"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 27 Juni 2011

Tasawuf Modern


Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir, iklhas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.Tasawuf menjadi sangat penting, karena bisa menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya.
Tasawuf sebagai salah satu pilar utama dalam Islam, harus dapat menyesuaikan di dunia modern ini karena kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.

Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif ketimbang konstruktif bagi kemanusiaan – sebagaimana juga sudah sering dikritisi oleh beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony Giddens & Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang mengkritisi paradigma budaya Barat.

Bila hal tersebut dibenturkan dengan agama,akan ditemukan masalah yang akut.Filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris, rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).

Paradigma materialistic-mekanistik yang berdasarkan metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif) telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerak material belaka. Misalnya, Adam Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan mempromosikan sekularisme.

Armahedi Mahzar mengatakan bahwa, paradigma Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun telah sukses meningkatkan kesejahteraan material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran masal oleh militer akibat penggunaan senjata nuklir, kimia, biologi militer; kerusakan lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut, keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.

Di sinilah pentingnya tasafuwwuf modern, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip: korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Pengertian Tasawwuf (‘Irfan )

Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol, bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi. Jadi istilah tasawuf hanyalah symbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme (kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).

Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang maknanya sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf)..

Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.

Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah. Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. : ). Inilah ayat yang menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge) atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati & akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired knowledge).

Manusia yang mencintai dan dicintai Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load) sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan) atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang disebut tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud (Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gust’ dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan atau Panembahan Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa ?)

Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu, sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. : )

Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin.

Bid`ah kah Tasawwuf

Manusia, seperti disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh/panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.

Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari.
Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.

Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23.

“Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).

Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.

Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.

Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.”

Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya.

Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad). Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah.

Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.thesufi.co.cc

Selasa, 21 Juni 2011

Pandangan Al Ghazali Tentang Ekonomi
Dalam wacana pemikiran filsafat Islam maupun tasawuf, tidak diragukan lagi bahwa Hujjat al-Islam al-Imam Al-Ghazali (450 H/505 H) merupakan salah seorang pemikir Islam yang sangat populer. Ia tidak hanya terkenal dalam dunia Islam, tetapi juga dalam sejarah intelektual manusia pada umumnya.
Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi dalam konteks tertentu mampu menembus dan menjawab pelbagai persoalan kemanusiaan kontemporer. Di kalangan umat Islam, dia lebih dikenal sebagai tokoh tasawuf dan filsafat.
Fakta ini tidak mengherankan mengingat puncak mercusuar pemikirannya, sebagaimana dapat kita lihat dari beberapa karya tulisnya, berada pada wilayah kajian ini. Meskipun demikian, sebenarnya garapan pemikiran Al-Ghazali merambah luas ke berbagai cabang keilmuan lainnya, seperti fikih, ushul fiqh, kalam, etika, bahkan ekonomi. Dengan demikian, Al-Ghazali tidak hanya lihai berbicara soal filsafat Islam maupun tasawuf, tetapi ia juga piawai mengulas soal ekonomi, terutama soal etika keuangan Islam.
Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya Reading in Islamic Economic Though memasukkan nama al-Ghazali ke dalam deretan tokoh pemikir ekonomi Islam fase kedua bersama-sama dengan Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan tokoh lainnya. Pada fase kedua ini wacana pemikiran ekonomi Islam telah berkembang secara intensif serta ditandai dengan perubahan dalam struktur kekuasaan Islam yang semakin luas.
Corak pemikiran ekonomi Islam pada masa ini lebih diarahkan pada analisis ekonomi mikro dan fungsi uang. Al-Ghazali, misalnya, banyak menyinggung soal uang, fungsi, serta evolusi penggunaannya. Ia juga menjelaskan masalah larangan riba dan dampaknya terhadap perekonomian suatu bangsa.
Secara tidak langsung, ia membahas masalah timbangan, pengawasan harga (at-tas’is atau intervensi), penentuan pajak dalam kondisi tertentu atau darurat. Ia juga berbicara mengenai bagaimana mengatasi dampak dari kenaikan harga, apakah dengan mekanisme pasar atau dengan intervensi pemerintah dan lain-lain.
Bernand Lewis (1993) menegaskan bahwa konsep keuangan Al-Ghazali menunjukkan karakter yang khas, mengingat kentalnya nuansa filosofis akibat pengaruh basis keilmuan tasawufnya. Namun, yang menarik dari pandangan keuangannya adalah bahwa Al-Ghazali sama sekali tidak terjebak pada dataran filosofis, melainkan menunjukkan perpaduan yang serasi antara kondisi rill yang terjadi di masyarakat dengan nilai-nilai filosofis tersebut disertai dengan argumentasi yang logis dan jernih.
Oleh karena itu, agar pandangan keuangan Al-Ghazali tertata rapi sehingga menjadi konsep yang mapan, tulisan singkat ini berusaha menggambarkan secara utuh seputar pandangan keuangan dia untuk kemudian dikaji dalam perspektif sistem ekonomi Islam.
Konsep uangDalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu merefleksikan semua jenis warna.
Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang. Definisi yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.
Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik. Atau lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real existence-nya dianggap tidak pernah ada. Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.
Pertama, larangan menimbun uang (money hoarding). Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas perekonomian suatu masyarakat.
Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh golongan tertentu. Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah inflasi.
Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.
Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.
Kedua, problematika riba. Secara sederhana riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil. Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 275, 278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130. Alasan mendasar Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
Ketiga, jual beli mata uang. Salah satu hal yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang. Dalam hal ini, Al-Ghazali melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.
Demikian sekelumit pandangan keuangan Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang mapan dan sempurna, pemikiran keuangan Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang secara sistematis dan logis.
Sumber: http://www.thesufi.co.cc.


Senin, 20 Juni 2011

THARIQAT YANG TERMASYHUR DI DUNIA
Pada awalnya pengenalan diskursus tasawuf di Barat, sebagian terselenggara melalui informasi akademis, melalui buku-buku yang ditulis, hasil penelitian lapangan, ataupun terjemahan karya-karya para sufi dari bahasa-bahasa Muslim (yakni bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu dsb), kedalam bahasa Barat (yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dsb).

Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166), hingga saat ini riwayat hidup dan karamahnya terutama yang dimuat dalam manqabah masih dibaca orang untuk mendapatkan barakahnya. Kekhasan tarekat ini masih survive sebagai tarekat pelopor, yaitu pengucapan dzikir jahar bahkan menjadi dasar dari sebagian tarekat yang lahir kemudian, misalnya bagian dari dzikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), selain dzikir khafi. Tarekat Qadiriyah telah masuk ke Indonesia pada masa Hamzah Fansuri pada pertengahan abad ke-16 Masehi. Tarekat Qadiriyah menurut Trimingham masih menjadi salah satu tarekat yang terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya di Yaman, Turki, Syria, Mesir, India, Afrika Utara dan Albania.

Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan nama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah binti Rasulullah SAW. Tidak diketahui secara persis kapan Tarekat Syadziliyah masuk ke Indonesia dan hingga kini masih ada di Jawa Tengah khususnya di Kudus dan kelihatan banyak juga pengikutnya. Secara khusus mereka juga aktif dalam hal pengembangan ekonomi. Saya dan keluarga kebetulan pernah mengunjungi sebuah pesantren yang kiyainya mempraktekkan dan mengajarkan Syadziliyah di Magelang, Jawa Tengah.

Ciri utama tarekat ini masih diamalkan hingga saat ini dengan variasi hizbnya dan terutama hizb al-bahr yang dikenal cukup memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh terkenal Syadziliyah lainnya yaitu Taj al-Din Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari (w.709/1309) pengarang Al-Hikam dan Miftâh al-Falâh wa Mishbâh al-Arwâh dan tokoh utama lainnya yaitu ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani pengarang al-Anwâr al-Qudsiyyah fi Ma‘rifat Qawâ‘id al-Shûfiyyah dan kitab al-Minah al-Saniyyah ‘alâ al-Washiyyah al-Matbûliyyah.

Mengenai Tarekat Naqsyabandiyah dan beberapa cabangnya antara lain Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, bersama dengan Naqsyabandiyah Khalidiyah, termasuk tarekat yang cukup progresif di Indonesia pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh. Kedua cabang tarekat ini berkembang dengan cepat dan di antara khalifahnya ada yang terlibat dengan kegiatan politik lokal. Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah di India, dikenal sebagai pelopornya Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah mempunyai anggota bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tengah, beberapa Negara Timur Tengah seperti Libanon dan Syria, sebagian Afrika Utara dan Afrika Barat, bahkan Eropah dan Amerika Utara.

Pengikutnya di Indonesia, sebagaimana penganut Naqsyabandiyah lainnya mempelajari buku-buku yang dibawa oleh jama’ah haji antara lain Jâmi‘ al-Ushûl fî al-Awliyâ’ wa Anwâ‘ihim wa Awshâfihim wa Ushûl Kulli Tharîq wa Muhimmât al-Murîd wa Syurûth al-Syaikh wa Kalimât al-Shûfiyyah Washthilâhihim wa Anwâ‘ al-Tashawwuf wa Alf Maqâm, ditulis oleh seorang syaikh berkebangsaan Turki, Ahmad bin Mustafa Diya’ al-Din Gumushani al-Naqshbandi al-Khalidi (w. 1311/1893). Beberapa penjelasan dalam Fath al-‘Ârifîn karya Syaikh Ahmad Khatib Sambas ada yang merujuk kepada kitab ini. Juga kitab Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, karya Yusuf Nabhani dan kitab-kitab lainnya yang populer di Indonesia termasuk Bahjat al-Saniyya fi Âdâb al-Tharîqah karya Muhammad bin ‘Abdullah al-Khani, Tanwîr al-Qulûb fî Mu‘âmalat ‘Allâm al-Ghuyûb karya Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili (w. 1322/1914), Majmû‘at al-Rasâ’il ‘alâ Ushûl al-Khâlidiyyah karya Sulayman al-Zuhdi, Khazînat al-Asrâr Jalîlat al-Adhkâr tulisan Muhammad Haqqi al-Nazili (w. 1301/1884 di Makkah), dan Kayfiyyat al-Dhikr ‘alâ al-Tharîqa al-Naqshbandiyya karya Muhammad Salih al-Zawawi.

Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah di sisi lain disebarkan di Indonesia oleh dua khalifah dari Muhammad Salih al-Zawawi, yang beliau sendiri adalah seorang khalifah dari Muhammad Mazhar al-Ahmadi (w. 1301/1884 di Madinah): ‘Abd al-‘Azhim al-Manduri dari Madura, Jawa Timur, dan Isma‘il Jabal dari Pontianak, Kalimantan Barat.

Tarekat Naqsyabandiyah (Haqqaniyah) yang berpusat di Cyprus, tempat kelahiran Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani dan khalifah beliau Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani dengan gigih telah berhasil mempunyai banyak cabang di Syria, Amerika Serikat (Michigan, Chicago dan California dan terdapat di 18 tempat lainnya), serta cabang-cabangnya di Kanada (Montreal, Toronto, Vancouver, dsb), Inggris (London dan Birmingham), Perancis, Spanyol (3 tempat), Swedia, Switzerland, Mesir, Jerusalem, Lebanon, Kenya, Jerman, Belanda, Italia, Argentina (4 tempat), Guadeloup, Australia, Pakistan, Sri Lanka, Mauritius dan Afrika Selatan, juga di Indonesia, Malaysia, Jepang (4 tempat), serta Brunei Darussalam. Karya-karya Syaikh Nazim, baik yang berbahasa Turki, Arab atau berbahasa Inggris, sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya, di seluruh Indonesia telah terdapat cabang-cabangnya, juga telah merambah ke manca negara termasuk Malaysia, Singapura and Brunei Darussalam. Ciri utama tarekat ini dzikir jahar dan dzikir khafi sebagaimana yang menjadi ciri utama kedua tarekat asalnya, telah menjadikan tarekat ini dinamis, lebih-lebih lagi TQN Suryalaya melalui Syaikh Mursyid K.H.A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) telah mendisain secara khusus kurikulum bagi rehabilitasi anak penyalahguna obat, bahan narkotika dan kenakalan remaja lainnya. Banyak pengunjung, mulai rakyat biasa hingga pejabat tinggi negara dan sarjana dari dalam negeri dan dari manca negara datang ke Suryalaya, untuk bertemu dengan Pangersa Abah Anom dan juga ada yang melakukan penelitian. TQN Suryalaya juga mempunyai pengikut di Amerika Serikat (Washington D.C.) dan di Inggris (London).

Cabang lainnya dari TQN di Jawa Tengah yaitu di Pondok Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen, asuhan K.H. Lutfil Hakim bin Muslih bin ‘Abdurrahman dan di Jawa Timur, Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang sekarang diasuh oleh K.H. Dimyati Romly, anak cabangnya yang lain terdapat di Pondok Pesantren al-Fithrah, asuhan K.H. Asrori Usman.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lombard, Tarekat Khalwatiyah didirikan di Khurasan oleh Zahir al-Din ‘Umar al-Khalwati di akhir abad keempatbelas masehi, dan diperkenalkan ke Sulawesi Selatan (Makassar) oleh Syaikh Yusuf (b.1626). Setelah menunaikan haji di Mekkah pada 1644, Syaikh Yusuf pergi ke Aceh melalui Banten pada 1645. Beliau ikut Tarekat Qadiriyyah bersama Nur al-Din al-Raniri di Aceh (sebuah sumber lain menerangkan bahwa beliau diinisiasi dalam Tarekat Qadiriyyah oleh seorang imigran dari Gujarat yang mengajar di Aceh, Muhammad Jilani bin Hasan ibn Muhammad al-Hamid, paman dari Nur al-Din al-Raniri).

Yusuf lalu ikut Tarekat Naqsyabandiyah dengan Syaikh Abu ‘Abd Allah ‘Abd al-Baqi Billah, dan masuk Tarekat al-Sa‘ada al-Ba‘alawiyyah dengan Sayyid ‘Ali ketika ia berada di Yaman. Pada saat ia berada di Madinah, Syaikh Yusuf ikut Tarekat Syaththariyah melalui Syaikh Ibrahim al-Kurani dan akhirnya masuk Tarekat Khalwatiyah melalui ‘Abd al-Barakat Ayyub bin Ahmad ibn Ayyub al-Khalwati al-Qurashi di Damaskus. Kemudian ia pulang ke Sulawesi untuk melawan Belanda disana. Ketika Makassar diduduki Belanda pada 1667, Syaikh Yusuf kembali ke Banten dan juga melawan tentara kolonial disana. Beliau tertangkap pada 1683, dideportasi ke Ceylon dan kemudian ke Capstad (Afrika Selatan) pada 1693, dan beliau wafat pada 1699. Beliau meminta Karaeng Abd al-Jalil untuk meneruskan Khalwatiyah di Makassar.

Abd al-Ra’uf Singkel (w.1699) seorang yang aktif menulis dan menterjemah buku-buku tasawuf. Seperti Hamza Fansuri, dia juga melakukan banyak perjalanan ke Timur Tengah untuk mencari ilmu. Al-Attas menjelaskan bahwa ‘Abd al-Ra’uf adalah murid Ahmad al-Qusyasyi (d.1660), seorang syaikh Tarekat Syaththariyah, pengarang Al-Simt al-Majîd, ketika ‘Abd al-Rauf belajar di Madinah, namanya muncul dalam silsilah dan menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syaththariyah ke Indonesia. Nama ‘Abd al-Ra’uf juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Qur’an bahasa Melayu yang berdasarkan atas karya al-Baydhawi berjudul Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, dan pertama kali diterbitkan di Istanbul pada 1884.

Murid utama ‘Abd al-Ra’uf Singkel adalah Burhanuddin dan ‘Abd al-Muhyi. Nama yang disebut pertama adalah mempunyai tanggung jawab untuk islamisasi di Sumatera Barat dan Syaikh ‘Abd al-Muhyi bertanggung jawab untuk daerah Jawa Barat terutama di daerah pegunungan sebelah selatan Tasikmalaya Makam Syaikh ‘Abd al-Muhyi terletak di Pamijahan, Karangnunggal (Jawa Barat), tidak jauh dari sebuah Goa tempat beliau dan teman-temannya mempunyai komunikasi dengan Makkah. Ketika beliau berusia sembilan belas tahun, ‘Abd al-Muhyi pergi ke Aceh dan belajar di bawah bimbingan Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Singkel selama delapan tahun (1669-1677).

Tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Syaikh ‘Abd al-Karim al-Sammani (1719-1775) dengan ratibnya yang terkenal ratib Samman, dibaca banyak orang di Indonesia. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Samman maupun Hikayat Syekh Muhammad Samman, keduanya mengungkap siapa sosok Syaikh Samman, terutama karamah beliau. Syaikh ‘Abd Samad al-Palimbani (w. 1800) dikenal sebagai penyebar tarekat ini di Indonesia, dan khususnya di daerah Sumatra Selatan. Daerah Palembang terkenal selama abad ke delapan belas masehi sebagai tempat berkumpulnya para sarjana dan penulis.

Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (w.1815), walaupun sebagian orang menganggap tarekat ini eksklusif namun dewasa ini masih banyak pengikutnya. Tarekat ini diperkenalkan ke Cirebon pada tahun 1928, dan cepat berkembang ke Tasikmalaya, Brebes dan Banyumas. Pada mulanya di bawah asuhan Kiyai Buntet dan Kiyai Madrais, tetapi setelah PD II atas pengaruh Kyai Madrais dinamai Agama Sunda, dan tidak lagi sebagai tarekat dan masuk kategori Kebatinan atau Kejawen. Namun begitu Tijaniyah yang benar berkembang terus sampai ke Pulau Madura bersama-sama dengan berkembangnya Naqsyabandiyah dan TQN. Sebagai tambahan selain Tijaniyah, Tarekat Syaththariyah juga berkembang di Pesantren Buntet, dan disebarkan oleh Kiyai ‘Abbas, seorang saudara laki-laki dari Kiyai Anas. Beliau berdua setuju bahwa kedua tarekat membentuk bagiannya dalam Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Tarekat Tijaniyah tersebar luas di seluruh Indonesia. Menurut sebagian peneliti, daerah Cirebon dan Garut sebagi basis wilayah Jawa Barat; Brebes dan Pekalongan sebagai basis wilayah Jawa Tengah sementara Surabaya, Probolinggo dan Madura sebagai basis wilayah Jawa Timur.

Tarekat Chisytiyah sebuah tarekat kelahiran India yang di dirikan oleh Syaikh Mu‘in al-Din Chisyti (w.1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini ke luar India. Di awal pendiriannya tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisyti di India menjadikan ‘Awârif al-Ma‘ârif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) sebagai pegangan mereka. Kitab ini juga menjadi dasar bagi mereka para guru Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awârif, Kasyf al-Mahjûb karya al-Hujwiri juga sangat populer di gunakan kaum Chisyti. Selain kedua kitab itu, Malfuzhat Syaikh Nizam al-Din Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib, Khwajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, juga menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan akurat bagi pembentukan ajaran Tarekat Chisytiyah. Hingga sekarang ini cabang Tarekat Chisytiyah juga terdapat di Amerika Serikat misalnya di Philadelphia, dibawa dan dikembangkan oleh seorang Syaikh Chisytiyah dari Sri Lanka, bernama Bawa Muhayiddin.

Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan pendiri Tarekat Mawlawiyah misalnya, yaitu Mawlana Jalaludin Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menterjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menseleksi dari Divan-i Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi.

Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire: The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaludin Rumi.

Meskipun begitu, tokoh Barat yang pada saat ini yang rajin mengembangkan dan mempromosikan Rumi dan tarekatnya adalah Syaikh Kabir Edmund Helminski (dan istrinya Cemille Helminski). Saya pernah dua kali bertemu beliau ketika ke Indonesia pada tahun 2003. Berbeda dengan sarjana-sarjana sebelumnya, Kabir Helminski menulis dan memperkenalkan Rumi dan tarekatnya dari dalam tradisi Mawlawi sendiri, kepada audiens internasional, karena ia sendiri adalah anggota Tarekat Mawlawiyah. Lebih dari itu, ia kini telah menjadi salah seorang “spiritual guide” terkemuka dari tarekat tersebut, setelah berpindah agama dan bahkan dianggap sebagai wakil (representative) dari Tarekat Mawlawiyah. Pada saat ini, Syaikh Kabir Edmund Helminski, dan istrinya Cemille Helminski, adalah co-direktur dari masyarakat Threshold sebuah organisasi non-profit yang dipersembahkan untuk berbagi pengetahuan dan praktek tasawwuf.

Pada saat ini “Threshold Society”, beralamat di RD 4 Box 400, Putrey, Vermont USA, 05346, atau 139 Main Street, Brattleboro, Vermont 05301. Ini merupakan pusat kajian Rumi internasional, dan yang bertanggung jawab secara luas untuk membuat Rumi menjadi salah satu penyair masa kini yang paling luas dibaca orang.

Kabir Helmiski menulis banyak buku dalam literatur sufisme, terutama tasawuf Jalaluddin Rumi, dengan cara menerjemahkan berbagai buku-buku tersebut. Ia adalah pengarang dari Living Presence: A Sufi Way to Mindfulness and Essential Self, yang dikomentari oleh Jack Kornfield sebagai “iluminasi modern yang menaruh perasaan terhadap jalan sufi yang sarat dengan aroma kuno”. Bukunya yang lain adalah The Knowing heart: A Sufi Path of Transformation, karya ini dipandang sebagai “sebuah pengantar yang jelas dan baik bagi tasawuf, yang dengan kreatif dibumbui oleh wawasan-wawasan batin dari al-Qur’an dan tulisan-tulisan Rumi”.

Bukunya yang juga sangat populer dan bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. B. Yasin adalah Rumi Day Light: A Daybook of Spiritual Guidance. Buku ini dinilai oleh Camille Adams Helminski, istri Syaikh Kabir Helminski, sebagai sebuah sumber wawasan dan penyegaran, yang dapat mendukung dan memberikan semangat. Dia juga beserta istrinya telah menulis sebuah buku kecil dan sangat cantik, yang didisain sebagai “hadiah" (gift), dengan dilengkapi beberapa kartu indah dengan lukisan-lukisan kuno Persia, sebagai tafsir bagi syair-syair Rumi, yang berjudul Rumi: The Path of Love. Buku kecil ini meliputi sejarah kehidupan Rumi, penjelasan tentang jalan sufi dari cinta dan 50 puisi pilihan dan penafsirannya dalam kartu-kartu yang indah terhadap semua puisi yang terkandung di dalamnya. Tetapi ada satu buku lagi yang sangat dekat dengan Tarekat Mawlawiyah, yaitu berupa wirid-wirid Mawlawi, yang disajikan secara lengkap dengan terjemahannya oleh Cemille dan Kabir Helminski sendiri, sebagai seorang Syaikh dan wakil Tarekat Mawlawiyah saat ini.

Syaikh Kabir Helminski juga adalah guru dari beberapa penulis dan sarjana yang terkemuka, termasuk di dalamnya adalah Brian Hines, seorang ahli fisika baru, dan pengarang buku God, Whisper, Creation’s Thunder, yang telah menjadikan Rumi sebagai pembimbing dan inspirator utama dalam menafsirkan fenomena-fenomena fisik yang ditemukan di laboratorium fisika modern. Dalam buku ini, Brian Hines tidak dapat menyembunyikan hutang budinya yang besar dalam pengenalannnya terhadap Rumi kepada Syaikh Kabir Helminski ini.

Tentang Tarekat Ni‘matullahi yang dikenal di kalangan Muslim Syi’ah misalnya, tokoh kontemporernya sesudah Mûnis ‘Alî Syâh (w. 1373 H/ 1953 M) adalah Javad Nurbakhsy, seorang psikiatris. Beliau berhasil merekrut banyak anggota kelas atas di Teheran, ketika profesi suatu jenis tertentu dari sufisme menjadi model modern; beliau juga membangun serangkaian khânqâh (zawiyah, rumah suluk) baru diseluruh negeri; dan menerbitkan dalam jumlah besar literatur tentang Nimatullâhî, termasuk karya-karya pribadinya. Ketika revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 hampir memperoleh kemenangan, Nurbakhsy meninggalkan negeri itu, dan dia sekarang mengurus para pengikut campuran dari orang-orang imigran dari Iran dan orang-orang Barat yang memeluk agama Islam yang hidup di kota-kota besar di Eropa dan Amerika Utara.

Javad Nurbakhsy dilahirkan di Kirman, Iran. Dia menyelesaikan sekolah dasarnya di kota itu, sering mengalami loncat-loncat dan selalu menjadi murid paling top di kelasnya. Pada umur enam belas tahun, dia dibaiat sebagai anggota Tarekat Nimatullâhî oleh Aqâ Mursyidi, salah seorang syaikh dari Mûnis ‘Alî Syâh. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan, dia pindah ke Teheran untuk menyelesaikan studinya di Universitas Teheran, menyertai gurunya, Mûnish ‘Alî Syâh, selama waktu senggangnya. Pada usia dua puluh tahun dia ditunjuk oleh Mûnish untuk menempati posisi syaikh dan dua tahun berikutnya menyusun tiga jilid buku tipis untuk menghormati gurunya dengan judul Gulzâr-i Mûnis, mengenai pelbagai aspek teoritis dan praktik tasawuf. Jilid terakhir dari karyanya ini diterbitkan pada tahun 1949 M.

Pada 1952 M, dia meraih gelar dokter (kesehatan) dan pindah ke Bam, sebelah barat Kirman, tempat dia ditunjuk sebagai kepala balai pengobatan tersebut. Di sana, pada 15 Juni 1953, ketika Mûnish ‘Alî Syâh wafat di Teheran, Javad Nurbakhsy menerima berita tentang pelantikan anumerta beliau sebagai quthb dalam Tarekat Nimatullâhî. Selama 34 tahun terakhir, Javad Nurbakhsy (Nûr ‘Alî Syâh II) telah memimpin dan mengelola Tarekat Nimatullâhî, yang selama rentang waktu ini dia telah mengawasi pembangunan lebih dari seratus pondok sufi atau khânqâh di kota metropolitan dan kota madya utama di seluruh Persia.

Javad Nurbakhsy adalah penulis atau penyunting lebih dari sembilan puluh karya terbitan Persia, yang dicetak di Teheran oleh penerbit Khaniqahi Nimatullahi (Intisyârât-i Khânqâh-i Ne’matu’llâhî). Publikasi-publikasi ini pada dasarnya dibagi dalam dua kategori: (1) Karya asli Javad Nurbakhsy; dan (2) Edisi kritis atas karya prosa dan puisi yang ditulis oleh para penulis sufi klasik. Namun Javad Nurbakhsy juga telah menerbitkan banyak artikel tentang psikologi. Mesti juga disebutkan bahwa Perpustakaan Nurbakhsy di Teheran menyimpan salah satu koleksi terbesar pelbagai manuskrip dan buku kuno tentang mistisisme Islam di Iran, yang indeks lengkapnya telah diterbitkan pada 1973 M oleh Ibrâhîm Dibâjî. Sejak 1962 M hingga 1977 M Javad Nurbakhsy mempraktikkan ilmu psikiatrinya sebagai profesor di Universitas Teheran dan kepala salah satu rumah sakit psikiatri terkemuka di kota itu. Dia juga menghabiskan waktunya mempelajari dan melakukan penelitian di bidang ini di Sorbornne (Paris). Dia adalah salah seorang tokoh sufi pertama yang menguasai ilmu jiwa tradisional sekaligus psikiatri modern.

Javad Nurbakhsy pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat pada 1974 M, dan menanggapi banyaknya permintaan dari para pengikutnya di Amerika yang jumlahnya semakin meningkat, pada 1975 M dia mendirikan pondok sufi (khânqâh) pertama di Amerika Serikat di kota New York. Tindakan ini diikuti oleh pelbagai pusat [tarekat itu] di kota-kota Amerika lainnya. Selama dasawarsa terakhir, jumlah khânqâh terus meningkat dan bertambah banyak di Amerika, dan sebuah khânqâh penting di London telah menjadi pusat tarekat ini di Barat.

Javad Nurbakhsy telah bermukim di London sejak 1983 M dan memprakarsai serangkaian penerbitan dalam bahasa Persia. Dua seri dari karya-karya ini pantas disebutkan secara khusus, karena menjadi bagian kontemporer penting dalam tradisi literatur sufi kuno: (1) Ma‘ârif-i Shûfiyyah, sebuah uraian ringkas tentang konsep-konsep teosofis dasar dari para penulis sufi klasik dalam tujuh jilid (empat jilid di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris); dan (2) Farhang-e Nûrbakhsy, lima belas jilid ensiklopedi tentang terminologi sufi yang membahas secara detail makna esoteris simbolisme puisi dalam leksikon sufi (tiga jilid telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Sufi Symbolism). Selanjutnya, sebuah jurnal ilmiah, Sufi, yang dikhususkan untuk mengkaji sastra, filsafat, dan praktik tasawuf, baru-baru ini mulai diterbitkan di London dalam bahasa Persia dan Inggris, yang menegaskan kembali ajaran-ajaran dasar dan abadi, landasan metafisika, dan kebenaran-kebenaran puitis spiritualitas Islam.

Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Áli al-Sanusi (1787-1859), sejak berdirinya hingga sekarang masih mendapat banyak pengikut terutama di kawasan Afrika Utara. Karangan beliau yang masih dibaca orang dan dijadikan sebagai bagian dari kutub al-mu‘tabarah yaitu al-Salsabil al-Ma‘în fî al-Tharâ’iq al-Arba‘în dan al-Masâ’il al-‘Asyar J.C Trimingham mencatat bahwa beliau telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah, dan meninggalkan kota itu pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di bukit yang bernama Jabal Akhdhar di daerah Cyrenaica.

Dapat kita amati disini bahwa di sisi lain kegiatan spiritual Islam secara praktek di masjid atau sufi center di Barat ikut menjadi semarak karena kedahagaan mereka terhadap kehidupan spiritual. Hal ini dapat diamati dalam kegiatan-kegiatan Tarekat Naqsyabandiyah dengan cabang-cabangnya, Tarekat Chisytiyah, Tarekat Mawlawiyah dan tarekat-tarekat lainnya seperti yang telah dijelaskan diatas. Perkembangan tarekat tidak selalu sama baik di Barat maupun di Timur, namun begitu hingga saat ini tarekat masih eksis dan berkembang dengan baik.
Sumber: http://www.thesufi.co.cc

Selasa, 14 Juni 2011

KH. Abdul Hamid
Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember;
Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur." Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya. Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut, namun penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah," katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu," katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. "Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang "egoistis", dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah," desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
Sumber: www.sufinews.com

Jumat, 03 Juni 2011

Waliyullah Gunung Pring
Kiai Haji Nahrowi Dalhar
Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali
yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. (Oleh: Nurul Huda)
Sumber: /www.sufinews.com


Panorama ekonomi – bisnis sufistik
Pendekatan
Ekonomi sufistik, dalam tataran tertentu, berbeda dengan apa yang dipahami banyak orang sebagai ekonomi yang Islami, yang semata-mata dipahami sebagai ekonomi yang berbasis syariah (hukum Islam). Ekonomi sufistik adalah suatu cara pandang tentang perilaku ekonomi yang dikembangkan melalui salah satu tradisi yang memiliki sejarah panjang dalam dunia intelektual Islam. Orang sering menyebutnya dengan tradisi kearifan atau hikmah.
Sebelum memaparkan lebih jauh mengenai ekonomi sufistik, saya ingin menegaskan terlebih dahulu apa yang saya maksud dengan tradisi kearifan, karena ini merupakan kunci dari apa yang saya ingin katakan melalui tulisan-tulisan saya. Hal yang membedakan tradisi ini dengan pendekatan yang semata-mata legalistik syariah adalah lantaran para pemikirnya selalu mempersoalkan “sebab” dari segala sesuatu, bukan semata-mata “bagaimana” sesuatu itu terjadi. Sebaliknya, para fuqaha (ahli hukum Islam), yang begitu lantang menyuarakan syariah, lebih cenderung memberitahukan pada kita tentang apa yang harus kita lakukan. Tidak banyak dari mereka yang mempertanyakan mengapa sesuatu harus dilakukan, karena keyakinan mereka sepenuhnya terhadap ketentuan-ketentuan dasar syariah.
Namun betapapun pentingnya syariah bagi kita, bagi masyarakat Islam, syariah selalu dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang lebih penting ketimbang dirinya sendiri. Prinsip-prinsip itu dikenal oleh kalangan praktisi ilmu pengetahuan sebagai ushul al-fiqh (prinsip-prinsip jurisprudensi) yang selalu dijaga dengan hati-hati dalam sepanjang sejarah. Tradisi kearifan telah secara serius menggali prinsip-prinsip ini dalam maknanya yang lebih mendalam. Begitu prinsip-prinsip itu dimunculkan, mereka dapat diterapkan dalam cara-cara yang baru, tanpa menyalahi jiwa atau apa yang tersurat dalam syariah. Tanpa pengetahuan tentang prinsip-prinsip ini, dengan syariah toh pendekatan baru dapat dicapai, tetapi acapkali ini justru merusak semangatnya.
Isu yang muncul di seputar perilaku ekonomi saat ini tidak bisa begitu saja didekati dengan cara pandang syariah. Itu tidak menyelesaikan masalah, karena syariah hanya menyampaikan perintah-perintah, hanya sebagian dari dimensi ajaran Islam. Syariah tidak memberitahu kita mengapa Islam melarang bunga bank. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adalah karena kita diperintahkan Islam untuk tidak melakukan itu, hal yang sama bahkan diajarkan oleh agama-agama ahli kitab lainnya, seperti Nasrani dan Yahudi. Penganut Islam apologetik pun mengemukakan ancangan-ancangan sosio-ekonomik untuk membendung berbagai kritik, tetapi inipun tidak memberitahukan apa-apa pada kita mengenai alasan-alasan yang lebih mendasar dalam kerangka Islam. Persoalan tentang alasan-alasan yang lebih mendasar inilah yang ingin dijawab melalui cara pandang sebagaimana tradisi kearifan memandang.
Tetapi saya merasa perlu untuk menegaskan satu hal, bahwa tidak ada yang salah dengan keyakinan terhadap cara pandang syariah tersebut. Saya juga tidak berpretensi sama sekali untuk mempertanyakan pendekatan legalistik seperti itu. Melainkan justru ingin merentangkan tali penghubung di antara pendekatan-pendekatan yang sering diperhadapkan dalam sejarah pemikiran Islam, yakni sufistik versus syariah. Dalam pengertian inilah saya memahami pengertian ekonomi islami.
Sebenarnya saya ingin menggunakan istilah ekonomi islami, tetapi karena alasan yang sangat teknis saya lebih cenderung pada istilah sufistik. Tidak lain untuk menghindari pengertian yang sama dengan pengertian yang sudah tertancap kuat di masyarakat, bahwa ekonomi islami adalah ekonomi yang berbasis syariah semata. Terlebih lagi, istilah islam dan syariah, yang dalam banyak hal penggunaannya sering dipertukarkan antara satu dengan lainnya, tetapi tetap dipahami dalam pengertian dan konteks yang sama. Hal ini cukup mengganggu saya. Itulah sebabnya, penggunaan kata sufistik ini bukan dalam pengertian perhadapannya dengan syariah, melainkan sekedar untuk menghindari dominasi pemaknaan yang bersifat legalistik semata. Artinya, ekonomi yang islami itu tidak saja dimaknai dalam sudut pandang syariah, karena syariah lebih mempersoalkan legalitas kontrak atau akad yang menjadi bagian terkecil dari kegiatan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pendekatan sufistik lebih bersifat determinan karena mampu menjangkau prinsip-prinsip syariah secara lebih mendalam sebagaimana telah disebutkan. Karenanya, saya pun sangat berharap bahwa pendekatan legalistik dapat mencerminkan dimensi-dimensi sufistiknya.
Bagaimana perspektif tradisi kearifan ini tentang ekonomi? Pertanyaan ini mau tidak mau menuntut kita untuk kembali menelusuri pembicaraan panjang mengenai Islam dalam tradisi intelektualnya. Tetapi, yang terpenting untuk ditekankan adalah bahwa setiap pembicaraan yang terjadi, termasuk dalam dimensi ekonomiknya, secara dini selalu menegaskan tentang adanya relasi kuat, sangat mendasar dan tak terelakkan di antara tiga realitas utama. Tiga realitas itu adalah Allah (metakosmos), dunia (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Allah adalah realitas hakiki, sementara dunia dan manusia adalah realitas derivasi. Setiap realitas hanya dapat dipahami melalui berbagai relasinya dengan realitas-realitas lainnya. Dan setiap yang muncul dari ketiganya selalu merupakan akibat dari relasi-relasi. Dalam bingkai inilah saya bermaksud menguraikan jawaban atas pertanyaan di atas.
Sumber:ekonomi sufistik.wordpress.com