"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 22 November 2010


ARTI BID’AH (Bagian pertama )
Drs. H. Engkir Sukirman, M.Sc.

Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Karena kata atau istilah bid’ah ini berhubungan dengan banyak hal di dalam Islam. Namun sayang, banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan. Sebenarnya, para ulama telah menjelaskan masalah bid’ah ini, namun kita ternyata kurang mempelajarinya. Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan disampaikan uraian singkat tentang bid’ah, semoga tidak terjadi lagi salah paham tentang bid’ah ini. Amin.

Secara bahasa bid'ah itu berasal dari ba-da-'a asy-syai' yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Dan kata bid'ah maknanya adalah baru atau sesuatu yang menjadi tambahan dari agama ini setelah disempurnakan.

Jadi, bid'ah adalah segala yang baru yang diada-adakan yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam perkara ibadah ataupun adat, pada masalah yang baik atau yang buruk. Hadits tentang bid’ah sebenarnya cukup banyak, namun yang biasa disitir oleh para penceramah adalah hadits yang satu ini:
......................................Hadits No. 1 (lampiran).............................
Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada siapa pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tiada siapa pun dapat memberinya hidayah (petunjuk). Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk (Hadits) Nabi Muhammad SAW. Dan sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru (muhdatsat) dan semua yang baru adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka (HR. Nasai).

Kalimat terakhir dari hadits di atas, yakni Dan sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru (muhdatsat) dan semua hal yang baru adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka, tidak sejalan dengan hadits-hadits lain. Oleh karena itu, hadits itu tidak bisa dicerna secara langsung
secara leterleg), harus ditafsir terlebih dahulu. Untuk dapat memahami hadits di atas kita harus mengkaji semua hadits yang berhubungan dengannya. Sehingga kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Ada beberapa penjelasan, yakni:

Penjelasan pertama
Dikemukakan oleh Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah, beliau berkata: Mengenai hadits semua bid’ah dhalaalah ini bermakna aammun makhsush (pernyataan yang bersifat umum yang ada pengecualiannya). Ungkapan wa kullu bid’atin dhalaalah adalah analog dengan Firman Allah dalam QS. Al-Ahqaf : 25,

(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.

Dalam ayat tersebut Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang kafir tersebut terkubur di dalam bumi.

Walaupun disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in (segala sesuatu), ternyata ada pengecualian yakni rumah orang-orang kafir tidak ikut hancur.

Ini menunjukkan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua (tidak mutlak). Dalam ayat di atas, rumah orang-orang kafir yang tidak hancur merupakan salah satu pengecualian.

Jadi juga makna kalimat wa kullu bid’atin dhalaalah pada hadits di atas, bukan bermakna keseluruhan bid’ah, tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah, yakni hanya bagi hal-hal baru yang buruk dalam Islam. Jadi maksud hadits di atas adalah bahwa semua hal-hal baru, yang buruk dalam Islam, adalah kesesatan.

Demikian pula,

“Sungguh telah Ku pastikan ketentuan Ku untuk memenuhi jahannam dengan seluruh jin dan manusia” (QS. Assajdah:13 dan QS. Hud: 119).

Walaupun dikatakan semua jin dan manusia akan masuk neraka, namun ada pengecualian yang tidak disebutkan, yakni para nabi, siddiqqin, suhada, sholihin, yang justru mereka itu adalah kelompok manusia calon penghuni surga.

Jadi ayat itu bermakna bukan keseluruhan manusia akan masuk neraka, tetapi bermakna sebagian dari keseluruhan manusia, yakni hanya kaum musyrikin dan dhalimin saja, yang akan dimasukkan ke neraka.

Jadi juga makna kalimat wa kullu bid’atin dhalalah pada hadits di atas, bukan bermakna keseluruhan bid’ah, tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah, yakni hanya bagi hal-hal baru yang buruk dalam Islam.

Jadi maksud hadits di atas adalah bahwa semua hal-hal baru, yang buruk dalam Islam, adalah kesesatan; adapun hal-hal baru yang baik tidaklah sesat.

Penjelasan kedua
Rupanya pemahaman bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan seorang sahabat terkemuka, Khalifah kedua, Amirul Mukminin ’Umar bin Khaththaab ra pernah mencetuskan istilah bid’ah hasanah untuk sebuah amalan yang beliau susun sendiri, yaitu shalat tarawih berjamaah di Masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam yang hapal Al-Qur’an. Imam Bukhaari ra, dalam kitab shohihnya menyebutkan,
...........................................Hadits No. 2...........................................
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’, ia berkata, Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju Masjid bersama ’Umar bin Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri ada pula yang shalat berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah ’Umar ra berkata, Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang Imam yang hapal Al-Qur’an tentu lebih baik. Beliau bertekad untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan ’Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku ke luar menuju Masjid bersama ’Umar ra. Saat masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) berjamaah dengan Imam mereka yang hapal Al-Qur’an (ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah ’Umar: Ni’mal bid’atu haadzihi (HR. Bukhari dan Malik, Hadits No.1906).

Apa artinya kalimat: Ni’mal bid’atu haadzihi ?. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ungkapan serupa,
Ni’mal wakiil = sebaik-baik tempat penyerahan,
Ni’mal maulaa = sebaik-baik penjaga,
Ni’man nashiir = sebaik-baik penolong,
Ni’mal ‘abdu = sebaik-baik hamba,
Ni’ma ajrul ‘aamiliin = sebaik-baik balasan orang yang beramal,
Ni’mal bid’atu = sebaik-baik bid’ah.
Jadi Ni’mal bid’atu haadzihi artinya: Inilah sebaik-baik bid’ah. Dengan kata lain salat tarawih berjamaah di masjid adalah bid’ah
hasanah. Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sesat.

Perlu diketahui, memang benar bahwa Rasulullah saw mengadakan shalat tarawih bersama para sahabat, tetapi beliau tidak melakukannya berjamaah selama satu bulan penuh, beliau hanya melakukannya selama dua atau tiga hari (ada perbedaan riwayat). Karena khawatir tarawih tersebut dipandang wajib oleh umatnya, Rasulullah saw kemudian menghentikannya. Disamping itu juga, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Rasulullah saw setelah Surat Al-Fatihah tidak dibaca secara urut mulai dari Surat Al-Baqarah sampai Surat An-Naas. Lain halnya dengan Sayyidina ’Umar ra, beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan salat tarawih serta memilih seorang imam yang hapal Al-Qur’an untuk membacanya dari awal hingga khatam.

Jadi, shalat tarawih yang dilakukan oleh Sayyidina ’Umar berselisih (berbeda) dengan shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan Sayyidina ’Umar juga memahami, menyadari dan mengakui bahwa perbuatannya itu adalah bid’ah. Namun karena bid’ah yang beliau ra lakukan memiliki dasar dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, beliau merasa senang dengan perbuatannya itu dan beliau katakan: Inilah sebaik-baik bid’ah.

Kita setuju dengan pendapat Sayyidina ‘Umar ra, bahwa shalat tarawih berjamaah di Masjid itu adalah bid’ah hasanah. Dan memang sangat tidak pantas kalau kita membantahnya, karena perbedaan kedudukan antara ‘Umar ra dengan kita amat sangat jauh, beliau mendapat pendidikan langsung dari nara sumber Islam, mendengar, melihat, dan mengamalkan Dien Al-Islam bersama Rasulullah saw. Sementara pengetahuan kita tentang Islam ini hanyalah dari bacaan dan rentang waktu antara kita dengan Nabi saw sudah teramat panjang (15 abad).

Bid’ah hasanah yang dibuat shahabat itu disebut sunnah shahabat. Dan kita ikuti sunnah shahabat itu, karena kita diperintah oleh Nabi saw untuk mengikutinya, sebagaimana sabda Nabi saw,
.......................................Hadits No. 3..............................................
Hendaklah kalian mengamalkan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, Ustman dan Ali) yang telah diberi petunjuk oleh-Nya ke arah kebaikan dan peganglah sunnah itu sekuat kemampuan serta waspadalah terhadap hal-hal baru karena semua bid’ah itu tersesat.(bersambung bag ke 2)


ARTI BID’AH ( Bagian ke dua)
Drs. H. Engkir Sukirman, M.Sc.

Penjelasan ketiga
Para ulama mengatakan bahwa kata muhdatsaat (hal-hal baru) dalam hadits wakullu muhdatsatin bid’atun di atas, artinya adalah segala hal baru yang tidak sesuai Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. Pernyataan ini didukung oleh beberapa hadits berikut:
.........................................Hadits No. 4............................................
Dan barang siapa mengadakan sebuah bid’ah yang dhalaalah, yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, maka dia memperoleh dosa sebanyak dosa orang yang mengamalkannya tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits di atas disebutkan,
Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah yang dhalaalah, .... .......

Ini berarti tidak semua bid’ah sesat. Sebab jika semua bid’ah sesat, tentu beliau saw akan langsung berkata,
Barang siapa mengadakan sebuah bid’ah,..............maka.............

Dan tidak akan menambahkan kata dhalaalah dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut kalimat bid’ah yang dhalaalah, maka logikanya ada bid’ah yang tidak dhalaalah.

Untuk lebih memperjelas mari kita simak sebuah kalimat berikut,
Barang siapa mengendarai kendaraan bermotor yang tidak berpelat nomor, maka dia melanggak Undang Undang Lalulintas (UUL).
Makna kalimat ini adalah bahwa penyebab seseorang melanggar UUL pada kalimat di atas adalah karena kendaraan bermotor yang dikendarainya tidak memiliki pelat nomor. Adapun jika kendaraan bermotornya lengkap disertai pelat nomor tidaklah melanggar UUL.

Jadi, penyebab seseorang berdosa adalah jika dia melakukan bid’ah yang dhalaalah. Jika bid’ah yang dialukan tidak dhalaalah, maka dengan sendirinya tidak berdosa

Sabda Rasulullaah saw,
.......................................Hadits No. 5..............................................
Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak terdapat di dalam agama, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Abuu Dawuud).

Dalam hadits di atas Rasulullah saw menambahkan kata keterangan: yang tidak terdapat di dalam agama; artinya bahwa hanya hal baru yang tidak terdapat di dalam agama saja yang ditolak.
.......................................Hadits No. 6..............................................
Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya (agama), maka ia tertolak. (HR. Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam hadits di atas Rasulullah saw menambahkan kata keterangan: yang tidak bersumber dari agama; artinya bahwa hanya hal baru yang tidak bersumber dari agama saja yang ditolak.

Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi saw tidak akan menambahkan kata keterangan tersebut. Beliau saw akan langsung berkata,
Barang siapa membuat sesuatu hal yang baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.

Kesimpulan: Selama hal baru tersebut bersumber dari Al-Qur’an dan/atau Al-Hadits, maka dia dapat diterima oleh Agama, diterima oleh Allaah SWT dan diterima oleh Rasulullaah saw.

Penjelasan keempat
Jika ada suatu kegiatan yang dikemas dalam suatu model atau bentuk baru, asalkan isinya tiada lain adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka kegiatan tersebut tidak sesat (tidak dhalaalah) bahkan sebaliknya baik (hasanah). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw:
.......................................Hadits No. 7..............................................
Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam Islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan (orang lain), maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barangsiapa mencontohkan sebuah perbuatan buruk di dalam Islam, maka dia memperoleh dosa semua orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka (HR Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87).

Penjelasan kelima
Dari penjelasan di atas tampak bahwa tidak semua hadits dapat dicerna langsung. Ada beberapa hadits yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan, dan salah satunya adalah hadits tentang bid’ah tersebut. Hadits kullu bid’atin dhalaalatun merupakan hadits yang bersifat umum, yang di dalamnya terdapat suatu pengecualian atau ada suatu kalimat (kata) yang tidak disertakan (tidak diucapkan), karena telah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya. Hadits kullu bid’atin dhalaalatun mirip dengan beberapa hadits berikut:
......................................Hadits No. 8................................................
Tidak beriman salah seorang di antara kalian sebelum ia mencintai untuk saudaranya seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).

.......................................Hadits No. 9..............................................
Bukan dari golongan kami seseorang yang tidak membaca Al-Qur’an dengan suara yang baik (merdu). (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ahmad dan Darimi).

.......................................Hadits No. 10............................................
Shalat witir itu benar, maka barang siapa tidak menunaikan shalat witir, ia bukan dari golongan kami. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

.......................................Hadits No. 11............................................
Tidaklah berwudhu seseorang yang tidak menyebut nama Allah dalam wudhunya. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darimi).

Jika kata: tidak dan bukan dari golongan kami, dalam hadits di atas tidak dijelaskan (ditafsirkan), bagaimana:
- Kedudukan kita dalam Islam, berimankah kita?
- Bagaimana nilai bacaan Al-Qur’an kita ?,
- Masuk ke dalam golongan siapakah kita?
- Bagaimana nilai wudhu kita?.
Para ulama menyatakan bahwa kata tidak dalam hadits di atas adalah tidak sempurna. Jadi, dalam hadits itu ada kata sempurna yang tidak diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat.

Sedangkan, kata bukan dari golongan kami, maksudnya bukan dari golongan terbaik kami. Dalam hidits ini terdapat kata terbaik yang juga tidak diucapkan oleh Nabi saw karena telah dipahami oleh para sahabat.

Para ulama menjelaskan bahwa dalam hadits kullu bid’atin dhalaalatun juga terdapat kalimat yang tidak diucapkan oleh Nabi saw, namun telah dipahami oleh para sahabat. Kalimat yang tidak diucapkan itu adalah: yang tidak bertentangan dengan syariat, posisinya setelah kata bid’atin.

Jadi, hadits itu jika ditulis secara lengkap akan berbunyi:
Semua bid’ah, yang bertentangan dengan syariat, adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.

Penjelasan keenam
Rasulullah SAW bersabda,
............................................Hadits No. 12.......................................
Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Muslim, No : 1817).

Digunakannya kata ganti kami (kata ganti orang pertama banyak) pada hadits di atas, merupakan isyarat bahwa yang boleh mencontohkan suatu perbuatan ibadah bukan hanya Rasulullah saw seorang sendiri tetapi juga sahabat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali), Tabiin, Tabiit-Tabiin, dan Ulama yang berpredikat pewaris nabi.

Dr. Quraish Shihab berkata: Sunnah yang menjadi pegangan seorang muslim tidak hanya sunnah Rasulullah dan Sahabat tetapi juga sunnah Tabiin, Tabiit-Tabiin, Ulama (yang berpredikat pewaris nabi) baik ulama terdahulu maupun yang hidup sejaman dengan kita saat ini sepanjang kita ketahui dasarnya tidak bertentangan dengan sumber di atasnya.

Penjelasan ketujuh
1. Berkata Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii), bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: Inilah sebaik baik bid’ah (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87).

Sedangkan dalam Kitab Fathul Bari, juz XVII: 10, Imam Syafi’i menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw, prilaku sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun jika sesuatu yang diada-adakan itu adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (Al-Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’ ulama) maka sesuatu itu tidak tercela (baik).

2. Berkata Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah, bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi: “seburuk-buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalaalah”, yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya.

3. Berkata Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi), Penjelasan mengenai hadits: Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam Islam, kemudian perbuatan tersebut diamalkan (orang lain), maka ia akan memperoleh pahala orang-orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi pahala mereka. Dan barangsiapa mencontohkan sebuah perbuatan buruk di dalam Islam, maka dia memperoleh dosa semua orang yang mengamalkannya tanpa sedikitpun mengurangi dosa-dosa mereka. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan kebiasaan yang baik, dan ancaman bagi orang yang membuat kebiasaan yang buruk. Dan pada hadits lain (seakan-akan) terdapat pengecualian dari sabda beliau (Nabi saw): “semua yang baru adalah bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”. Sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela” (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).

4. Berkata pula Imam Nawawi: Ulama membagi bid’ah menjadi lima, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram. Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buk-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan contoh bid’ah yang mubah adalah makan bermacam-macam dari jenis makanan, dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155).

Penjelasan kedelapan
1. Abu Bakar Shiddiq ra dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an. Kisahnya sebagai berikut: Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah), dimana mereka itu para Huffadh (yang hafal) Al-Qur’an dan Ahli Al-Qur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra. Abubakar Ashiddiq ra berkata kepada Zeyd bin Tsabit ra: “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlul yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abu Bakar As-Shiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?, maka Umar berkata pada ku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Al-Qur’an dan tulislah Al-Qur’an!” berkata Zeyd: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Al-Qur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah SAW??”, maka Abu Bakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al-Qur’an” (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan keterangan di atas Abu Bakar Shiddiq ra mengakui dengan ucapannya: “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya Al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalkan oleh sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dan lain-lain, ini adalah bid’ah hasanah, justru mereka para shahabat yang memulainya.

2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha' berjamaah di masjid sebagai bid'ah, yaitu jenis bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik.

3. Hal baru tanpa perintah Rasul saw di masa Khalifah Utsman bin Affan ra adalah dilakukan penulisan Al-Qur’an, hingga Al-Qur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy.

4. Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dilakukan adzan dua kali pada Shalat Jumat. Hal ini tidak pernah dilakukan di masa Rasul saw, tidak di masa Khalifah Abu Bakar Shiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin Khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bukhari Hadits No.873). Pertanyaan: siapakah yang lebih mengerti larangan bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa Urrasyidin-empat manusia mulia ini, tidak faham makna bid’ah?.

Penjelasan kesembilan
Al-Izz ibn Abdis Salam salah seorang pengikut Imam Syafi’i, mengatakan bahwa bid'ah adalah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, dan terbagi menjadi lima hukum, yaitu: bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah mandub (sunnah), bid'ah makruh dan bid'ah mubah.

Contoh
1). Bid'ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasul-Nya; membukukan hadits-hadits Muhammad saw sebagaimana yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan ahli hadits lainnya.
2). Bid'ah haram misalnya menambah atau mengurangi jumlah rakaat sholat wajib dengan sengaja; menambah atau mengurangi isi Al-Qur’an; shalat tidak dengan bahasa Arab; memiliki istri lebih dari empat; menikah dengan penganut agama lian.
3). Bid'ah sunnah misalnya mendirikan madrasah; shalat tarawih berjamaah selama satu bulan penuh; peringatan maulid nabi; peringatan isra’ mi’raj; hal bi halal; tahlilan; peringatan nujulul qur’an.
4). Bid'ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran.
5). Bid'ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat; menghitung bilangan dzikir dengan tasbih; membaca usholli sebelum takbiratul ihram dalam shalat.

Pesan Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:
Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka?, berdasarkan apa pemahaman mereka?, atau mereka mengklaim bahwa pemahamannya adalah berdasarkan pendapat seorang imam A, padahal imam A tersebut tidak mencapai derajat hafidh atau muhaddits, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam?.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

Daftar Pustaka
1. Novel bin Muhammad Alaydrus, MANA DALILNYA, Taman Ilmu, Jl. Serayu VII, No. 3B, Rt.04, Rw.16, Semanggi -Surakarta, Cetakan XI, Januari 2006.
2. Hussein Bahreisj, HADITS SHAHIH, Al-Jamius Shahih, Bukhari-Muslim, CV Karya Utama, Surabaya.
%%%%%%%%


Selasa, 02 November 2010


Maulana Abdulmalik Israel

Yahudi Penyebar Islam Tanah Jawa

Yahudi. Satu kata itu menjadi satu makian konspiratif bagi muslim, tidak hanya kalangan fundamentalis, tetapi juga tradisionalis. Setiap ada budaya yang dilihat sebagai sesuatu yang menggerogoti tradisi keislaman selalu dikaitkan dengan upaya Yahudi dalam melemahkan iman masyarakat muslim. Demikian, ungkap Martin Van Bruinessen dalam sebuah ceramah yang disampaikan pada Institut Dialog Antar Iman (DIAN), Yogjakarta tahun 1993.
Tetapi, tahukah kita, bahwa ada seorang etnis Yahudi kelahiran Andalusia pada abad kelima belas masehi adalah salah satu penyebar Islam di pulau Jawa. Dialah Maulana Abdulmalik Israel yang semula seorang Yahudi yang konversi menjadi muslim, demikian dituliskan oleh Kyai Haji Muhammad Solikhin, seorang ulama yang mengasuh pesantren di Boyolali, dalam triloginya tentang Syeikh Siti Jenarnya. Bahkan, dalam buku yang ditulis oleh Ibnu Batutah, konon Maulana Malik Israel adalah salah satu anggota dari dewan Wali Sanga angkatan pertama, selain Syeikh Subakir, Syeikh Hassanuddin dan beberapa penyebar Islam pertama di Jawa. Maulana Malik Israel adalah seorang sufi yang meninggalkan tradisi Andalusia, tempat kelahirannya, sehingga tidak melulu mengandalkan rasionalisme yang telah menyebabkan kejatuhan Andalusia.

Maulana Malik Israel bersama anggota dewan Wali Songo menyebarkan Islam hingga akhirnya hayatnya. Konon, beliau dikuburkan di sebuah bukit kecil di tepi Teluk Banten, Bojonegara, Kab. Serang, utara Kota Cilegon. Tampaknya, bukit itu dipilih pertama kali oleh Maulana Malik Israel sebagai ulama yang lebih tua dari Syeikh Sholeh bin Abdurrahman seorang penyebar Islam yang hidup pada masa Maulana Hassanuddin. Bukit itu berada pada lokasi yang memiliki titik pandang yang cukup indah ke arah barat sehingga dapat menjadi proyeksi tafakur pada saat menyepi. Masyarakat menyebut bukit itu dengan Gunung Santri. Konon, daerah itu adalah tempat santri belajar kepada guru ulama tersebut.

Pada masa selanjutnya, daerah itu disebut dengan nama Kampung Beji. Sebuah kampung yang kemudian menjadi basis pergerakan perlawanan masyarakat Banten terhadap Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 hingga masa kemerdekaan. Salah satu inspirator perlawanan itu adalah Maulana Malik Israel, selain tentunya Sultan Ageng Tirtayasa, musuh utama VOC.

Inspirasi itu masuk dalam beberapa bentuk, antara lain melalui keturunannya yang tersebar di hampir seluruh tanah banten. Salah satu keturunannya adalah Syeikh Jamaluddin yang dimakamkan di dekat Pelabuhan Merak. Keturunan Maulana Malik Israel konon dinikahi oleh kakek dari Syarif Hidayatullah. artinya, secara tidak langsung Syarif Hidayatullah sebagian dari dirinya berdarah Israili, selain berdarah Husseini. Jejak dari penghormatan kepada Maulana Malik Israel ini disebutkan dalam silsilah Maulana Hassanuddin yang disebutkan dalam Sejarah Banten dengan nama Sultan Bani Israel. Inspirasi itu, selain melalui darah genetik, adalah tradisi wasilah dalam doa yang dipanjatkan dalam setiap memulai doa, hizib atau munajat oleh masyarakat Banten.

Dus, Yahudi bagi orang Islam tidak melulu distigmakan oleh muslim sebagai musuh pengrusak iman ummat Islam, tetapi ada juga seorang Yahudi yang mendapatkan penghormatan sebagaimana para wali penyebar Islam di Jawa lainnya. {annuri furqon}
Sumber: Gus MUs.Net 4 Mei 2010 12:03:01