"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Jumat, 29 April 2011

Hierarki Kewalian
Syaikhul Akbar Ibnu Arabi dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :
1. Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali di seluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan. Wali Quthub ini memiliki gelar Abdullah.
2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Ka’bah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.
4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
5. Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
6. Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad SAW sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.
9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammad SAW.
Sumber: http://majlisdzikrullahpekojan.org

Sabtu, 23 April 2011

SYEIKH AHMAD KHATIB SAMBAS
Guru para Pahlawan Bangsa
Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Perkumpulan thariqah ini merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua thariqat sufi besar. yakni Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.

Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Guru-guru dan Murid
Di antara guru Ahmad Khatib Sambas semasa menuntut ilmu di tanah suci adalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani, seorang Syeikh terkenal yang berdomisili di Makkah, dan Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami, Ahmad al-Marzuqi al-Makki al-Maliki.

Sedangkan mengingat masa meninggalnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Oktober 1812 M. setelah mengabdi di tanah air selama empat puluh tahun, dan Beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1820 M. maka tidak mengherankan jika Beliau pun diduga sebagai salah satu guru Ahmad Khatib Sambas. Dalam hemat penulis, sangat mungkin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah guru Beliau sewaktu belum berangkat ke tanah suci.

Pendapat ini setidaknya mematahkan penolakan bahwa Ahmad Katib Sambas tidaklah mungkin pernah bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Mengingat tradisi nomaden dan situasi politik era perdagangan maritim yang telah dijelaskan sebelumnya, maka sebenarnya sangat mungkin bagi Ahmad Katib Sambas untuk bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama bersama dengan bimbingan pamannya yang juga adalah seorang ulama.

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.

Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.

Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.

Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Peranan dan Karya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Umar Abdul Jabbar, menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan 1802 M.) sebagai tanggal lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi. Namun mengenai tahun wafatnya di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad Abul Khair menyebut bahwa Syeikh Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira bersamaan 1863 M.), tetapi menurut Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-kira bersamaan 1872 M.).

Tahun wafat 1280 H. yang disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah pasti ditolak, karena berdasarkan sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam Singapura, menyebutkan bahwa Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari mengambil tariqat (berbaiat) dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di Makkah menjalani khalwat. Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi pada hari Rabu ketujuh bulan Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut oleh Umar Abdul Jabbar lebih mendekati kebenaran. Wallahu A’lam Bisshowab (Syaifullah Amin)
Sumber:www.nu.or.id

Jumat, 22 April 2011

Tiga Sudut Pandang Tasawuf


Taswuf sumbernya ada tiga; pertama tasawuf indal akhlaq wal adab, yang kedua tasawuf indal Fuqaha; tasawuf menurut fuqaha, tasawuf inda ahlil Ma’rifat. Ini yang perlu diketahui. Tasawuf inda akhlaq wal adab bisa kita terapkan sedini mungkin untuk anak-anak kita. Terutama makan; pake tangan kanan, di ajari sedini mungkin, masuk kamar mandi kaki kiri, keluar kaki kanan ini tasawuf akhlak wal adab. Karena sumbernya tasawuf adalah min akhlaq wal adab, dari pekerti dan tatakrama.
Yang kedua tasawuf indal fuqaha: bagimana fiqih ini tidak berhenti hanya secara fiqhiah belaka. Contoh orang kalau sudah menjalakan wudhu mau sholat, setelah dipake shalat wudhunya kemana? Selesai kan?! Nah orang tasawuf tidak mau. Tasawuf menuntut sejauhmana anda membawa wudhu ini terlepas daripada kefardhuan yang sudah anda laksanakan. Apakah anda wudhu didalam shalat hanya terikat oleh syarat-syarat atau hukum-hukum syari’at. Anda dituntut oleh ulama tasawuf agar wudhumu bisa mewudhui bathiniah Anda atau tidak. Dan seterusnya. Disinilah hebatnya ilmu tasawuf.

Tasawuf inda ahli ma’rifat, nah disni banyak orang terjebak. Dalam dunia tasawuf, dalam ilmu ma’rifat mereka yang perbendaharaannya belum mumpuni, belum mencukupi seringkali terjebak. Akhirnya dia memunculkan analis-analis, seolah-olah tasawuf berbau Budha tasawuf, berbau Hindu. Karena apa? Mereka tidak tahu. Ilmu ma’rifatnya saja mereka tidak mengerti, apa sebetulnya ma’rifat itu. Dari kekosongan itu, mereka belajar menganalis tasawuf; orang-orang yang sudah ahli Marifat, tinggi sekali, dengan bahasanya yang luar biasa. Wong dalam Tasawuf fuqaha saja mereka sudah tidak bias memahami.

Contoh Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali menjawab dunia falsafah, menjawab dunia tauhid aliarn ilmu kalam pada waktu berkembang macem-macem faham. Dijawab dengan tasawuf fuqaha, yaitu dengan munculnya ‘Ihya Ulumiddin’.

Mengapa dalam kitab Ihya ulumiddin banyak hadits-hdits maudu’ disamping dhaif. Karena apa? Pendapatnya ahli falasifah dijawab oleh Imam Al Ghazali dengan hadits yang maudhu saja, masih lebih baik haidits maudu’ daripada pendapat-pendapat kaum falasifah. Masih tepat, karena apa? Walaupun ini maudhu, tapi yang menggunakannya adalah orang-orang yang mengerti ma’rifat kepada Allah. Makanya disini digunakan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali.
Sumber:www.habibluthfiyahya.net.

Sabtu, 09 April 2011

Al Fana: Dan Tahapan-Tahapan Menuju Maqam Fana

Fana Dalam bahasa jawa berarti sepi, sunyi. Sementara fana dalam diri seseorang berarti besrihnya hati dari segala bentuk-bentuk keterkaitan, kebergantungan kepada selain Allah Swt. Orang-orang yang ada dalam maqamatil fana (kedudukan fana), mereka menuju kepada Allah Swt., tidak terkait, terpaut, kepada bentuk apapun. Bahkan pada kelebihan-kelebihan yang diberikan pada dirinya oleh Allah Swt., seperti inkisyaf, terbuka dan dapat mengetahui segala sesuatu. Dalam bahasa jawa inkisyaf itu adalah weruh sajeroning winara, mengetahui apa yang akan terjadi. Tapi sebetulnya mengetahui sesuatu yang akan terjadi itu bukan bentuk kekasyafan yang hakiki, yang sebenarnya. Karena hakikat al kasyfi, hakikat dari weruh sajeroning winara tujuannya adalah untuk memebenarkan apa yang dibenarkan oleh syariat. Sehingga orang-orang yang dibuka penghalang hatinya (hijab) atau mendapatkan kekasyafan dapat melihat syariah bukan hanya kulitnya saja. Ibarat melihat lautan sampai kedasar lautan, tidak sebatas melihat permukaannya saja. Sehingga mengetahui mutiara-mutiara yang terpendam didasarnya. Itulah sesungguhnya kekasyafan, bukan untuk menebak atau membuka rahasia orang. Justru orang yang bibuka hijab oleh Allah Swt, akan menutupi kekasyafannya. Karena dengan dibuka hijabnya sehingga mereka bisa mengetahui aib, kekurangan dirinya sendiri yang menjadi penghalang-penghalang menuju Allah Swt. Dengan bersihnya hati, mereka dapat menerobos, menembus rahasia-rahasia Allah Swt. yang hanya diketahui orang tertentu. Gambaran kekasyafan atau dibukanya hijab, seumpama dokter, dengan alat-alat canggih yang dimilikinya dapat mengetahui penyakit-penyakit yang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak diketahui dengan panca indra. Barangkali dapat dikatakan saat ini ilmu pengetahuan telah membuka inkisyaf secara saint. Seperti sinar X yang ditemukan tokoh-tokoh ilmuan bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi. Dengan bantuan sinar X seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang tidak tampak, seperti benjolan-benjolan dalam tubuh yang tidak pada tempatnya. Benjolan penyakit yang tidak tampak pada permukaan kulit. Demikian juga cairan-cairan dalam kepala bisa dilihat dengan bantuan sinar X. Itu baru ilmu yang secara lahir diberikan kepada manusia. Ilmu yang secara umum bisa dipelajari di bangku sekolah. Tapi sinar X yang diberikan pada orang yang makrifatnya kuat, yang telah dibuka hijabnya, tidak sebatas itu. Lebih jauh pandangannya. Karena mereka telah menggapai mutiara-mutiara yang ada dalam syariat Allah Jala Wa’ala yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Maka dengan ketajaman makrifatnya yang luar biasa, bukan suatu hal yang mustahil dapat mengetahui yang tidak tampak bagi keumuman orang. Dengan sinar X saja seseorang bisa mengatahui tengkorak dan tulang manusia. Yang ganteng, yang cantik kalau direntogen yang terlihat bukan cantiknya lagi atau ganteng lagi, yang terlihat tengkoraknya dan tulangnya. Begitu pula ilmu kasyfi, bilamana orang sudah dibuka hijabnya oleh Allah Swt. akan bisa melihat tulang-tulang yang ada dalam diri manusia. Cuma berbentuknya lain, apa? Yang meninggalkan shalat, yang berbuat maksiat, kelihatan sekali bentuknya tidak lagi membentuk kegantengan atau kecantikannya, yang kelihatan tulang belulangnya, Cuma dalam bentuk yang lain. Kalu kita bertanya, apa manusia bisa seperti itu? Kalau memandang manusianya tidak mungkin bisa, tapi kalau Allah Taala menghendaki dan memberinya, tidak ada yang mustahil. Jangankan seorang mukmin, para pembesar tokoh agama dijaman Firaun, mereka tidak beriman, mereka bisa mengetahui akan lahir seorang nabi yang akan melawan Firaun. Karena takutnya, Firaun membunuh setiap anak yang lahir. Mengapa Firaun melakukan hal itu? Karena dia mempercayai apa yang dikatakan oleh tokoh dalam agamanya. Dan terbukti itu benar, dengan lahirnya nabi Musa as. Demikian di jelaskan dalam al Quran. Nah orang seperti itu saja bisa diberi keanaehan, kelebihan oleh Allah Swt, apalagi orang yang beriman, yang menyebut ‘lâilâha illallah’. Orang yang hatinya dihiasi oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang hatinya disinari oleh ‘lâilâha illallah’, orang yang dalam hatinya terukir kata ‘lâilâha illallah’. Cahayanya menerangi matanya, bisa menerangi mulutnya, bisa menerangi lidahnya, bisa menerangi perilakunya. Sehingga seluruh anggota tubuhnya bisa dikendalikan. Karena apa? karena ukiran ‘lâilâha illallah’. Sehingga hatinya selalu kembali kepada Allah Swt. Malu rasanya kalau kita duduk berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat, Malu rasanya kalau kita duduk membuka aibnya orang, malu rasanya kita mempercayai omongan orang yang menjelek-jelekan orang lain. Itu semua tidak akan terjadi pada orang yang dalam hatinya telah terukir ‘lâilâha illallah’. Ketika dia sujud mengucapkan: ‘subhâna rabiya al a’la wabihamdih’, maha suci tuhanku, dan segala puji baginya, bukan hanya sekedar sarat dalam shalat, atau karena itu peraturan shalat. Bacaan-bacaan itu diucapkan dengan pengagungan dan pengakuan yang sebenar-benarnya. kata-kata itu di ucapkan dengan betul-betul. Dirinya hilang (fana), sehingga mereka tidak pernah mengatakan siapa saya, saya si A, saya, si B, saya bisa ini, saya bisa itu, tidak. Dirinya hilang, yang ada adalah Allah Swt. Dalam kesehariannya mereka dapat membawa buahnya ruku, buahnya sujud, buahnya fatihah, sehabis shalat yang dilakukannya. Itulah diantaranya yang dimaksud dengan fana. Sumber:www.habibluthfiyahya.net

Sabtu, 02 April 2011

Zikir Khafi

Rasulullah saww bersabda, “Wahai Abu Dzarr! Berzikirlah kepada Allah dengan zikir khamilan!”, Abu Dzarr bertanya : “Apa itu khamilan?” Sabda Rasul : “Khafi (dalam hati)” (Mizan al-Hikmah 3 : 435) TAHAP pertama zikir adalah zikir lisan. Kemudian zikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, zikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu disertai sirnanya zikir itu sendiri. Inilah rahasia dari sabda Nabi saw : ” Siapa ingin bersenang – senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah” TANDA bahwa sebuah zikir sampai pada sir (nurani yang terdalam yang menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah ketika pelaku zikir dan objek zikirnya lenyap tersembunyi. Zikir Sir terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya. Tandanya, apabila engkau meninggalkan zikir tersebut, ia takkan meninggalkanmu. Zikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu). Salah satu tandanya, zikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah–olah tertarik oleh rantai. Indikasinya, zikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup. Namun, engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala. Zikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku zikir seolah–olah lisannya tertusuk jarum. Atau, semua wajahnya adalah lisan yang sedang berzikir dengan cahaya yang mengalir darinya. KETAHUILAH, setiap zikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga. Sebab, perasaan mereka beserta perasaanmu. Di dalamnya ada sir sampai saat zikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, zikirmu juga gaib dari perasaan mereka. Kesimpulannya, berzikir dengan ungkapan kata–kata tanpa rasa hudhur (kehadiran hati) disebut zikir lisan, berzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut zikir kalbu, sementara berzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut Zikir Sir. Itulah yang disebut dengan Zikir Khafiy. Allah SWT berfirman: “Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu (nafsika) dengan merendahkan dirimu dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai” (QS 7 : 205) REZEKI lahiriah terwujud dengan gerakan badan, rezeki batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, rezeki sir terwujud dengan diam, sementara rezeki akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah. Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan komsumsi badan. Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Allah SWT berfirman, “Orang–orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (zikir kepada) Allah.” Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berzikir bersamamu. Sebab, engkau berzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs–mu , kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirmu. Bila engkau berzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berzikir bersama kalbumu. Bila engkau berzikir dengan nafs–mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah (‘Arsy) beserta seluruh isinya ikut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa Arsy dan roh orang–orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berzikir bersamamu. Bila engkau berzikir dengan sirmu, Arsy beserta seluruh isinya turut berzikir hingga zikir tersebut bersambung dengan zat–Nya. Imam al-Baqir dan Imam ash-Shadiq as berkata : “Para malaikat tidak mencatat amal shalih seseorangkecuali apa-apa yang didengarnya, maka ketika Allah berfirman : “Berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu (nafsika)”, tidak ada seorangpun yang tahu seberapa besar pahala zikir di dalam hati dari seorang hamba-Nya kecuali Allah Ta’ala sendiri” 58] DI DALAM riwayat lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Zikir diam (khafiy) 70 kali lebih utama daripada zikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal. “ (Al-Hadits) Bila sang hamba mampu melanggengkan Zikir Khafi serta meyakini bahwa semua Alam Lahir dan Alam Batin merupakan pengejewantahan dari nama-nama-Nya maka ia akan merasakan kehadiran-Nya di semua tempat dan merasakan pengawasan-Nya dan jutaan nikmat-nikmat-Nya. Perasaan akan kehadiran-Nya ini akan mencegah sang hamba dari berbuat dosa dan maksiat. Jika di hadapan anak yang sudah akil baligh saja manusia malu untuk berbuat dosa dan membuka auratnya, maka bagaimana ia tidak malu untuk membuka auratnya dihadapan Sang Khaliq? Mengapa kita tidak merasa sungkan dan malu berbuat hal-hal yang tidak layak di hadapan Sang Khaliq? Itu karena keyakinan kita atas kehadiran-Nya di setiap eksistensi tidak sebagaimana keyakinan kita ketika kita melihat kehadiran sang anak yang akil baligh tersebut. Apabila kita ingin mencapai keyakinan seperti ini kita mesti mempersiapkan latihan-latihan untuk melaksanakan Zikir Khafi sampai pada suatu tahapan di mana hati kita berzikir secara otomatis seperti gerak detak jantung dan tarikan-tarikan nafas kita (yang tidak kita kendalikan) Imam Ali Zainal ‘Abidin as di dalam do’anya : “Ilahi, Ilhamkanlah kepada kami Zikir kepada-Mu di kesendirian maupun di keramaian, di malam hari maupun di siang hari, secara terang-terangan, maupun secara rahasia (sembunyi), di saat gembira maupun di saat kesusahan, jadikanlah hati kami menjadi senang dengan berzikir al-khafi “ (Bihar al-Anwar 94 : 151) Laa haula wa laa quwwata illa billah – Tiada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah jua. Sumber: qitori.wordpress.com