"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Sabtu, 26 November 2011

HIJRAH DAN MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.
Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah dimulai sejak generasi pertama dibawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madienah.
Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah Saw dan para sahabatnya yaitu adanya proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini dapat kita lihat dengan dilakukannya tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototype masyarakat Islam. Tiga langkah strategis tersebut yaitu:
Pertama :Membangun Masjid (Pertama membangun Masjid Quba’, selanjutnya membangun Masjid Nabawi Al-Syarif) di Madienah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah Saw mengoptimalkan fungsi masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (sholat, membaca Al Quran, berzikir, i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah yaitu difungsikan sebagai ma’had: pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah: tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi dan politik; tempat bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa masjid dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan yang Islami.

Kedua: Membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah takaful ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasululah Saw adalah persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan, Rasulullah Saw berhasil membangun kota Madienah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sangat lama (sekira 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar di Madienah yaitu qabilah Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosial dari masyarakat Madienah kepada Muhammad Saw saat itu, telah berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas publik;

Ketiga: Menyusun suatu perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madienah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak maupun antara kaum muslimin dengan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madienah tersebut merupakan sebuah dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut. Penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai kabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madienah dari serangan luar, telah membawa pada perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madienah. Kita dapat menyimak bahwa secara substansial, Piagam Madienah telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah; persamaan; persaudaraan; persatuan; kemerdekaan dan toleransi beragama; perdamaian; tolong-menolong dan membela terhadap para pihak yang teraniaya. Konstitusi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah Negara dan Pemerintahan, dimana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

Dengan demikian Rasulullah Saw berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus Alloh Swt langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan Nubuwah dan Risalah. Ajaran yang diterimanya dari Alloh Swt ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madienah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu merupakan kepemerintahan termodern baik dalam Undang-undang, sistem sosial dan kemasyarakatan serta dalam bentuk maupun susunannya.
Dibawah kepemimpinan dan suri tauladan agung Rasulullah Muhammad Saw, walaupun beliau bukan orang asli Madienah, akan tetapi karena secara pribadi beliau memiliki kredibilitas serta komitmen yang kuat untuk melakukan suatu perubahan dan pembaharuan, sehingga beliau berhasil melakukan sebuah transformasi struktural maupun kultural dalam membangun Madienah ke arah yang lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak; menegakkan supremasi hukum serta lebih terbuka melalui kesantunan berpolitik. Upaya sinergitas dalam membangun juga berhasil beliau lakukan, sehingga terjalinlah kebersamaan dalam mewujudkan persatuan antar stakeholder. Kita dapat melihat dalam sejarah, bahwa komitmen kuat dari Rasulullah Muhammad Saw selanjutnya mendapatkan dukungan yang kuat pula dari publik. Pondasi ketiga yang dibangun ini memperlihatkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw sangatlah peduli pada semangat membangun kebersamaan dari berbagai komponen masyarakat yang majemuk (plural) dalam membangun kota Madienah.

Demikian besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat kita simak pula dari korelasi yang kuat antara terminologi peradaban dengan akhlaq, dimana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad Saw ke muka bumi. Hal ini sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadits diantaranya Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa : “Innama bu’itstu li utami-ma makarimal akhlaq, ("Sesungguhnya aku (Muhammad Saw) diutus Alloh Swt untuk menyempurnakan akhlaq”). Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.

Peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Saw adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Alloh Swt selain manusia juga merasakan kasih-sayangnya. Hal ini sangat berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam yaitu Silmun (kedamaian).

Rahmat dan kasih sayang yang dibangun oleh Islam, sebagaimana ditegaskan Al Quran Surat Al Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.


KORELASI MAKNA : DIEN, MADIENAH DAN TAMADDUN
Kita akan menemukan tiga terminologi yang sangat mengagumkan, ketika suatu peradaban dikonstelasikan dalam bingkai sistem Islam, dimana ketiga terminologi tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga terminologi tersebut adalah Dien, Madienah dan Tamaddun.

Secara ethimologis, dien menurut Munawar Kholil merupakan mashdar dari kata kerja Dana-Yadiinu, yang berarti Cara; Adat kebiasaan; Budaya; Peraturan; Undang-undang; Ketaatan atau kepatuhan; Meng-esakan Alloh; Pembalasan; Perhitungan; Pengadilan; Hari kiamat; Hari menegakkan keadilan; Nasihat, Kecintaan; Ketaatan; Agama. Sedangkan menurut Al-Attas, dien bermakna keberhutangan; susunan kekuasaan; struktur hukum dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya, dalam istilah dien itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dien Alloh yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madienah. Dari akar kata dien dan Madienah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Peradaban yang dibangun Rasulullah Saw di Madienah dapat kita simak dari sikap visioner beliau yang memiliki pandangan jauh ke depan terhadap pembentukan peradaban Islam yakni dilakukannya perubahan nomenclature Yatsrib menjadi Madienah oleh Muhammad Saw dengan konsep pembangunan dan nilai yang jelas.

Kalau kita simak, bahwa secara ethimologis Madienah merupakan derivat dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti: (a) Kota yang dalam bahasa Yunani disebut polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy atau politic dalam Bahasa Inggeris; (b) Madienah juga merupakan derivat dari kata tamaddun dan madaniyah yang berarti civility dan civilization atau peradaban. Kata sifat dari Madienah adalah Madani, maka sivilized sociaty atau civil society dalam bahasa Arab bisa disebut Mujtama’ Madani (masyarakat berperadaban). Dengan demikian, Madienah merupakan state yang didirikan untuk membangun peradaban baru yaitu peradaban tauhid. Sejarah telah mencatat, bahwa Madienah berdiri di atas pondasi sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, dimana dua hal ini merupakan esensi penting dalam membentuk suatu peradaban yang kemudian telah dibuktikan oleh sejarah perjuangan umat Islam. Dengan demikian, tamaddun merupakan kata benda yang berasal dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban (civilization).

Dalam kontek hijrah, peradaban juga memiliki korelasi yang kuat dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Ali Shariati, perkataan hijrah bersumber dari perkataan Hajar demikian pula halnya dengan Muhajir yaitu orang yang melakukan hijrah, dimana hijrah memiliki pengertian peralihan dari hidup biadab menjadi beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Didalam bahasa ibunya sendiri, nama Hajar berarti “kota”, yang melambangkan peradaban. Pada konteks ini, kita dapat melihat sebuah korelasi sejarah yang sangat kuat antara peradaban yang pernah dibangun Nabi Ibrahim As (suami Hajar, dan Bapaknya para Nabi) serta keturunannya, baik di Makkah (Bani Isma’il) maupun di Palestina (Bani Ishak) dengan peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madienah yang kemudian memancar ke seluruh dunia.

Ketiga kota suci tersebut memiliki kaitan akar sejarah yang sangat kuat atas nilai-nilai Rabbani yang telah diusung oleh para Nabi dan Rasul mulia, dimana setiap hijrah yang pernah dilakukannya merupakan sebuah gerakan dari kejahatan menuju kebaikan dari keterbelakangan menuju sebuah peradaban.

Dengan menyimak makna dari ketiga terminologi di atas, maka kita dapat melihat sebuah rangkaian yang utuh antara input, proses, output, impact sampai benefit dimana Islam yang dipilih Alloh Swt sebagai dien merupakan input yang luar biasa agungnya bagi tatanan kehidupan hamba-Nya. Input itu kemudian mengejawantah ketika sistem Islam membumi di Madienah dibawah kepemimpinan Rasulullah Saw yang pada tahapan selanjutnya telah berhasil membuahkan (output) sebuah peradaban (tamaddun) Islam yang agung dimana dampaknya (impact) mampu menyinari negeri-negeri pada hampir semua belahan dunia, dimana para pihak yang bukan hanya kalangan muslim saja akan tetapi non muslim sekalipun dapat mengambil nilai manfaatnya (benefit) dari tegaknya sistem Islam di muka bumi ini.

Sejarah membuktikan bahwa dengan datangnya gelombang peradaban Islam benar-benar telah menjadi faktor penyebab kejatuhan berbagai peradaban yang ada pada saat itu diantaranya Romawi. Hal tersebut merupakan bukti kuat bahwa Islam sebagai dien yang menghasilkan tamaddun dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Diantara faktor penyebab utamanya adalah bahwa Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, yang ajarannya universal serta mengajarkan persamaan kedudukan (egalitarian) antar manusia, yang mana hal ini telah mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Wallohu a'lam
Sumber: http://www.dudung.net/artikel-islami/hijrah-dan-membangun-peradaban-islam.ht

Sabtu, 12 November 2011

Asal usul Shalawat Badar
Sholawat Badar adalah rangkaian sholawat berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w. serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Sholawat ini adalah hasil karya Kiyai Ali Manshur, yang merupakan cucu Kiyai Haji Muhammad Shiddiq, Jember. Oleh itu, Kiyai 'Ali Manshur adalah anak saudara/keponakan Kiyai Haji Ahmad Qusyairi, ulama besar dan pengarang kitab ""Tanwir al-Hija" yang telah disyarahkan oleh ulama terkemuka Haramain, Habib 'Alawi bin 'Abbas bin 'Abdul 'Aziz al-Maliki al-Hasani, dengan jodol "Inarat ad-Duja".

Diceritakan bahwa asal mula karya ini ditulis oleh Kiyai 'Ali Manshur sekitar tahun 1960an, pada waktu umat Islam Indonesia menghadapi fitnah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika itu, Kiyai 'Ali adalah Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di situ. Keadaan politik yang mencekam saat itu dan kebejatan PKI yang merajalela membunuh massa, bahkan banyak kiyai yang menjadi mangsa mereka, maka terlintaslah di hati Kiyai 'Ali, yang memang mahir membuat syair 'Arab sejak nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, untuk menulis satu karangan sebagai sarana bermunajat memohon bantuan Allah SWT untuk meredam fitnah politik saat itu bagi kaum muslimin khususnya Indonesia. Dalam keadaan tersebut, Kiyai 'Ali tertidur dan dalam tidurnya beliau bermimpi didatangi manusia-manusia berjubah putih - hijau, dan pada malam yang sama juga, isteri beliau bermimpikan Kanjeng Nabi s.a.w. Setelah siang, Kiyai 'Ali langsung pergi berjumpa dengan Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi dan menceritakan kisah mimpinya tersebut. Habib Hadi menyatakan bahwa manusia-manusia berjubah tersebut adalah para ahli Badar. Mendengar penjelasan Habib yang mulia tersebut, Kiyai 'Ali semakin bertekad untuk mengarang sebuah syair yang ada kaitan dengan para pejuang Badar tersebut. Lalu malamnya, Kiyai 'Ali menjalankan penanya untuk menulis karya yang kemudiannya dikenali sebagai "Sholawat al-Badriyyah" atau "Sholawat Badar".maka terjadilah hal yang mengherankan keesokan harinya, orang-orang kampung mendatangi rumah beliau dengan membawa beras dan bahan makanan lain. Mereka menceritakan bahwa pada waktu pagi shubuh mereka telah didatangi orang berjubah putih menyuruh mereka pergi ke rumah Kiyai 'Ali untuk membantunya kerana akan ada suatu acara diadakan di rumahnya. Itulah sebabnya mereka datang dengan membawa barang tersebut menurut kemampuan masing-masing. yang lebih mengherankan lagi adalah pada malam harinya, ada beberapa orang asing yang membuat persiapan acara tersebut namun kebanyakan orang-orang yang tidak dikenali siapa mereka.

Menjelang keesokan pagi harinya, serombongan habaib yang diketuai oleh Habib 'Ali bin 'Abdur Rahman al-Habsyi Kwitang tiba-tiba datang ke rumah Kiyai 'Ali tanpa memberi tahu terlebih dahulu akan kedatangannya. Tidak tergambar kegembiraan Kiyai 'Ali menerima para tamu istimewanya tersebut. Setelah memulai pembicaraan tentang kabar dan keadaan Muslimin, tiba-tiba Habib 'Ali Kwitang bertanya mengenai syair yang ditulis oleh Kiyai 'Ali tersebut. Tentu saja Kiyai 'Ali terkejut karena hasil karyanya itu hanya diketahui dirinya sendiri dan belum disebarkan kepada seorangpun. Tapi beliau mengetahui, ini adalah salah satu kekeramatan Habib 'Ali yang terkenal sebagai waliyullah itu. Lalu tanpa banyak bicara, Kiyai 'Ali Manshur mengambil kertas karangan syair tersebut lalu membacanya di hadapan para hadirin dengan suaranya yang lantang dan merdu. Para hadirin dan habaib mendengarnya dengan khusyuk sambil menitiskan air mata karena terharu. Setelah selesai dibacakan Sholawat Badar oleh Kiyai 'Ali, Habib 'Ali menyerukan agar Sholawat Badar dijadikan sarana bermunajat dalam menghadapi fitnah PKI. Maka sejak saat itu masyhurlah karya Kiyai 'Ali tersebut. Selanjutnya, Habib 'Ali Kwitang telah mengundan para ulama dan habaib ke Kwitang untuk satu pertemuan, salah seorang yand diundang diantaranya ialah Kiyai 'Ali Manshur bersama pamannya Kiyai Ahmad Qusyairi. Dalam pertemuan tersebut, Kiyai 'Ali sekali lagi diminta untuk mengumandangkan Sholawat al-Badriyyah gubahannya itu. Maka bertambah masyhur dan tersebar luaslah Sholawat Badar ini dalam masyarakat serta menjadi bacaan populer dalam majlis-majlis ta'lim dan pertemuan.

Maka tak heran bila sampai sekarang Shalawat Badar selalu Populer. di Majelis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi sendiri di Kwitang tidak pernah tinggal pembacaan Shalawat Badar tersebut setiap minggunya. untuk lebih lengkapnya tentang cerita ini teman2 milis MR dan teman temanku seiman dapat membaca buku yang berjudul "ANTOLOGI Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU" yang disusun oleh H. Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan. semoga Allah memberikan sebaik-baik ganjaran dan balasan buat pengarang Sholawat Badar serta para habaib yang berperan serta mempopulerkan Shalawat tersebut kepada kita kaum muslimin. Al-Fatihah.....

dari milis MR
terimakasih akhina Dailami Firdaus atas izin copas nya

Kata kunci: sholawat
Sebelumnya: US bail-out deal remains elusive
Selanjutnya : Ketika Musim "Narsis" Tiba
Sumber; http://rahmatns.multiply.com/journal/item/144/Asal_usul_Shalawat_Badar

Fadhilah Sholawat Nariyah
Kali ini aku ingin berbagi tentang sebuah doa yang sangat terkenal di kalangan kaum nahdliyin (NU). Namun begitu, tidak ada salahnya bagi anda yang mempunyai faham lain untuk mengamalkannya. Saya yakin anda akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa dalam hidup anda karena ridho Allah swt…Amiien.

Beberapa manfaat dari sholawat nariyah antara lain :

1. Jika mendapat kesusahan karena kehilangan barang, hendaknya membaca sholawat ini sebanyak 4444 kali. Insya Allah barang yang hilang akan cepat kembali. Jika barang tersebut dicuri orang dan tidak dikembalikan, maka pencuri tersebut akan mengalami musibah dengan kehendak Allah swt. Setelah membaca Sholawat ini hendaknya membaca do’a sebagai berikut (boleh dibaca dengan bahasa Indonesia): “ Ya Allah, dengan berkah Sholawat Nariyah ini, saya mohon Engkau kembalikan barang saya”. Doa ini dibaca 11 kali dengan hati yang penuh harap dan sungguh-sungguh.

2. Untuk melancarkan rezeki, memudahkan tercapainya hajat yang besar, menjauhkan dari gangguan jahat, baca sholawat ini sebanyak 444 kali, boleh dibaca sendiri atau berjamaah.


3. Untuk menghilangkan segala macam kesusahan, memudahkan pekerjaan, menerangkan hati, meluhurkan pangkat, memperbaiki budi pekerti, menghindarkan malapetaka dan perbuatan buruk, baca sholawat ini sebanyak 40 kali setiap hari.

4. Jika dibaca 21 kali setelah shalat maghrib dan subuh akan terjaga dari musibah dan malapetaka apapun.


5. Jika dibaca 11 kali setiap selesai sholat 5 waktu (Shalat Wajib) akan terjaga dari bala’ ( kerusakan) lahir batin.

Syeih Sanusi berkata: “ Barangsiapa secara rutin membaca shalawat ini setiap hari
sebanyak 11 kali maka Allah swt akan menurunkan rezekinya dari langit dan mengeluarkannya dari bumi serta mengikutinya dari belakang meski tidak dikehendakinya”

berikut adalah bacaan doa sholawat nariyah :

Doa Sholawat Nariah

Allohumma sholli sholatan kamilah.
Wasallim salaman tamman ‘ala syayidina muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqod.
Watanfariju bihil kurob
Watuqdo bihil hawaij
Watunalu bihir Roghoib
Wahusnul howatim
Wayustaskhol gomamu biwajhihil karim
Wa’ala alihi washohbihi fi kulli lamhatiuw Wanafasim bi’adadi kulli ma’lumillak

Artinya:

Ya Alloh, Limpahkanlah Rahmat dan keselamatan yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad yang dapat melepas beberapa kerepotan atau ikatan, menghilangkan beberapa kesusahan, mendatangkan beberapa hajat, mendapatkan beberapa hajat atau keinginan, mendapatkan beberapa kesenangan, diberikan khusnul khotimah dan curahan rahmat sebab wajah mulia pada tiap saat dan nafas sebanyak yang Engkau ketahui, dengan kerahmatanMU wahai Dzat yang paling belas kasih.

Kalau anda berniat mengamalkan doa tersebut diatas usahakan agar anda membacanya dengan ikhlash dan hanya mengaharapkan ridho Allah semata.
Sumber; http://www.didiksugiarto.com/2009/03/fadhilah-sholawat-nariyah.html

Kamis, 03 November 2011

Imam Abu Yusuf

(113H/731M – 182H/798M)

Rubrik ini merupakan sebuah display yang akan mengetengahkan para pelopor ekonomi Islam baik klasik maupun modern. Untuk edisi perdana ini kami akan mengetengahkan sebuah sosok ulama-ekonom yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam terutama bagi mereka yang bermadzhab Hanafi. Sosok tersebut adalah Imam Abu Yusuf, seorang sahabat dan sekaligus murid Imam Abu Hanifah yang paling utama.
Nama : Nama beliau adalah Ya’qub bin Ibrohim bin Habib al-Anshori al-Kufi al-Baghdadi. Al-Anshori merupakan sebutannya karena dari sisi keturunan ibunya masih ada darah dari kaum Anshor. Beliau dilahirkan di kota Kufah yang terkenal sebagai wilayah Islam yang didominasi oleh ahlu ro’yi. Beliau mendapatkan sebutan al-Kufi karena lahir dan dibesarkan di kota Kufah, sementara al-Baghdadi adalah nisbah kepada Baghdad yang merupakan kota tempat beliau mengabdikan dirinya sebagai ulama dan qodhi sekaligus menyebarkan madzhab hanafi hingga akhir hayatnya.
Guru-gurunya: Sejak kecil Imam Abu Yusuf sudah memiliki minat yang kuat terhadap ilmu terutama ilmu hadis. Beliau meriwayatkan antara lain dari guru-gurunya yaitu Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq asy-Syaibani, Atha’ bin Sa’ib dan lain-lain. Dalam fikih beliau belajar kepada Muhammad bin Abdur Rohman bin Abi Laila yang terkenal dengan nama Ibnu Abi Laila. Namun beliau amat tertarik kepada fikih gurunya dan sekaligus sahabatnya yaitu Imam Abu Hanifah (150 H). Karena ketertarikannya kepada fikih Imam Abu Hanifah yang begitu besar, di samping karena dorongan yang kuat dari Imam Abu Hanifah sendiri, maka beliau terdorong untuk menyebarkan madzhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah. Bahkan dapat dikatakan bahwa beliaulah orang pertama dan paling bertanggung jawab terhadap perkembangan fikih Hanafi di kalangan masyarakat Islam. Hal ni dikarenakan beliau diangkat menjadi Ketua hakim (Qodhi al-Qudhot) oleh Kholifah Harun Ar-Rosyid, jabatan ini sebenarnya merupakan jabatan pertama dalam sistem peradilan Islam, sehingga leluasa untuk mengeluarkan fatwa dan memutuskan perkara dengan merujuk kepada fikih Hanafi. Pada saat yang sama beliau mendapatkan kebebasan untuk mencari para pembatu yang tentu saja sudah sejalan dengan fikihnya sendiri.
Karya-karyanya :
1. Kitab al-Atsar. Sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab ini tidak semuanya muttasil ( bersambung sampai kepada Rasulullah SAW) Sebagain hanya sampai kepada para sahabat (mauquf) atau kepada tabi’in (mursal).
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila. Melihat judulnya saja sudah terlintas bahwa kitab ini menghimpun perbedaan-perbedaan dalam fikih antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila yang juga merupakan guru dari Imam Abu Yusuf.
3. Kitab ar-Radd ala Siyar al-Auza’i Kitab ini merupakan himpunan dari sanggahan-sanggahan Imam Abu Yusuf terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
4. Kitab al-Khoroj. Kitab ini merupakan kitab beliau yang paling utama dan terkenal sehingga mengalahkan kemashuran kitab-kitab beliau yang lain. Dengan kitab inilah beliau dinobatkan menjadi fakih sekaligus ekonom Muslim klasik.
Menurut Ibnu Najm seorang ulama Hanafiyah, masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf selain yang telah disebutkan di atas umpamanya Kitab as-Sholah, Kitab az-Zakah dan lain-lain.
Sekilas tentang Kitab al-Khoroj.
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Yusuf atas permintaan Kholifah Harun ar-Rosyid agar menjadi pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari pajak, zakat dan jizyah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Imam Abu Yusuf,” Sesungguhnya Amirul Mukminin Harun ar-Rosyid (semoga Allah mengokohkan kekuasaannya) telah meminta kepada saya untuk mengarang sebuah kitab umum yang menjadi pedoman dalam pengumpulan khoroj, usyur, zakat dan jizyah”. Menilik judul dan isi kitab ini dapatlah kitab ini digolongkan sebagai buku Public Finance dalam pengertian ilmu ekonomi modern.
Khoroj adalah atas pajak tanah yang dikuasai oleh kaum Muslimin baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan perjanjian damai dengan pasukan Muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (khoroj) sejumlah tertentu kepada baitul mal.
Usyur merupakan bentuk jamak dari kata usyr artinya sepersepuluh atau 10 persen. Ia merujuk kepada kadar zakat pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada para pedagang Muslim maupun non-Muslim yang melintasi wilayah daulah Islamiyah. Dalam persoalan zakat pertanian ada ketentuan sebagai berikut yaitu jika penglelolaan tanah menggunakan teknik irigasi maka zakatnya adalah nisf al-usyr (5 per sen) sedangkan kalau pengelolaannya menggunakan irigasi tadah hujan maka zakatnya adalah usyr atau 10 per sen. Dalam beberapa riwayat, bea cukai antara pedagang Muslim, ahlu dzimmah dan ahlu harb dibeda-bedakan. Pedagang Muslim dikenakan rub’ul usyr (2,5 per sen), ahlu dzimmah nisf al-usyr (5 per sen) dan ahlul harb usyr (sepuluh per sen).
Jizyah adalah pajak kepala yang harus dibayar oleh penduduk non-Muslim yang tinggal dan dilindungi dalam sebuah negara Islam. Rasulullah SAW menetapkan jizyah lewat sahabatnya Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman sebanyak satu dinar setiap orang yang sudah balig. Ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku terbukti Umar bin Khottob memungut jizyah sebanyak 4 dinar atau 40 dirham.
Selain dari zakat, ghonimah dan fai’ ketiga pendapatan di atas merupakan sumber-sumber pemasukan utama bagi daulah islamiyah. Kitab al-Khoroj ini merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluarannya berdasarkan kitabullah dan sunnah RasulNya.
Diawali dengan nasehat yang baik kepada kholifah Harun ar-Rosyid, Imam Abu Yusuf menekankan agar penguasa menyadari bahwa amanah kekuasaan itu berat tetapi jika dilaksanakan dengan penuh amanah juga menjadi sumber pahala yang sangat besar. Tugas utama penguasa adalah menghapuskan kezaliman yang dirasakan oleh rakyatnya dan memenuhi segenap kebutuhan mereka lahir dan batin. (Hal. 3-17)
Dalam menghimpun zakat dan pemasukan lainnya, penguasa dinasehatkan agar memilih orang-orang yang dapat dipercaya (amanah), teliti dan kritis. Ini semua diharapkan agar proses penghimpunan bebas dari segala kebocoran sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga negara. (Hal. 132)
Menurut Imam Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam jelas mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Beliau memaparkan sebuah atsar bahwa banyak warga mengeluh kepada kholifah Umar bin Abdul Aziz karena harga-harga pada jamannya melambung. Umar bin Abdul Aziz menjawab keluhan mereka dengan mengatakan bahwa para penguasa sebelumnya (sebelum dia) telah memungut pajak dari ahlu dzimmah dengan kadar yang melebihi kemampuan orang yang memikulnya. Sementara beliau tidak membebani pajak jizyah melainkan sebatas kemampuannya sendiri karena ” Rasulullah SAW diutus untuk menjadi penyeru kepada Islam dan bukan menjadi penghimpun pajak.” Jika, karena sesuatu hal selain dari pada monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen, terjadi kenaikan harga dalam ekonomi, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan demand and supply dalam ekonomi.(Hal. 131-132).
Kitab al-khoroj berbeda dari kitab-kitab ekonomi Islam klasik yang lahir dari generasi yang berdekatan dengannya seperti kitab al-amwal karya Abu Ubaid yang isinya merupakan kumpulan hadis dan atsar yang berkenaan dengan ekonomi, keuangan dan bisnis. Kitab ini selain memaparkan hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan bab-bab pemasukan negara dan pengeluarannya secara rinci dan sistematis, juga membentangkan pikiran-pikiran Imam Abu Yusuf sendiri dalam persoalan tersebut yang merupakan ekspresi pendapat madzhab Abu Hanifah kendatipun dalam banyak persoalan beliau berbeda dengan gurunya. Meskipun kitab ini ditulis lebih dari 1200 tahun yang lalu, tetapi masih sangat relevan untuk dijadikan rujuakan dalam bidang ekonomi, keuangan dan perdagangan di jaman modern sekarang. Bahkan dapat pula dijadikan sebagai pedoman, rujukan dan pelengkap kebijakan pemerintah dalam fiskal dan moneter serta pembangunan ekonomi pada umumnya.
Tulisan: Ikhwan Abidin Basri, MA
Sumber: http://ekonomiislami.wordpress.com/2011/09/28/imam-abu-yusuf-113h731m-182h798m/