama.
f. Sufah, yakni gelar dari seorang anak Arab yang sholih yang selalu mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekati Tuhannya pada zaman sebelum Islam.
g. Sufah, yakni nama Surat ijazah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
h. Tasawwuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophos. Theo artinya Tuhan dan Sophos artinya hikmah. Dengan demikian Tasawwuf berarti hikmah ketuhanan. Pada umumnya yang berpendapat demikian adalah para orientalis.
Dalam perkembangan berikutnya, para ahli memberikan banyak definisi mengenai hal ini, sehingga Annemarie Schimmel mengatakan, sulit mendefinisikan tasawwuf secara komprehensif, karena kita hanya bisa menyentuh salah satu aspeknya saja. Walaupun susah mencari makna yang komprehensif, namun kita perlu mengutip salah satu pengertian tasawwuf yang disampaikan seorang tokoh Sufi modern yaitu Al Junaid Al Baghdadi (w. 289H.) yang menyebutkan, Tasawwuf adalah riyadhah (latihan ruhani) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat kebinatangan) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Mencermati definisi ini, bisa kita simpulkan bahwa tasawwuf adalah latihan untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunnahkan Rasulullah saw.
Tasawwuf merupakan penyempurna Fiqih, demikian juga sebaliknya. Fiqih dan Tsawwuf adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan atau saling melengkapi (complementary). Seorang ahli Fiqih harus bertasawwuf, begitu juga seorang sufi harus mendalami dan mengikuti aturan Fiqih. Oleh karena itu seorang ulama ahli fiqih (Imam Malik) dengan tegas berkata: Barangsiapa mendalami fiqih tapi belum bertasawwuf berarti ia fasiq, barangsiapa bertasawwuf, namun belum mendalami fiqih berarti ia zindiq, dan barangsiapa yang melakukan keduanya berarti bertahaqquq (menjalani hal yang benar).
Tasawwuf dapat menjadikan manusia merasakan nilai-nilai ‘aqidah dan keimanan sehingga ia memiliki ma’rifat rasa (ma’rifatun dzawqiyah syu’uriyah) sesuai dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ahli Tasawwuf mengikuti jejak Rasulullah saw sepenuh hati, baik secara lahir maupun bathin, sehingga dia dapat merasakan persoalan-persoalan akhirat seperti melihat dengan mata kepala sendiri. Pada dasarnya Tasawwuf merupakan manifestasi ruhaniah dari masalah–masalah ‘aqidah, tidak lebih dari itu.
Objek kajian Tasawwuf adalah pelaksanaan dan pengamalan kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara proportional atas dasar pemahaman yang benar. As-Sunnah adalah jejak Rasulullah saw dalam bentuk perkataan, tindakan dan sifat. Sifat itu bermacam-macam, ada sifat yang nyata (lahir) dan sifat tidak nyata (bathin/maknawi/abstrak). Para sufi yang muhaqqiq (yang sampai pada tingkat hakikat) adalah manusia yang paling loba dalam menjelmakan sifat-sifat Rasulullah saw, sifat lahir maupun yang bathin; sebagaimana mereka juga menggebu-gebu untuk mengikuti jejak Nabi saw, tidak hanya dalam masalah ibadah (hablumminallah), tetapi juga dalam berpakaian, makan, minum, dan dalam bertingkah laku.
Oleh karena itu,............
Jika ada suatu informasi tentang Tasawwuf atau tentang agama pada umumnya, yang tampak secara lahiriah (leterleg) menyimpang/tiak sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits,
1. BOLEH JADI ANDA BELUM FAHAM MAKNA DIBALIK YANG TERSURAT, karena untuk memahaminya membutuhkan takwil. Ketahuilah bahwa para sufi acap kali berbicara dengan bahasa isyarat, metaphor (metafora atau kiasan) dan perumpamaan, sebagaimana banyak kita jumpai pada kata-kata dalam bahasa Arab pada umumnya dan di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Oleh karena itu jangan sekali-kali main hakim sendiri, tanyakan dulu kepada ahlinya (ahli Tasawwuf). Jangan malu bertanya, karena kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan.

2. BOLEH JADI INI ADALAH FITNAH YANG KEJI, yakni suatu rekayasa yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam yang ingin menghancurluluhkan ruh Islam dan kekuatan Islam yang hakiki, dimana mereka tahu persis bahwa ruh Islam, kekuatan Islam yang hakiki itu adalah Tasawwuf. Mereka membuat dan melontarkan statement (ajaran, amalan) yang menyimpang/tidak sesuai dengan tuntuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, lalu dinisbatkan/disandarkan seolah-olah dikatakan/dilakukan/diamalkan oleh ulama pengamal Tasawwuf/Sufi.

Wahai saudaraku !. Jangan membabi buta, bersabarlah dengan mau bertanya dan berdiskusi dengan ulama Tasawwuf. BERTANYALAH.....BERTANYALAH......BERTANYALAH.......
Sebagaimana Allah SWT perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang mengetahui ilmunya,

….maka tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahli: 43).
Perintah itu diulang lagi pada Surat Al-Ambiya: 7, dengan redaksi yang sama. Dimana ahli dzikir tiada lain adalah ulama tasawwuf.
Kenapa perintah untuk bertanya tersebut mesti diulang?. Karena Allah sangat mengetahui dan sangat mengenali watak manusia, yakni sombong dan pelupa. Oleh karena itu Allah mengulangi perintah tersebut, … maka tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui.
Keadaannya serupa dengan perintah bersyukur, Allah menyindir berulang-ulang di dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman. Surat tersebut berisi 78 ayat, 31 ayat berbunyi,

Nikmat Tuhan-mu yang mana lagi yang hendak engkau dustakan.
Wassalam.

Rabu, 05 Januari 2011


Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu
06/12/2010

Puji-pujian didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib atau Isya sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah. Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Mungkin berkat susunannya yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala atau masjid ke musala lainnya.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang memiliki berbagia keutamaan.

Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya berharap semoga sayalah orangnya”.

Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Puji-pujian yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.

Obat Hati Lima Perkara

Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.

Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.

Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane
Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue

Syair obat hati ini kemudian diakhiri:

Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan

Mengingat Kematian

Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.

Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno wakilan’
(Panggilannya tak bisa diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)

Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya. Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.


Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa manusia)

Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada yang menemani)

Perintah untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.

”Secerdik-cerdik manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.
Faiqotur Rosidah
Pengajar di P.P Darul ‘Ulum Peterongan Jombang, sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (UNESA)
Sumber:www.nu.or.id

Puasa dan Keberkahan
07/09/2010
Oleh: Hj. Sri Mulyati

Makna Berkah
Kata barakah menurut bahasa, bermakna al-ziyadah berarti tambahan, nilai tambah; al-sa’adah kebahagiaan, al-du’a yaitu doa, al-manfa’ah kemanfaatan, al-baqa’ yang kekal, al-taqdis sesuatu yang suci.

Adapun secara istilah yaitu tsubut al-khayr ilah fi al-syay’ yaitu Allah menetapkan sesuatu kebaikannya itu di dalam sesuatu (yang telah ditentukan Allah). Jadi ketentuan kebaikan itu (al-khayr/al-sa’adah/al-ziyadah mempunyai makna tunggal yang kepunyaan Allah pada tiap-tiap tempat tersebut. Pada mulanya seseorang tidak punya apa-apa lalu Allah letakkan barakahnya maka orang itu menjadi mulya.

Jika dalam harta terdapat barakah maka harta itu baik, manfaat dan mencukupi bahkan nilai kualitas maknanya melebihi nilai kuantitasnya. “Keberkahan ilahi datang dari arah yang sering kali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau bahkan diukur. Dari sini segala penambahan yang tidak terukur oleh indera dinamai barakah.”

Isim fa’il dari baraka adalah mubarik, karena Allah Maha Pemberi barakah yang melimpah maka Ia secara khusus mensifati diri-Nya dengan sifat tabarak (pemberi barakah yang melimpah), kata tabaraka terdapat sembilan kali diulang dalam al-Qur’an. Sifat ini hanya disandarkan kepada Allah semata, tidak pernah dan tak layak diberikan kepada apa dan siapapun jadi Dialah subhanahu al-mutabarik Yang Mahasuci lagi Pemberi barakah.

Barakah maksudnya menyebut kebaikan Ilahi di dalam sesuatu. Sekurang-kurangnya ada 14 ayat dalam al-Qur’an yang mempunyai kaitan dengan kata al-barakah: Barakah juga terdapat pada tempat contoh Mekkah sebagai rumah ibadah sebagaimana termaktub dalam Qur’an surat Ali ‘Imran 3: 96, lihat juga al-Qashash 28: 30, dan juga berkenaan dengan tempat ibadah yaitu Masjid al-Aqsha (al-Isra’ 17: 1).

Tempat yang juga penuh berkah yaitu tempat dialog Nabi Musa a.s. dengan Allah SWT, juga bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ishaq as, keberkahan diberikan kepada keduanya (al-Shaffat 37: 113), dan juga keberkahan diberikan kepada Nabi Nuh a.s. (Hud 11: 48), dan juga kepada pohon Zaitun (al-Nur 24: 35) Allah berikan keberkahan.

Adapula keberkahan diberikan kepada malam, yakni malam yang diberkahi yaitu malam ketika al-Qur’an pertama kali diturunkan (al-Dukhan 44: 3 serta Surat al-Qadar). Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci (peringatan) juga memiliki berkah (al-Anbiya’ 21: 50, al-An’am 6: 92 dan 155), dan (Shad 38: 29).

Keberkahan juga diberikan Allah kepada penduduk negeri yang beriman dan bertaqwa, dan Allah akan limpahkan barakah dari langit dan bumi (al-A’raf 7: 96), individu atau perseoranganpun akan memperoleh keberkahan dari Allah SWT (Maryam 19: 31). Adapun tentang negeri yaitu Negeri Syam termasuk negeri yang diberkahi Allah karena banyak Nabi berasal dari negeri itu (al-Anbiya’ 21: 71, 81 dan al-A’raf 7: 137, serta Saba’ 34: 18).

Mengenai keberkahan dalam rezeki, Rasulullah SAW pernah berdo’a: Allahumma ighfirli dzanbi wa wassi’ li fi dari wa barik li fi rizqi, ya Allah ampunilah dosaku, lapangkan bagiku di rumahku dan berkahilah aku dalam rezekiku. Beliaupun ditanya,”sering sekali engkau berdoa dengan do’a ini ya Rasulullah?” Beliau berkata,”Memangnya kau sudah tidak membutuhkannya?”

Allah swt sebagai sumber keberkahan dan kebajikan, karena semua jenis kebaikan dan keberkahan yang terdapat pada makhluk adalah berasal dari Allah. Ia yang Maha Berkehendak untuk memberikan barakah dan kebaikan kepada siapapun dan apapun yang Ia pilih, ataupun menghapus dan mencabut keberkahan tersebut. Dia dapat memberikan kerajaan atau pun mencabutnya, Dia dapat memuliakan seseorang yang Ia kehendaki, demikian juga Ia dapat menghinakan siapa yang Ia kehendaki, Di tangan-Nya segala kebajikan, dan Ia Maha Kuasa atas segala sesuatu (Ali ‘Imran 3:26).

Para individu atau perseoranganpun akan memperoleh keberkahan dari Allah SWT (Maryam 19: 31).

Kata mubarakan terambil dari kata al-barakah yang pada mulanya bermakna sesuatu yang mantap, juga berarti kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta berkesinambungan. Keberkahan Ilahi datang dari arah yang sering tak terduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dapat dibatasi atau diukur. Dari sini segala penambahan yang tidak terukur oleh indera dinamai berkah.

Adanya berkah pada sesuatu berarti adanya kebajikan yang menyertai sesuatu itu, misalnya berkah dalam waktu, bila itu terjadi maka banyak kegiatan kebajikan yang dapat dilakukan yang biasanya tidak sebanyak kebajikan yang dapat dilakukan pada waktu tersebut. Berkah pada makanan adalah cukupnya makanan yang sedikit untuk mengenyangkan orang banyak yang biasanya tak cukup untuk orang sebanyak itu.

Dari kedua contoh ini terlihat bahwa keberkahan berbeda-beda sesuai dengan fungsi sesuatu yang diberkahi itu. Keberkahan pada makanan misalnya adalah dalam fungsinya mengenyangkan, melahirkan kesehatan menampik penyakit, mendorong aktifitas positif dan lain lain.

Ini dapat tercapai bukan secara otomatis, tetapi karena adanya limpahan karunia Allah. Karunia yang dimaksud bukan degan membatalkan peranan hukum-hukum sebab dan akibat yang telah ditetapkan Allah swt, tetapi dengan menganugerahkan kepada siapa yang akan diberi keberkahan kemampuan untuk menggunakan dan memanfaatkan hukum-hukum tersebut seefisien dan semaksimal mungkin sehingga keberkahan dimaksud dapat hadir, demikian Quraish Shihab mengutip Thaba’tabai.

Puasa dan Keberkahan

Bulan Ramadlan sering disebut sebagai syahrun ‘adzim, bulan yang agung, dan juga disebut syahrum Mubarak, bulan yang penuh berkah antara lain terdapat malam qadar di dalam bulan Ramadlan.

Adapun keberkahan diberikan kepada malam, yakni malam yang diberkahi yaitu malam ketika al-Qur’an pertama kali diturunkan (al-Dukhan 44: 1-3).

Barakah malam qadar, malam turunnya al-Qur’an. Malam qadar merupakan waktu yang penuh dengan barakah karena pada malam ini adalah waktu diturunkannya al-Qur’an, dan al-Qur’an adalah kitab yang penuh dengan keberkahan dan menjadi petunjuk bagi ummat manusia. Allah berfirman yang artinya: Ha Mim. Demi Kitab (al-Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami lah yang memberi peringatan. (al-Dukhan 44: 1-3).

Menurut al-Alusi malam turunnya al-Qur’an dinamai dengan malam yang penuh barakah karena dengan turunnya al-Qur’an menyebabkan munculnya segala kebaikan dan manfaat duniawi dan ukhrawi. Manfaat duniawi yang terdapat dalam malam ini adalah pada malam itu ditentukannya rezeki dan ajal seseoang serta diberikannya syafaat kepada Nabi Muhammad saw, sedang manfaat ukhrawi adalah pada malam tersebut turunnya para malaikat yang membawa rahmat bagi yang beribadah di malam itu serta dikabulkannya doa.

Turunnya al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas dipertegas dengan ayat yang menyatakan bahwa malam itu disebut dengan lailat al-qadr yaitu pada Surat al-Qadr 97: 1-5. Pada ayat ini dijelaskan lebih rinci tentang barakah malam tersebut yaitu malam diturunkannya al-Qur’an, malam dilipat ganda kan fahala hingga lebih baik dari seribu bulan, turunnya malaikat ke bumi, termasuk malaikat Jibril.

Malaikat turun karena banyaknya berkah malam ini dan mereka turun dengan membawa rahmat dan juga keberkahan sebagaimana mereka akan turun ketika dibacakan al-Qur’an, dan mereka mengelilingi majelis dzikir, dan membentangkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai penghargaan dan penghormatan bagi mereka.

Kata ruh dalam surat ini, menurut mufassir adalah malaikat Jibril, disebut demikian sebagai penghargaan dan karena kedudukannya yang mulia. Adapun yang dimaksud dengan malam yang penuh dengan kedamaian hingga terbit fajar adalah malam ini penuh dengan kebaikan dan keberkahan, tidak adanya setan hingga saat fajar tiba dan tidak adanya penyakit ataupun musibah.

Kata salam diartikan sebagai kebebasan dari segala macam kekurangan, apapun bentuk kekurangan tersebut, baik lahir maupun batin, sehingga seseorang yang hidup dalam salam akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan dan segala sesuatu yang termasuk dalam pengertian kekurangan lahir dan batin. Ibn al-Qayyim menjelaskan tentang hati yang mencapai kedamaian dan ketentraman mengantar pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya’ kepada ikhlas, lemah kepada teguh, dan sombong kepada tahu diri.”

Demikian banyak keberkahan malam qadar sebagai yang disebutkan dalam al-Qur’an, meskipun tidak dinafikan adanya keberkahan pada waktu waktu lain. Seseorang yang mendapat lailat al-qadar akan semakin kuat dorongan dalam jiwanya untuk melakukan kebajikan-kebajikan pada sisa hidupnya sehingga ia merasakan kedamaian abadi.

Secara umum ulama tafsir memahami kata fajr yakni waktu sebelum terbitnya matahari pada malam qadar tersebut, sementara kamu sufi memahami arti terbitnya fajar pada ayat ini sebagai terbitnya fajar matahari dari sebelah barat, yaitu yang akan terjadi kelak menjelang kematian atau kiamatnya dunia. Sehingga ayat ini mereka fahami bahwa keselamatan, kedamaian dan kebebasan dari segala bentuk kekurangan terus menerus berlangsung hingga saat terbitnya fajar tersebut. Ini bagi yang beruntung menemui lailat al-qadar, demikian Ibn ‘Arabi, sebagai yang dikutip Quraisy Shihab.

Dengan demikian kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa Allah sebagai sumber keberkahan, segala tempat, barang, waktu, individu, makanan dan lain lain ada yang diberikan unsur keberkahan oleh Allah, sehingga apabila manusia mendapatkan manfaat dari salah satunya atau semua ciptaan yang mengandung keberkahan tersebut niscayalah ia akan bahagia di dunia dan di akhirat.

Jika semua kebaikan dan kenikmatan baik di dunia maupun di akhirat merupakan karunia dari Allah swt kepada hamba-Nya, maka kelangsungan dan kelanggengan serta bertambahnya kebaikan dan kenikmatan kepada manusia adalah merupakan barakah dari Allah swt. Sebuah hadits Nabi saw yang artinya:

Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud r.a berkata: ketika kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan, dan kehabisan air, beliau berkata: carilah sedikit ar, maka para sahabat datang dengan membawa tempat yang sedikit airnya, maka Nabi memasukkan tangannya ke tempat air yang tinggal sedikit tadi, kemudian beliau bersabda: “Kemarilah pada air yang suci dan penuh barakah, dan yang barakah hanyalah dari Allah swt.” Dan telah kulihat air keluar dari sela-sela jemari Rasulullah saw.

Dengan demikian jelas bahwa segala bentuk barakah berasal dari Allah swt, oleh sebab itu segala macam bacaan doa untuk mendapatkan barakah selalu disandarkan kepada Allah swt. Telah jelas pula bahwa Allah telah mengutamakan dan memilih sebagian dari makhluk-Nya, Ia pun telah mengutamakan dan memberi berkah pada sebagian tempat atas sebagian tempat yang lain seperti: Mekkah, Madinah dan Masjid al-Aqsha. Demikian pula Allah swt telah mengutamakan sebagian waktu dari sebagian lainnya seperti: bulan Ramadlan, lailat al-qadar, dan juga menempatkan keberkahan pada zaitun, air hujan dsb. Seperti yang sudah diterangkan bahwa Allah swt adalah Yang Maha Pemberi berkah yang melimpah, dan secara khusus mensifati diri-Nya dengan sifat tabarak (pemberi berkah yang melimpah), dan dapat ditemui kata tabaraka terulang Sembilan kali dalam al-Qur’an.

Al-Qur’an sebagai sebuah kitab suci (peringatan) juga memiliki barakah (al-Anbiya’ 21: 50, al-An’am 6: 92 dan 155), dan (Shad 38: 29).

Al-Qur’an mengandung banyak sekali kebajikan (berkah) dan keistimewaan, termasuk orang terpelajar mengakui keistimewaannya, dan tidak sedikit dari petunjuk al-Qur/an diadopsi mereka, dan al-Qur’an juga menjadi bukti kebenaran yang membungkam para penantangnya. Al-Qur’an disebut sebagai faktor yang mendatangkan barakah karena Allah swt telah memberikan beberapa sebutan atau nama pada al-Qur’an antara lain dengan sifat mubarak yang terulang empat kali yaitu pada al-An’am 6: 92, dan 155, al-Anbiya’ 21: 50, dan Shad 38: 29.

Adapun beragam nama yang diberikan kepada al-Qur’an yaitu: Al-Kitab, al-Furqan, al-Dzikr, al-Tanzil, Nur, Huda, Syifa, Rahmah, Mau’izhah, Mubarak, Mubin, Busyro, ‘Aziz, Majid, Basyir, dan Nadzir. Al-Qur’an sebagai sumber kebaikan dan faktor datangnya keberkahan yang tetap dan terus menerus bertambah. Al-Razi menjelaskan bahwa arti dari kitabun mubarak adalah kitab yang banyak kebaikannya dan mempunyai barakah yang abadi, karena selalu memberi berita gembira tentang pahala yang berlipat ganda dan ampunan yang luas, serta memberi ancaman bagi yang berbuat dosa dan maksiat.

Al-Razi selanjutkan ketika menafsirkan surat al-An’am 6: 92 menjelaskan bahwa “Merupakan sunnatullah, bahwa setiap orang yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan mencari petunjuknya maka ia akan mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat dan saya akui setelah banyak mengkaji ilmu agama dan ilmu umum lainnya, saya belum pernah mendapatkan kebahagiaan seperti ketika saya menekuni ilmu di bidang agama ini.”

Sementara itu Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa “Al-Qur’an lebih layak disebut dengan Mubarak dari pada yang lain, karena berlimpahnya berbagai macam kebaikan dan manfaat serta barakah yang terdapat di dalamnya. Al-Alusi menafsirkan kata mubarak dengan manfaat yang melimpah, karena ia mencakup manfaat dunia dan akhirat serta mencakup pengetahuan orang-orang terdahulu dan terkini.

Dan al-Syanqithi menerangkan bahwa mubarak berarti berkah yang banyak dan kebaikan yang melimpah, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan untuk di dunia dan di akhirat.

Adapun beberapa tanda-tanda kemuliaan al-Qur’an adalah karena al-Qur’an adalah kalamullah, al-Qur’an sebagai kitab suci yang benar dan menyerukan kepada kebenaran, al-Qur’an sebagai pemisah antara yang hak dan yang batil, al-Qur’an merupakan cahaya dan petunjuk, al-Qur’an sebagai penerang bagi segala kegelapan dan kesesatan, al-Qur’an sebagai rahmat yang besar dari Allah swt, al-Quran sebagai pemberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan pemberi peringatan bagi orang-orang kafir. Al-Qur’an merupakan sumber kesembuhan untuk segala penyakit bagi orang yang beriman dan patuh.
Salah satu contoh konkrit lain yaitu tentang harta yang akan mendapat keberkahan adalah harta yang dibelanjakan pada jalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji, Allah melipatgandakan bagi siapa yang Ia kehendaki. Banyak hadits Nabi saw yang juga menjelaskan tentang balasan Allah swt terhadap belanja yang dikeluarkan di jalan Allah.

Beberapa keberkahan, keutamaan lain bulan ramadhan antara lain adalah:
- Sebagai syahrushshobri, bulan latihan kesabaran
- Sebagai bulan pasaran ibadah, dilipatkan fahala amal kebaikan
Adapun tentang keberkahan yang terdapat dalam pelaksanaan puasa itu sendiri antara lain:
- Puasa sebagai ibadah untuk Allah dan Dia yang akan langsung membalas ganjarannya (fashshaumu li wa ana ajzi bihi)
- Puasa sebagai latihan yang memiliki multi dimensi pendidikan: fisik, mental dan spiritual yang menghasikan kesehatan jasmani, rohani dan kesehatan sosial
- Menurut Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani:

Shaum syari’at menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan suami isteri di siang hari, shaum tariqat adalah menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan dan sifat-sifat tercela, lahir dan batin, siang dan malam, bila melakukan hal-hal tersebut maka batallah puasa tariqatnya. Shaum syari’at mempunyai waktu tertentu, shaum tariqat selama hidup.

Nabi bersabda: “Banyak orang yang berpuasa, hasilnya hanyalah lapar dan dahaga.” Hadits lain: “Banyak yang berpuasa, tetapi berbuka. Banyak yang berbuka, tetapi berpuasa.” Yaitu orang yang perutnya tidak berpuasa, tetapi ia menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan terlarang dan menyakiti orang lain.

Hadits Rasul: “Bagi orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan yakni ketika berbuka dan ketika melihat Allah.” Pengertian hadits im menurut syari’at ialah kebahagiaan yang pertama ketika berbuka dengan memakan makanan di waktu maghrib, kedua ketika melihat bulan di malam lebaran pertanda selesainya tugas puasa Ramadlan.

Adapun pengertian menurut tariqat ialah kebahagiaan yang pertama ketika masuk syurga menikmati kenikmatan syurga. Semoga Allah memberikannya kepada kita. Kedua ru’yah yakni melihat Allah pada hari kiamat dengan pandangan sirri secara nyata. Semoga kiya mendapatkannya.

Adapun shaum haqiqat, menjaga hati dari selain Allah dan menjaga rasa agar tidak mencintai selain Allah. Hadist Qudsi: “al-insanu sitrri wa ana sirruhu,” manusia adalah rahasiaku dan Aku rahasianya, sir ini dari nur Allah, maka orang yang di tingkat ini tidak akan cenderung kepada selain Allah. Tidak ada yang dicintai, diingini dan dicari selain Allah, di dunia maupun di akhirat. Bila hati terjatuh pada mencintai selain Allah, maka batallah shaum haqiqatnya, dan ia harus malakukan qadla dengan kembali mencintai Allah dan menemuinya di dunia dan di akhirat.

Demikianlah multi keberkahan yang diberikan Allah swt kepada manusia di dunia ini untuk kebahagiaan dan kemakmuran manusia itu sendiri baik secara ekonomi maupun fahala dan ganjaran atau balasan yang berlipat ganda baik secara duniawi maupun ukhrawi.

* Dosen UIN Jakarta, Wakil ketua LP Maarif NU
Sumber:www.nu.or.id