"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Selasa, 20 Desember 2011

Dunia Sufi Yang Misteri (bagian 1)
by SufiMuda



Ketika anda mendengar kata “sufi” atau orang sufi saya yakin hampir sebagian kita tergambar sebuah kehidupan sederhana di padang pasir yang tandus, ada pohon kurma lengkap dengan ontanya serta tergambar juga dalam pikiran kita seorang yang pakaian sederhana memakai jubah dan surban seperti lazimnya orang Arab. Mungkin tidak semua dari anda berpandangan seperti itu, tapi itulah gambaran umum tentang kaum sufi dan gambaran itulah yang terekam dalam pikiran saya sebelum mengenal dunia sufi dari seorang Wali Allah.
Disampul buku-buku tasawuf juga kita lihat orang berjubah yang hidup sederhana, makanya tidak mengherankan banyak orang alergi dengan tasawuf karena dalam pandangan mereka orang sufi itu adalah jenis manusia zuhud yang tidak memerlukan lagi dunia, mereka hanya memikirkan Tuhan semata. Kritik tajam terhadap kaum sufi adalah mereka egois hanya memikirkan diri sendiri dengan ibadahnya sehingga melupakan hubungan dengan manusia.
Pandangan miring terhadap tasawuf dan dunia sufi itu saya dengar dalam sebuah perbincangan disebuah warung kopi, dimeja sebelah saya 4 mahasiswa IAIN sedang berbincang tentang sufi menurut pandangan mereka dan sangat disayangkan obrolan mereka bukan membahas kebaikan ajaran tasawuf tapi malah membahas hal-hal buruk tentang sufi. “Orang sufi ketika suluk tidak makan daging, dari mana dalilnya itu? Bukankah tindakan seperti itu tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah, kenapa melarang sesuatu yang dihalalkan Allah?” demikian seorang mahasiswa memaparkan pandangannya tentang tasawuf. Kemudian yang lain menambahkan, “Saya setuju dengan tasawuf sebagai pelajaran akhlak, tapi saya tidak setuju dengan Tarekat, jumlahnya begitu banyak jadi membingungkan dan terkesan Islam itu terpecah padahal Islam itu kan satu, tidak ada ajaran-jaran khusus sejak zaman dulu dan Nabi dengan sifat amanahnya tidak pernah menyembunyikan ilmu apapun, sementara mereka (kaum sufi) mengatakan memperoleh ilmu laduni, mana ada dalil seperti itu?”. Obrolan yang mirip diskusi itu terus berlanjut membahas hal-hal yang mereka sendiri tidak memahami dengan lengkap dan saya sambil menikmati secangkir kopi hanya senyum-senyum saja. Sebelum meninggalkan warung kopi saya hampiri mereka dan mengatakan, “yang kalian bahas itu tidak ada hubungan sedikitpun dengan tasawuf, persis seperti orang buta membahas tentang Gajah yang tidak pernah dilihatnya. Kalau kalian ingin belajar tasauf jangan hanya membaca tapi carilah guru yang ahli untuk membimbing kalian agar bisa mengamalkan tasawuf dengan benar.” Mereka menatap saya dengan wajah terkejut dan saya segera meninggalkan mereka dengan sejuta tanda tanya. Dalam hati saya berdoa mudah-mudahan Allah membimbing mereka sehingga menemukan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil.
Banyak orang membaca tentang tasawuf dan dunia sufi dari orang-orang yang tidak memahami sepenuhnya tentang tasawuf, hanya memahami secara teori dan kemudian pemahaman yang tidak lengkap tersebut dituangkan lagi dalam buku dan dibaca oleh orang awam maka timbul salah persepsi tentang tasawuf. Lebih parah lagi, membaca tentang tasawuf dari orang-orang yang memang anti dengan tasawuf, kelompok-kelompok yang mengambil ilmu dari orientalis yang selalu memojokkan tasawuf. Salah satu ucapan orientalis yang diyakini sebagian besar kaum muslim adalah mereka mengatakan tasawuf itu bukan berasal dari Islam tapi hasil percampuran antara Yahudi, Kristen dan filsafat yunani.
Dalam Islam sendiri ada kelompok yang memang sangat anti dengan tasawuf, saya tidak menyebutkan nama kelompok tersebut dan saya yakin anda mengerti yang saya maksudkan dan kebetulan kelompok tersebut bukan hanya tasawuf yang dianggap sesat tapi hampir seluruh aliran dalam Islam selain dari mereka dianggap sesat.
Kembali ke Sufi, karena seringnya kita membaca buku-buku tentang sufi, cerita sufi, anekdot sufi yang seluruh ceritanya sebagian besar menceritakan dengan latar belakang kehidupan di tanah Arab, dan itu wajar karena cerita-cerita tersebut diambil dari kitab-kitab yang ditulis oleh orang Arab.
Apakah Sufi itu hanya di arab? Dan apakah menjadi sufi itu harus selalu berjubah dengan sekian banyak tambalan, pakaian compang camping, memegang tongkat atau menggembala domba? Kalau menjadi sufi harus seperti itu maka saya yakin orang Indonesia tidak satupun memenuhi Kriteria menjadi seorang sufi .
Tasawuf adalah ajaran moral agar akhlak manusia menjadi lebih baik dan setahap demi setahap melangkah mendekatkan diri kepada Allah sampai benar-benar dekat sehingga tidak ada keraguan lagi yang disembah adalah Allah SWT. Seperti ucapan Abu Yazid ketika ditanya tenang Allah, Beliau berkata, “Tiada keraguan sedikitpun bahwa itu adalah Allah”.
Siapapun yang mengamalkan tasawuf, apakah orang arab, Indonesia, China bahkan orang Eropa sekalipun maka hatinya akan terisi dengan Nur Ilahi, memiliki gairah dalam berzikir mengingat Allah kemudian timbul rasa cinta dan rindu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sufi akan hadir dimana saja, mungkin dia suka nongrong di mall, atau sering duduk di warung kopi, atau sedang bekerja sebagai karyawan yang apapun yang dilakukan selalu tidak melupakan zikir kepada Allah. Bisa jadi teman disebelah anda dalam pesawat, tukang parkir yang sering senyum kepada anda, tukang bengkel yang memperbaiki mobil anda atau juga bahkan seorang penyanyi yang anda kagumi, jangan-jangan mereka adalah sufi yang selama ini anda cari. Tubuh mereka dibungkus oleh pakaian yang sesuai dengan zaman dan tempat mereka berada, namun hati mereka tidak berubah sedikitpun.
Sufi akan terus menjadi misteri sepanjang zaman dan tidak mudah dikenali kecuali oleh sufi itu sendiri. Mereka lebih senang kalau manusia tidak mengenali mereka sebagai sosok sufi yang alim, mereka lebih nyaman tidak diketahui agar terhindar dari sifat sombong dan ria. Mereka melakukan zikir lama-lama atas rasa cinta dan kerinduang kepada Sang Kekasih dan tentu saja tidak dilakukan di dalam mesjid atau tempat terbuka karena memang tujuan mereka beribadah bukan untuk mendapat pujian manusia
Bersambung…
Sumber: http://sufimuda.wordpress.comm
Dunia Sufi Yang Misteri (Bagian 2)
by SufiMuda



Seperti yang saya kemukakan pada tulisan yang lalu banyak pendapat atau kesan yang kurang tepat atau keliru tentang bagaimana seharusnya kehidupan para sufi. Salah satu pandangan negatif orang terhadap kaum sufi adalah tentang Zuhud yang merupakan salah satu maqam yang harus dilewati oleh para sufi. Tentang zuhud sekilas telah pernah saya bahas dalam tulisan Zuhud Yang Sebenarnya dan disini saya ingin menulis dua pendapat yang berbeda tentang zuhud. Pendapat pertama, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharapkan dan menginginkan suatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirati. Pengertian pertama ini akhirnya berkembang ekstrim sehingga zuhud berarti benci dan meninggalkan sama sekali sesuatu yang bersifat duniawiyah.
Pendapat kedua, zuhud tidak berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Tapi zuhud sebenarnya adalah kondsi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam pengabdian diri kepada Allah SWT.
Saya pribadi lebih condong kepada pengertian kedua dengan alasan selain Al Qur’an dan Hadist yang tidak menyuruh kita kearah pengertian zuhud yang ekstrim pertama, juga kehidupan para sahabat zaman Rasulullah dan kehidupan sahabat semasa Khulafaur Rasyidin. Sahabat-sahabat utama Rasulullah seperti Abu Bakar AsShiddiq, Usman bin Affan dan Abdul Rahman bin ‘Auf adalah orang-orang yang kaya. Walaupun mereka kaya, mereka tetap hidup sebagai orang zuhud, yaitu hidup sederhana, dimana kekayaan mereka tidak akan mengurangi apalagi memalingkan pengabdian diri mereka kepada Allah SWT.
Pengertian zuhud yang kedua ini sesuai dengan firman Allah SWT :
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri“. (Q.S. Al Hadid : 23).
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) kampong akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.” (Q.S. Al Qashash : 57).
Pengertian kedua ayat ini adalah bahwa kita manusia tidak dapat memisahkan diri sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi yang di ridhai Allah, sebab kita masih hidup di alam dunia. Pengertian lain adalah bahwa harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta benda tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang, sehingga menghalangi yang bersangkutan untuk menghampirkan dirinya kepada Allah SWT, atau dengan kata lain, sikap seorang sufi tidak boleh diperbudak oleh harta duniawi, tetapi hata duniawi itu dijadikan persembahan, pengabdian ubudiyah lebih banyak lagi kepada Allah SWT.
Yang menjadi pertanyaan, “Apa sebab terjadinya sikap zuhud ini, dan kenapa muncul anggapan bahwa sufi identik dengan sikap zuhud?”. Harus di akui bahwa Kajian dan gerakan zuhud ini memang muncul pertama kali di kalangan pengamal tasawuf pada akhir abad pertama hijriah. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta pembesar Negara yang merupakan dampak dri kekayaan yang diperoleh kaum muslim dalam pembebasan, penaklukan negeri-negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia (Irak) dan Persia.
Semasa Dinasti Umayah pola hidup sederhana berubah menjadi pola hidup mewah dikalangan para Khalifah dan pembesar-pembesar Negara dan timbulnya jurang pemisah antara rakyat dan penguasa. Pola hidup mewah dan kondisi mental yang demikian tidak sesuai dengan ajaran dan amal agama seperti yang dicontohkan olh Rasulullah dan para sahabat. Disinilah awal timbulnya gerakan Zuhud sebagai wujud untuk menentang sikap dari Para penguasa yang hidup dalam kemewahan.
Tasawuf sebagai ajaran Islam harus sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist sebagai rujukan semua orang Islam dan kajian-kajian tasawuf yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist harus dipertanyakan kebenarannya walaupun meninjau Al Qur’an tidak selalu harus dari segi tekstual semata.
Islam menganjurkan pemeluknya untuk sunguh-sungguh mencari rizki dan tentang keutamaan mencari rizki anda bisa membuka Al Qur’an Surat : Al Jumu’ah ayat 10, Al Muzammil ayat 20 dan surat Al Baqarah ayat 198, dan ini menjadi petunjuk bagi kita tentang keutamaan mencari rizki agar hidup menjadi lebih baik di dunia ini.
Diriwayatkan bahwa Nabi Isa a.s melihat seorang laki-laki, maka Beliau besabda, “Apakah yang kamu kerjakan?”. Ia menjawab, “Saya beribadat”. Isa bersabda,”Siapakah yang menanggungmu?”. Ia jawab, “Saudaraku”. Isa bersabda,”Saudaramu lebih baik ibadahnya daripada kamu”.
Dalam sejarah, para sufi pada umumnya bekerja sendiri untuk mencari nafkahnya dalam berbagai bidang usaha, sehingga ada diantara mereka itu diberikan julukan-julukan sesuai bidang usahanya itu. Seperti Al Hallaaj (Pembersih kulit kapas), Al Qashar (Tukang Penatu), Al Waraak (Tukang Kertas), Al Kharraaz (Penjahit Kulit Hewan), Al Bazzaaz (Perajin Tikar Daun Kurma), Az Zujaaji (Pengrajin dari kaca) dan Al Farraa’ (Penyamak Kulit).
Tidak terkecuali juga sufi zaman sekarang, mereka tidak melupakan kewajibannya mencari nafkah diberbagai usaha menghidupi dirinya dan keluarganya. Menjadi seorang sufi tidak harus miskin dan melarat namun jika Tuhan memberikan anda cobaan dalam bentuk kemiskinan berarti Dia senang dengan kondisi tersebut dan anda harus tetap mensyukuri apapun yang diberikan oleh-Nya. Kemulyaan seseorang dimata Tuhan tidak terletak pada banyak atau sedikit harta tapi bagaimana hatinya selalu bisa mengingat Allah siang dan malam, sunyi dan ramai, susah dan senang sehingga kondisi apapun tidak mempengaruhi dirinya untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.
Gambaran Sufi yang saya kemukakan diatas mudah-mudahan bisa sedikit menghapus prasangka buruk orang-orang yang tidak paham dengan tasawuf atau orang-orang yang belum pernah belajar tasawuf namun sudah merasa menjadi sufi dengan kesusahan dan kemiskinannya. Anda menjadi miskin dan susah tidak berarti anda menjadi seorang sufi begitu juga anda menjadi kaya juga tidak berarti anda menjadi sufi Karena kesufian itu terletak di hati. Lanjutan dari tulisan ini akan kami ceritakan tentang tokoh-tokoh sufi yang kehidupannya kaya raya bahkan ada yang sangat kaya yang kekayaannya mengalahkan seorang Raja. Mudah2an tulisan ini bermanfaat hendaknya, salam.
Sumber: http://sufimuda.wordpress.com/

Rabu, 14 Desember 2011

Revitalisasi Tasawuf untuk Perdamaian Dunia
oleh: Prof. DR. Nur Syam


Beberapa waktu lalu, saya dilibatkan untuk menjadi narasumber di dalam diskusi nasional tentang Tasawuf yang dilaksanakan oleh PBNU dalam kerangka Harlah NU ke 89. Ada tiga lokasi yang dijadikan sebagai tempat untuk menyelenggarakan diskusi nasional, yaitu Bandung, Semarang dan Surabaya. Acara di Semarang (19 Juni 2011) mengusung tema “Deradikalisasi Menurut Islam Ahl’ Sunnah waljamaah: Perspektif NU”, kemudian di Bandung (26 Juni 2011) dengan tema “Kembali ke Pesantren, Kembali ke Cita-cita Luhur Bangsa”, dan kemudian di Surabaya (02 Juli 2011) dengan mengusung tema: “Revitalisasi Sufi untuk Perdamaian Dunia”. Acara ini diselenggarakan di Hotel Prime Royal, Surabaya.
Acara ini dihadiri oleh para mursyid tarekat dan juga aktivis dan pengurus NU se-Jawa Timur. Sebagai nara sumber selain saya adalah KH. Dr. Mustafa Mas’ud, KH. Dr. M. Luqman Hakim, yang keduanya adalah pengasuh pesantren dan guru tarekat Sufi.
Sebagai nara sumber, maka saya jelaskan beberapa hal yang terkait dengan revitalisasi tasawuf di dalam menggerakkan perdamaian dunia. Saya kemukakan beberapa pertanyaan terkait dengan peran tarekat di dalam membangun peradaban dunia yang dimaksud.
Pertama, apakah tasawuf memiliki peran di dalam membangun perdamaian dunia? Terhadap pertanyaan ini, maka bisa dijawab melalui tiga kenyataan empiris bahwa secara teologis dan ideologis bahwa tidak ada ajaran tarekat atau tasawuf yang tidak mengembangkan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin. Prinsip ketauhidan di dalam ajaran tarekat adalah membangun prinsip ketauhidan dengan menekankan pada prinsip dzikir “tidak ada Tuhan Selain Allah”, Lailaha Illallah, baik dalam konteks dzikir nafi itsbat maupum dzikir lainnya. Melalui prinsip teologis dan ideologis yang berada di dalam konteks wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin tersebut, maka kita berkeyakinan bahwa tasawuf akan bisa dijadikan sebagai instrumen bagi perdamaian dunia. Prinsip doktriner bahwa Islam adalah agama rahmat tentu akan mengajarkan tentang keselamatan, keharmonisan dan kerukunan. Melalui prinsip Islam rahmatan lil alamin yang diterjemahkan sebagai pengembangan prinsip kerukunan, keharmonisan dan keselamatan maka dapat dipastikan bahwa ajaran tasawuf akan dapat menjadi pilar penting bagi proses membangun peradanan dunia berbasis pada perdamaian.
Kedua, ajaran tasawuf memiliki nilai etika yang luar biasa di dalam kehidupan dunia. Ajaran etika di dalam tarekat sesungguhnya memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai pembentuk tindakan yang baik. Tasawuf sebagai proses tazkiyatun nafs tentu akan mengarahkan penganutnya pada sidqul qalbi, sidqul qaul dan sidqul amal. Melalui kejujuran hati maka akan didapati ketiadaan kebohongan hati baik kepada sesame manusia maupun kepada Allah. Melalui kejujuran perkataan maka apa yang diucapkan akan selalu disesuaikan dengan apa yang dialami dan dilakukan dan melalui kejujuran tindakan, maka juga akan didapati kesesuaian dengan apa yang dilakukan dengan kenyataan riil tindakannya tersebut. Melalui ajaran tasawuf, maka sesungguhnya akan didapati sebuah system mekanik di dalam kehidupan manusia yang akan bisa menjadi pattern for behavior bagi kehidupannya.
Di sisi lain, tarekat adalah sebagai medium bagi pendidikan karakter. Tidak ada ajaran yang sesolid tarekat di dalam mengajarkan pendidikan karakter. Saya menjadi teringat kepada suatu peristiwa yang diceritakan oleh Rektor Universitas Satya Wacana beberapa saat yang lalu. Suatu kesempatan bahwa ada pertemuan mahasiswa di Thailand. Sebagai peserta pertemuan ini, maka ada mahasiswa Jepang, Korea, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan sebagainya. Dari seluruh mahasiswa yang hadir maka diberikan session khusus untuk membicarakan perencanaan kegiatan khusus untuk mereka sendiri. Akhirnya diputuskan untuk melakukan kunjungan ke universitas. Yang menarik, bahwa mahasiswa Jepang meminta izin dan pamit kepada dosen-dosennya, akan tetapi tidak satupun mahasiswa Indonesia yang melakukannya. Maka lalu memunculkan pertanyaan, siapa yang sesungguhnya lebih religious, apakah mahasiswa Indonesia ataukah mahasiswa Jepang.
Kemudian juga sebuah peristiwa dalam upacara Gerakan Anti Korupsi yang dilakukan di Kantor Grahadi. Dari sebanyak 20 orang anak yang diminta untuk menyerakan stiker Gerakan Anti Korupsi, maka hanya ada satu anak perempuan yang melakukan salaman dengan orang tua sambil mencium tangan orang tua-tua atau pejabat-pejabat itu. Maka ada suatu kenyataan membentang bahwa ternyata yang melakukan tindakan bersalaman sambil mencium tangan yang lebih tua hanya sedikit. Sambil bergurau saya nyatakan, bahwa yang bersamalan dan mencium tangan orang tua dipastikan anaknya orang NU.
Di sisi lainnya, para santri juga bisa menjadi bagian dari kenyataan empiris bahwa pendidikan karakter ternyata penting. Jika kita berkunjung ke pesantren, maka akan didapati bagaimana para santri itu menghormat kepada yang lebih tua. Jika mereka duduk di pinggir jalan, maka ketika ada yang lebih tua lewat maka para santri berdiri untuk menghormat kepada yang lewat tersebut. Makanya di dunia pesantren tidak didapati demonstrasi, sebab mereka menyadari betul akan pentingnya keridlaan ilmu bagi mereka. Jika kyainya merestui ilmunya, maka mereka akan memperoleh manfaat akan ilmunya tersebut. Hal ini lain dengan mereka yang sudah memasuki dunia perguruan tinggi, maka demonstrasi dianggap sebagai bagian dari proses untuk mencapai tujuan, sehingga di dunia perguruan tinggi banyak dijumpai gerakan demonstrasi mahasiswa.

Pendidikan karakter hakikatnya adalah pendidikan hati. Dewasa ini banyak proses pembelajaran yang tidak menggunakan hati nurani. Pembelajaran lebih mengarah kepada pendidikan intelektual saja sehingga tidak sampai kepada pembentukan karakter manusia.
Ketiga, apakah tarekat akan bisa menjadi gerakan social. Berdasarkan telisikan yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, ketika melihat Pemberontakan Petani Banten 1888, maka didapati bahwa penganut tarekat ternyata menjadi kekuatan inti di dalam pemberontakan petani dimaksud. Bukan pemberontakannya yang menjadi catatan penting akan tetapi adalah semangat keagamaan yang mendasari keberaniannya untuk melawan penjajahan Belanda. Semangat kemerdekaan yang dijiwai oleh ajaran tasawuf inilah yang seharusnya dibaca sebagai bagian penting di dalam gerakan terakat. Ada semangat perlawanan yang dijiwai oleh semangat keagamaan.
Selain itu adalah Perang Diponegoro. Sebagaimana hasil telisik yang dilakukan oleh Karel Steenbrink, maka di dalam Perang Diponegoro ternyata banyak dijumpai indikasi keterlibatan penganut tarekat. Ada banyak hal yang mengingatkan akan adanya amalan penganut tarekat. Kyai Mojo adalah penganut tarekat demikian pula Pangeran Diponegoro. Makanya jika di dalam perang Diponegoro tersebut banyak dijumpai indikasi keterlibatan penganut tarekat maka tentu bukan hal yang mustahil.
Kemudian juga semakin banyaknya eksekutif muda yang mengamalkan tarekat secara non struktural. Mereka mengamalkan tarekat yang dianggap televan dan cocok dengan kehidupannya. Ketika mereka terkena macet di jalan, maka yang dilafalkan adalah Allahumma yassir wa tu’assir. Jadi bukan melafalkan lagu-lagu akan tetapi membaca wirid yang diyakini bisa mengantarkannya kepada kemudahan. Bahkan banyak dijumpai mereka menghidupan video atau apapun yang berisi tentang wirid atau dzikir ketarekatan.
Hal di atas memberikan gambaran tentang bagaimana tarekat telah memasuki kehidupan masyarakat, tidak saja kaum awam akan tetapi juga kaum elit bahkan para pengusaha muda. Jadi, tarekat telah menjadi fenomena yang khusus bagi masyarakat Indonesia dan sesungguhnya telah menjadi gerakan yang berjalan ke depan sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh tarekat yang rahmatan lil alamin.
Oleh karena itu, menurut saya bahwa melalui kenyataan teroretis dan empiris sebagaimana saya paparkan di atas, ternyata tasawuf bisa menjadi instrument bagi pengembangan perdamaian dunia yang didasari oleh semangat keagamaan esoterik yang menjanjikan.Wallahu a’lam bi al shawab. Sumber: http://sufinews.com

Minggu, 11 Desember 2011

Bubur Suro: Membaca Kembali Sejarah Islam


Bagi sebagian masyarakat Islam di Nusantara bulan Muharram adalah bulan istimewa. Sebagai bulan pertama tahun hijriyah, Muharram menjadi ruang ruang muhasabah (intropeksi diri) akan amal masa lalu guna menjadi pedoman langkah masa depan. Muharram menjadi serambi sebuah rumah yang berisikan sebelas bulan lainnya. Oleh karena itu Muharram dipercaya memantulkan nuansa peribadatan seseorang dalam satu tahun ke depan. Seperti halnya serambi yang bagus biasaya dimiliki sebuah rumah yang mewah. Begitu pula bulan Muharram, amal yang shalih di bulan ini mencitrakan sebelas bulan lainnya. Dengan demikian Muharram mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan bulan lainnya. Wajar saja jika umat muslim berbondong-bondong melakukan kebaikan dan sedekah pada bulan ini.Secara historis, bulan Muharram juga memiliki keistimewaan. Pada bulan inilah Nabi Muhammad saw. memutuskan berpindah dari Makkah menuju Madinah demi kesuksesan dakwah Islam. Bulan ini merupakan waktu yang berharga yang di dalamnya Rasulullah saw menemukan kunci keberhasilan dakwah Islam yaitu hijrah. Hijrah yang berarti ‘pindah’ tidak semata-mata mencari ruang yang sesuai untuk berdakwah, ruang yang lebih minim bahaya, ruang yang lebih kondusif. Tidak. Karena Rasulullah saw sendiri tidak pernah takut dengan berbagai ancaman kafir Makkah. Namun hijrah memiliki makna lain yaitu berpindah, merubah dan me-upgrade- semangat pada tataran yang lebih tinggi. Secara psikologis, suasana yang baru, kawan baru, tantangan baru akan menjadikan semangat diri dan jiwa seseorang lebih dinamis. Mengenai semangat hijrah ini Rasulullah saw sendiri dalam sebuah haditsnya pernah bersabda.

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كان هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَن كان هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah ε bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan (amal) tergantun niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Dalam asbabul wurud diceritakan ada seorang sahabat yang melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan niatan mengawini seorang perempuan bernama Ummu Qais. Karena niatnya itulah maka ia tidak mendapatkan keutamaan hijrah. Bahkan proses hijrah sahabat tersebut dijuluki dengan Hijratu Ummu Qais. Ini menunjukkan bahwa niat seseorang sangatlah penting. Niat bukanlah sekedar motifasi belaka, karena di dalam niat itu Allah titipkan sebuah pahala yang secara otomatis akan me-cover segala yang kita lakukan dalam sisi-Nya. Inilah yang membedakan bulan Muharram dengan lainnya. Muharram menjadi berbeda karena di dalamnya ada kejadian yang sangat berharga bagi Agama Islam yaitu Hijrah Rasulullah saw.

Selain itu Muharram menjadi berbeda karena hari ke-sepuluh dalam bulan ini dipadati dengan nilai yang sarat dengan sejarah, yang lebih dikenal dengan hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.
Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun yang terjadi pada hari ’asyuro juga. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Bagi kelompok syi’ah hari kesepuluh bulan Muharram sangatlah penting. Karena pada hari inilah tepatnya tahun 61 H Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib sang Cucu Rasulullah saw terbunuh oleh Yazid bin Muawiyah. Pembunuhan ini lebih tepat bila disebut dengan pembantaian karena tidak seimbangnya dua kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Pembantaian ini terjadi di padang Karbala ketika dalam perjalanan menuju Irak.
Tentunya berbagai kejadian sejarah tersebut mulai dari sejarah transcendental yang berhubungan langsung proses penciptaan hujan oleh Allah swt hingga hijrah Rasulullah saw dan terbunuhnya Husain cucu Rasulullah saw. tidak boleh terhapus dari memori kolektif maupun individu generasi Muslim. Kejadian-kejadian dalam sejarah ini harus selalu dipupuk dengan subur sebagai salah satu media pendidikan kepahlawanan dalam Islam.

Berbagai metode peawatan sejarah ini terejawantahkan dalam berbagai tradisi kolaitas. Di Jawa misalnya kita mengenal bubur abang dan bubur putih yang dibagikan dan disajikan pada hari ‘asyura tidak lain untuk merawat ingatan sejarah tersebut secara perlambang. Bubur putih bermakna rasa syukur akan panjngnya umur hingga mendapatkan tahun baru kembali, semoga kehidupan tambah makmur. Seperti rasa syukunya Nabi Nuh setelah berlayar dari banjir bandang, seperti syukurnya Nabi Musa setelah mengalahkan Fir’aun. Disamping itu Bubur Putih merupakan lambing kebenaran dan kesucian hati yang selalu menang dalam catatan sejarah yang panjang. Meskipun kemenangan itu tidak selamanya identik dengan kekuasaan, seperti Sayyidina Husain sebagai kelompok putihan yang ditumpas oleh Yazid bin Muaswiyyah sang penguasa laknat.

Sedangkan Bubur Abang (bubur merah) adalah pembanding yang selalu hadir dalam kehidupan di dunia berpasang-pasangan. Ada indah ada buruk, ada kebaikan ada kejahatan. Semoga semua hal-hal buruk itu senantiasa dijauhkan oleh Allah dari kita amien. Jadi bubur suro ini yang berwarna merah dan putih merupakan representasi dari rasa syukur yang mendalam. Atas segala karunia Allah swt. Dan yang lebih penting dari itu semua, Bubur Suro merupakan wahana untuk merawat ingatan akan adanya sejarah besar dalam Islam.

Sumber: www.nu.or.id.

Minggu, 04 Desember 2011

Hakikat Wali
Dalam tradisi keilmuan Nusantara, dikenal istilah wali. Diantara kata wali yang paling populer adalah 'walisanga' yang berarti wali sembilan sebagai penyebar Islam pertama di Nusantara. Wali juga biasa diidentikkan dengan seseorang yang memilki kelebihan (karomah). Sebagian dari masyarakat muslim mempercayai keberadaan dan 'kelebihan' yang dimiliki para wali dan sangat menaruh hormat kepada mereka. Kepercayaan itu diungkapkan dalam bentuk mengunjungi maqbaroh untuk bertawassul kepada mereka. Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain tidak percaya dengan keberadaan wali bahkan menganggap para wali sebagai sarang ke-bid'ah-an. Hal ini terjadi karena miskinnya pengetahuan atau seringnya pemaknaan kata wali yang merujuk pada hal-hal negatif.
Menurut bahasa, kata wali itu kebalikan dari ‘aduw, musuh. Bisa jadi berarti sahabat, kawan atau kekasih. Umumnya wali Allah diartikan kekasih Allah. Menurut istilah ahli hakikat, wali mempunyai dua pengertian, Pertama, orang yang dijaga dan dilindungi Allah, sehingga dia tidak dan tidak perlu menyandarkan diri dan mengandalkan pada dirinya sendiri. Seperti dalam al-Qur’an surah al-A’raf 196
Artinya: Sesungguhnya pelindungku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia melindungi orang-orang yang saleh.
Kedua, orang yang melaksanakan ibadah kepada Allah dan menanti-Nya secara tekun terus menerus tak pernah kendur dan tidak diselingi dengan berbuat maksiat, maka Allah pun mencintainya.
Kedua-duanya merupakan syarat kewalian. Wali haruslah orang yang terpelihara (mahfudz) dari melanggar syara’ dan karenanya dilindungi oleh Allah, sebagaimana nabi adalah orang yang terjaga (ma’shum) dari berbuat dosa dan dijaga oleh-Nya.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan penanda bagi wali Allah
a. Himmah atau seluruh perhatiannya hanya kepada Allah
b. Tujuannya hanya kepada Allah
c. Kesibukannya hanya kepada Allah
Ada juga yang mengatakan tanda wali Allah adalah senantiasa memandang rendah dan kecil kepada diri sendiri serta khawatir jatuh dari kedudukannya (di mata Allah) di mana ia berada. (baca Jamharatul Auliya wa A’lamu Ahlit Tatsawwuf, hal 73-110)
Kalau menurut al-Qur’an, ini tentu saja paling benar, wali Allah adalah orang-orang mu’min yang senantiasa bertakqwa dan karenanya mendapat karunia tidak mempunyai rasa takut (kecuali kepada Allah) dan tidak pernah bersedih. Seperti dalam al-Qur’an surah Yunus: 62-63
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Artinya: Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Alloh tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, (Yaitu mereka) adalah orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa

Atau dengan kata lain, wali Allah adalah orang mu’min yang senantiasa mendekat (taqarrub) kepada Allah dengan terus mematuhi-Nya dan mematuhi Rasul-Nya. sehingga akhirnya dia dianugrahi karomah, semacam ‘sifat ilmu niluwih’ (seperti mukjizat Nabi. Bedanya, mu’jizat nabi melalui pengakuan –dan sebagai bukti- kenabian; sedang karomah wali tidak mengikuti pengakuan kewalian).
Dalam sebuah hadits qudsi (hadits Nabi saw. yang menceritakan firman Allah) yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Shahabat Abu Hurairah r.a Rasulullah saw bersabda:

إن الله تعالى قال: من عادى لي وليا فقد أذنته بالحرب وما تقرب إلـي عبدى بشيئ أحب إلـي مما افترضته عليه ولايزال عبدى يتقرب الـي بالنوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذى يسمع به وبصره الذى يبصربه ويده التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألنى لأعطينه وإن استعاذنـي لأعيذنه
Artinya: Allah Ta’ala telah berfirman: Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku benar-benar mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak berdekat-dekat, taqarrub, kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai melebihi apa yang telah aku fardhukan kepadanya. Tak henti-hentinya hamba-Ku mendekat-dekat kepada-Ku dengan melaksanakan kesunahan-kesunahan sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Akulah pendengarannya dengan apa ia mendengar. Akulah penglihatannya dengan apa ia melihat. Akulah tangannya dengan apa ia memukul. Akulah kakinya dengan apa ia berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.
Boleh saja orang mempunyai ‘sifat linuwih’ misalnya bisa membaca pikiran orang, bisa berkomunikasi dengan binatang atau orang yang sudah mati, bisa berjalan di atas air, atau kesaktian-ksaktian lainnya, tetapi tentu saja dia tidak otomatis bisa disebut wali. Sebab dajjal, dukun, tukang sihir, ‘ahli hikmah’ tukang sulap atau paranormal pun bisa memperlihatkan kesaktian semacam itu.
Sebaliknya bisa saja seorang wali dalam kehidupannya sama sekali tidak tampak lain dari orang-orang biasa. Lihat saja dari kesembilan wali Tanah Jawa, yang terkenal punya kesaktian hanya Sunan Kalijogo yang mempunyai kesaktian membuat soko guru masjid Demak dari tatal dan Sunan Bonang yang mengubah buah pinang tampak menjadi emas. Jadi kewalian seseorang tidak diukur dengan keanehan dan kesaktiannya, perilaku ataupun pakaiannya melainkan kedekatan dan ketakwaan kepada Allah.
(sumber: Fikih Keseharian Gus Mus)
Sumber; http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/10/34818/Ubudiyyah
/Hakikat_Wali.html

Sabtu, 26 November 2011

HIJRAH DAN MEMBANGUN PERADABAN ISLAM
Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.
Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah dimulai sejak generasi pertama dibawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad Saw terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madienah.
Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah Saw dan para sahabatnya yaitu adanya proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini dapat kita lihat dengan dilakukannya tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototype masyarakat Islam. Tiga langkah strategis tersebut yaitu:
Pertama :Membangun Masjid (Pertama membangun Masjid Quba’, selanjutnya membangun Masjid Nabawi Al-Syarif) di Madienah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah Saw mengoptimalkan fungsi masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (sholat, membaca Al Quran, berzikir, i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah yaitu difungsikan sebagai ma’had: pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah: tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi dan politik; tempat bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa masjid dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan yang Islami.

Kedua: Membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar sehingga terjadilah takaful ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasululah Saw adalah persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat persaudaraan, Rasulullah Saw berhasil membangun kota Madienah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sangat lama (sekira 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar di Madienah yaitu qabilah Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosial dari masyarakat Madienah kepada Muhammad Saw saat itu, telah berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas publik;

Ketiga: Menyusun suatu perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madienah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak maupun antara kaum muslimin dengan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madienah tersebut merupakan sebuah dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut. Penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai kabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madienah dari serangan luar, telah membawa pada perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madienah. Kita dapat menyimak bahwa secara substansial, Piagam Madienah telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah; persamaan; persaudaraan; persatuan; kemerdekaan dan toleransi beragama; perdamaian; tolong-menolong dan membela terhadap para pihak yang teraniaya. Konstitusi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah Negara dan Pemerintahan, dimana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

Dengan demikian Rasulullah Saw berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus Alloh Swt langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad Saw adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan Nubuwah dan Risalah. Ajaran yang diterimanya dari Alloh Swt ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madienah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu merupakan kepemerintahan termodern baik dalam Undang-undang, sistem sosial dan kemasyarakatan serta dalam bentuk maupun susunannya.
Dibawah kepemimpinan dan suri tauladan agung Rasulullah Muhammad Saw, walaupun beliau bukan orang asli Madienah, akan tetapi karena secara pribadi beliau memiliki kredibilitas serta komitmen yang kuat untuk melakukan suatu perubahan dan pembaharuan, sehingga beliau berhasil melakukan sebuah transformasi struktural maupun kultural dalam membangun Madienah ke arah yang lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak; menegakkan supremasi hukum serta lebih terbuka melalui kesantunan berpolitik. Upaya sinergitas dalam membangun juga berhasil beliau lakukan, sehingga terjalinlah kebersamaan dalam mewujudkan persatuan antar stakeholder. Kita dapat melihat dalam sejarah, bahwa komitmen kuat dari Rasulullah Muhammad Saw selanjutnya mendapatkan dukungan yang kuat pula dari publik. Pondasi ketiga yang dibangun ini memperlihatkan kepada kita bahwa Rasulullah Saw sangatlah peduli pada semangat membangun kebersamaan dari berbagai komponen masyarakat yang majemuk (plural) dalam membangun kota Madienah.

Demikian besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat kita simak pula dari korelasi yang kuat antara terminologi peradaban dengan akhlaq, dimana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad Saw ke muka bumi. Hal ini sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadits diantaranya Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa : “Innama bu’itstu li utami-ma makarimal akhlaq, ("Sesungguhnya aku (Muhammad Saw) diutus Alloh Swt untuk menyempurnakan akhlaq”). Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.

Peradaban Islam yang dibangun Rasulullah Saw adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Alloh Swt selain manusia juga merasakan kasih-sayangnya. Hal ini sangat berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam yaitu Silmun (kedamaian).

Rahmat dan kasih sayang yang dibangun oleh Islam, sebagaimana ditegaskan Al Quran Surat Al Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.


KORELASI MAKNA : DIEN, MADIENAH DAN TAMADDUN
Kita akan menemukan tiga terminologi yang sangat mengagumkan, ketika suatu peradaban dikonstelasikan dalam bingkai sistem Islam, dimana ketiga terminologi tersebut memiliki korelasi yang sangat kuat antara satu dengan lainnya. Ketiga terminologi tersebut adalah Dien, Madienah dan Tamaddun.

Secara ethimologis, dien menurut Munawar Kholil merupakan mashdar dari kata kerja Dana-Yadiinu, yang berarti Cara; Adat kebiasaan; Budaya; Peraturan; Undang-undang; Ketaatan atau kepatuhan; Meng-esakan Alloh; Pembalasan; Perhitungan; Pengadilan; Hari kiamat; Hari menegakkan keadilan; Nasihat, Kecintaan; Ketaatan; Agama. Sedangkan menurut Al-Attas, dien bermakna keberhutangan; susunan kekuasaan; struktur hukum dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Artinya, dalam istilah dien itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Oleh sebab itu ketika dien Alloh yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madienah. Dari akar kata dien dan Madienah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Peradaban yang dibangun Rasulullah Saw di Madienah dapat kita simak dari sikap visioner beliau yang memiliki pandangan jauh ke depan terhadap pembentukan peradaban Islam yakni dilakukannya perubahan nomenclature Yatsrib menjadi Madienah oleh Muhammad Saw dengan konsep pembangunan dan nilai yang jelas.

Kalau kita simak, bahwa secara ethimologis Madienah merupakan derivat dari kata dalam Bahasa Arab yang berarti: (a) Kota yang dalam bahasa Yunani disebut polis dan politica yang kemudian menjadi dasar kata policy atau politic dalam Bahasa Inggeris; (b) Madienah juga merupakan derivat dari kata tamaddun dan madaniyah yang berarti civility dan civilization atau peradaban. Kata sifat dari Madienah adalah Madani, maka sivilized sociaty atau civil society dalam bahasa Arab bisa disebut Mujtama’ Madani (masyarakat berperadaban). Dengan demikian, Madienah merupakan state yang didirikan untuk membangun peradaban baru yaitu peradaban tauhid. Sejarah telah mencatat, bahwa Madienah berdiri di atas pondasi sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi, dimana dua hal ini merupakan esensi penting dalam membentuk suatu peradaban yang kemudian telah dibuktikan oleh sejarah perjuangan umat Islam. Dengan demikian, tamaddun merupakan kata benda yang berasal dari akar kata madana yang secara literal berarti peradaban (civilization).

Dalam kontek hijrah, peradaban juga memiliki korelasi yang kuat dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Ali Shariati, perkataan hijrah bersumber dari perkataan Hajar demikian pula halnya dengan Muhajir yaitu orang yang melakukan hijrah, dimana hijrah memiliki pengertian peralihan dari hidup biadab menjadi beradab dan dari kekafiran menjadi Islam. Didalam bahasa ibunya sendiri, nama Hajar berarti “kota”, yang melambangkan peradaban. Pada konteks ini, kita dapat melihat sebuah korelasi sejarah yang sangat kuat antara peradaban yang pernah dibangun Nabi Ibrahim As (suami Hajar, dan Bapaknya para Nabi) serta keturunannya, baik di Makkah (Bani Isma’il) maupun di Palestina (Bani Ishak) dengan peradaban yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw di Madienah yang kemudian memancar ke seluruh dunia.

Ketiga kota suci tersebut memiliki kaitan akar sejarah yang sangat kuat atas nilai-nilai Rabbani yang telah diusung oleh para Nabi dan Rasul mulia, dimana setiap hijrah yang pernah dilakukannya merupakan sebuah gerakan dari kejahatan menuju kebaikan dari keterbelakangan menuju sebuah peradaban.

Dengan menyimak makna dari ketiga terminologi di atas, maka kita dapat melihat sebuah rangkaian yang utuh antara input, proses, output, impact sampai benefit dimana Islam yang dipilih Alloh Swt sebagai dien merupakan input yang luar biasa agungnya bagi tatanan kehidupan hamba-Nya. Input itu kemudian mengejawantah ketika sistem Islam membumi di Madienah dibawah kepemimpinan Rasulullah Saw yang pada tahapan selanjutnya telah berhasil membuahkan (output) sebuah peradaban (tamaddun) Islam yang agung dimana dampaknya (impact) mampu menyinari negeri-negeri pada hampir semua belahan dunia, dimana para pihak yang bukan hanya kalangan muslim saja akan tetapi non muslim sekalipun dapat mengambil nilai manfaatnya (benefit) dari tegaknya sistem Islam di muka bumi ini.

Sejarah membuktikan bahwa dengan datangnya gelombang peradaban Islam benar-benar telah menjadi faktor penyebab kejatuhan berbagai peradaban yang ada pada saat itu diantaranya Romawi. Hal tersebut merupakan bukti kuat bahwa Islam sebagai dien yang menghasilkan tamaddun dapat diterima oleh bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Diantara faktor penyebab utamanya adalah bahwa Islam membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat, yang ajarannya universal serta mengajarkan persamaan kedudukan (egalitarian) antar manusia, yang mana hal ini telah mampu membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Wallohu a'lam
Sumber: http://www.dudung.net/artikel-islami/hijrah-dan-membangun-peradaban-islam.ht

Sabtu, 12 November 2011

Asal usul Shalawat Badar
Sholawat Badar adalah rangkaian sholawat berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w. serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Sholawat ini adalah hasil karya Kiyai Ali Manshur, yang merupakan cucu Kiyai Haji Muhammad Shiddiq, Jember. Oleh itu, Kiyai 'Ali Manshur adalah anak saudara/keponakan Kiyai Haji Ahmad Qusyairi, ulama besar dan pengarang kitab ""Tanwir al-Hija" yang telah disyarahkan oleh ulama terkemuka Haramain, Habib 'Alawi bin 'Abbas bin 'Abdul 'Aziz al-Maliki al-Hasani, dengan jodol "Inarat ad-Duja".

Diceritakan bahwa asal mula karya ini ditulis oleh Kiyai 'Ali Manshur sekitar tahun 1960an, pada waktu umat Islam Indonesia menghadapi fitnah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika itu, Kiyai 'Ali adalah Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi dan juga seorang Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di situ. Keadaan politik yang mencekam saat itu dan kebejatan PKI yang merajalela membunuh massa, bahkan banyak kiyai yang menjadi mangsa mereka, maka terlintaslah di hati Kiyai 'Ali, yang memang mahir membuat syair 'Arab sejak nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri, untuk menulis satu karangan sebagai sarana bermunajat memohon bantuan Allah SWT untuk meredam fitnah politik saat itu bagi kaum muslimin khususnya Indonesia. Dalam keadaan tersebut, Kiyai 'Ali tertidur dan dalam tidurnya beliau bermimpi didatangi manusia-manusia berjubah putih - hijau, dan pada malam yang sama juga, isteri beliau bermimpikan Kanjeng Nabi s.a.w. Setelah siang, Kiyai 'Ali langsung pergi berjumpa dengan Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi dan menceritakan kisah mimpinya tersebut. Habib Hadi menyatakan bahwa manusia-manusia berjubah tersebut adalah para ahli Badar. Mendengar penjelasan Habib yang mulia tersebut, Kiyai 'Ali semakin bertekad untuk mengarang sebuah syair yang ada kaitan dengan para pejuang Badar tersebut. Lalu malamnya, Kiyai 'Ali menjalankan penanya untuk menulis karya yang kemudiannya dikenali sebagai "Sholawat al-Badriyyah" atau "Sholawat Badar".maka terjadilah hal yang mengherankan keesokan harinya, orang-orang kampung mendatangi rumah beliau dengan membawa beras dan bahan makanan lain. Mereka menceritakan bahwa pada waktu pagi shubuh mereka telah didatangi orang berjubah putih menyuruh mereka pergi ke rumah Kiyai 'Ali untuk membantunya kerana akan ada suatu acara diadakan di rumahnya. Itulah sebabnya mereka datang dengan membawa barang tersebut menurut kemampuan masing-masing. yang lebih mengherankan lagi adalah pada malam harinya, ada beberapa orang asing yang membuat persiapan acara tersebut namun kebanyakan orang-orang yang tidak dikenali siapa mereka.

Menjelang keesokan pagi harinya, serombongan habaib yang diketuai oleh Habib 'Ali bin 'Abdur Rahman al-Habsyi Kwitang tiba-tiba datang ke rumah Kiyai 'Ali tanpa memberi tahu terlebih dahulu akan kedatangannya. Tidak tergambar kegembiraan Kiyai 'Ali menerima para tamu istimewanya tersebut. Setelah memulai pembicaraan tentang kabar dan keadaan Muslimin, tiba-tiba Habib 'Ali Kwitang bertanya mengenai syair yang ditulis oleh Kiyai 'Ali tersebut. Tentu saja Kiyai 'Ali terkejut karena hasil karyanya itu hanya diketahui dirinya sendiri dan belum disebarkan kepada seorangpun. Tapi beliau mengetahui, ini adalah salah satu kekeramatan Habib 'Ali yang terkenal sebagai waliyullah itu. Lalu tanpa banyak bicara, Kiyai 'Ali Manshur mengambil kertas karangan syair tersebut lalu membacanya di hadapan para hadirin dengan suaranya yang lantang dan merdu. Para hadirin dan habaib mendengarnya dengan khusyuk sambil menitiskan air mata karena terharu. Setelah selesai dibacakan Sholawat Badar oleh Kiyai 'Ali, Habib 'Ali menyerukan agar Sholawat Badar dijadikan sarana bermunajat dalam menghadapi fitnah PKI. Maka sejak saat itu masyhurlah karya Kiyai 'Ali tersebut. Selanjutnya, Habib 'Ali Kwitang telah mengundan para ulama dan habaib ke Kwitang untuk satu pertemuan, salah seorang yand diundang diantaranya ialah Kiyai 'Ali Manshur bersama pamannya Kiyai Ahmad Qusyairi. Dalam pertemuan tersebut, Kiyai 'Ali sekali lagi diminta untuk mengumandangkan Sholawat al-Badriyyah gubahannya itu. Maka bertambah masyhur dan tersebar luaslah Sholawat Badar ini dalam masyarakat serta menjadi bacaan populer dalam majlis-majlis ta'lim dan pertemuan.

Maka tak heran bila sampai sekarang Shalawat Badar selalu Populer. di Majelis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi sendiri di Kwitang tidak pernah tinggal pembacaan Shalawat Badar tersebut setiap minggunya. untuk lebih lengkapnya tentang cerita ini teman2 milis MR dan teman temanku seiman dapat membaca buku yang berjudul "ANTOLOGI Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU" yang disusun oleh H. Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan. semoga Allah memberikan sebaik-baik ganjaran dan balasan buat pengarang Sholawat Badar serta para habaib yang berperan serta mempopulerkan Shalawat tersebut kepada kita kaum muslimin. Al-Fatihah.....

dari milis MR
terimakasih akhina Dailami Firdaus atas izin copas nya

Kata kunci: sholawat
Sebelumnya: US bail-out deal remains elusive
Selanjutnya : Ketika Musim "Narsis" Tiba
Sumber; http://rahmatns.multiply.com/journal/item/144/Asal_usul_Shalawat_Badar

Fadhilah Sholawat Nariyah
Kali ini aku ingin berbagi tentang sebuah doa yang sangat terkenal di kalangan kaum nahdliyin (NU). Namun begitu, tidak ada salahnya bagi anda yang mempunyai faham lain untuk mengamalkannya. Saya yakin anda akan mendapatkan sesuatu yang luar biasa dalam hidup anda karena ridho Allah swt…Amiien.

Beberapa manfaat dari sholawat nariyah antara lain :

1. Jika mendapat kesusahan karena kehilangan barang, hendaknya membaca sholawat ini sebanyak 4444 kali. Insya Allah barang yang hilang akan cepat kembali. Jika barang tersebut dicuri orang dan tidak dikembalikan, maka pencuri tersebut akan mengalami musibah dengan kehendak Allah swt. Setelah membaca Sholawat ini hendaknya membaca do’a sebagai berikut (boleh dibaca dengan bahasa Indonesia): “ Ya Allah, dengan berkah Sholawat Nariyah ini, saya mohon Engkau kembalikan barang saya”. Doa ini dibaca 11 kali dengan hati yang penuh harap dan sungguh-sungguh.

2. Untuk melancarkan rezeki, memudahkan tercapainya hajat yang besar, menjauhkan dari gangguan jahat, baca sholawat ini sebanyak 444 kali, boleh dibaca sendiri atau berjamaah.


3. Untuk menghilangkan segala macam kesusahan, memudahkan pekerjaan, menerangkan hati, meluhurkan pangkat, memperbaiki budi pekerti, menghindarkan malapetaka dan perbuatan buruk, baca sholawat ini sebanyak 40 kali setiap hari.

4. Jika dibaca 21 kali setelah shalat maghrib dan subuh akan terjaga dari musibah dan malapetaka apapun.


5. Jika dibaca 11 kali setiap selesai sholat 5 waktu (Shalat Wajib) akan terjaga dari bala’ ( kerusakan) lahir batin.

Syeih Sanusi berkata: “ Barangsiapa secara rutin membaca shalawat ini setiap hari
sebanyak 11 kali maka Allah swt akan menurunkan rezekinya dari langit dan mengeluarkannya dari bumi serta mengikutinya dari belakang meski tidak dikehendakinya”

berikut adalah bacaan doa sholawat nariyah :

Doa Sholawat Nariah

Allohumma sholli sholatan kamilah.
Wasallim salaman tamman ‘ala syayidina muhammadinilladzi tanhallu bihil ‘uqod.
Watanfariju bihil kurob
Watuqdo bihil hawaij
Watunalu bihir Roghoib
Wahusnul howatim
Wayustaskhol gomamu biwajhihil karim
Wa’ala alihi washohbihi fi kulli lamhatiuw Wanafasim bi’adadi kulli ma’lumillak

Artinya:

Ya Alloh, Limpahkanlah Rahmat dan keselamatan yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad yang dapat melepas beberapa kerepotan atau ikatan, menghilangkan beberapa kesusahan, mendatangkan beberapa hajat, mendapatkan beberapa hajat atau keinginan, mendapatkan beberapa kesenangan, diberikan khusnul khotimah dan curahan rahmat sebab wajah mulia pada tiap saat dan nafas sebanyak yang Engkau ketahui, dengan kerahmatanMU wahai Dzat yang paling belas kasih.

Kalau anda berniat mengamalkan doa tersebut diatas usahakan agar anda membacanya dengan ikhlash dan hanya mengaharapkan ridho Allah semata.
Sumber; http://www.didiksugiarto.com/2009/03/fadhilah-sholawat-nariyah.html

Kamis, 03 November 2011

Imam Abu Yusuf

(113H/731M – 182H/798M)

Rubrik ini merupakan sebuah display yang akan mengetengahkan para pelopor ekonomi Islam baik klasik maupun modern. Untuk edisi perdana ini kami akan mengetengahkan sebuah sosok ulama-ekonom yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam terutama bagi mereka yang bermadzhab Hanafi. Sosok tersebut adalah Imam Abu Yusuf, seorang sahabat dan sekaligus murid Imam Abu Hanifah yang paling utama.
Nama : Nama beliau adalah Ya’qub bin Ibrohim bin Habib al-Anshori al-Kufi al-Baghdadi. Al-Anshori merupakan sebutannya karena dari sisi keturunan ibunya masih ada darah dari kaum Anshor. Beliau dilahirkan di kota Kufah yang terkenal sebagai wilayah Islam yang didominasi oleh ahlu ro’yi. Beliau mendapatkan sebutan al-Kufi karena lahir dan dibesarkan di kota Kufah, sementara al-Baghdadi adalah nisbah kepada Baghdad yang merupakan kota tempat beliau mengabdikan dirinya sebagai ulama dan qodhi sekaligus menyebarkan madzhab hanafi hingga akhir hayatnya.
Guru-gurunya: Sejak kecil Imam Abu Yusuf sudah memiliki minat yang kuat terhadap ilmu terutama ilmu hadis. Beliau meriwayatkan antara lain dari guru-gurunya yaitu Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq asy-Syaibani, Atha’ bin Sa’ib dan lain-lain. Dalam fikih beliau belajar kepada Muhammad bin Abdur Rohman bin Abi Laila yang terkenal dengan nama Ibnu Abi Laila. Namun beliau amat tertarik kepada fikih gurunya dan sekaligus sahabatnya yaitu Imam Abu Hanifah (150 H). Karena ketertarikannya kepada fikih Imam Abu Hanifah yang begitu besar, di samping karena dorongan yang kuat dari Imam Abu Hanifah sendiri, maka beliau terdorong untuk menyebarkan madzhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah. Bahkan dapat dikatakan bahwa beliaulah orang pertama dan paling bertanggung jawab terhadap perkembangan fikih Hanafi di kalangan masyarakat Islam. Hal ni dikarenakan beliau diangkat menjadi Ketua hakim (Qodhi al-Qudhot) oleh Kholifah Harun Ar-Rosyid, jabatan ini sebenarnya merupakan jabatan pertama dalam sistem peradilan Islam, sehingga leluasa untuk mengeluarkan fatwa dan memutuskan perkara dengan merujuk kepada fikih Hanafi. Pada saat yang sama beliau mendapatkan kebebasan untuk mencari para pembatu yang tentu saja sudah sejalan dengan fikihnya sendiri.
Karya-karyanya :
1. Kitab al-Atsar. Sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab ini tidak semuanya muttasil ( bersambung sampai kepada Rasulullah SAW) Sebagain hanya sampai kepada para sahabat (mauquf) atau kepada tabi’in (mursal).
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila. Melihat judulnya saja sudah terlintas bahwa kitab ini menghimpun perbedaan-perbedaan dalam fikih antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila yang juga merupakan guru dari Imam Abu Yusuf.
3. Kitab ar-Radd ala Siyar al-Auza’i Kitab ini merupakan himpunan dari sanggahan-sanggahan Imam Abu Yusuf terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
4. Kitab al-Khoroj. Kitab ini merupakan kitab beliau yang paling utama dan terkenal sehingga mengalahkan kemashuran kitab-kitab beliau yang lain. Dengan kitab inilah beliau dinobatkan menjadi fakih sekaligus ekonom Muslim klasik.
Menurut Ibnu Najm seorang ulama Hanafiyah, masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf selain yang telah disebutkan di atas umpamanya Kitab as-Sholah, Kitab az-Zakah dan lain-lain.
Sekilas tentang Kitab al-Khoroj.
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Yusuf atas permintaan Kholifah Harun ar-Rosyid agar menjadi pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari pajak, zakat dan jizyah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Imam Abu Yusuf,” Sesungguhnya Amirul Mukminin Harun ar-Rosyid (semoga Allah mengokohkan kekuasaannya) telah meminta kepada saya untuk mengarang sebuah kitab umum yang menjadi pedoman dalam pengumpulan khoroj, usyur, zakat dan jizyah”. Menilik judul dan isi kitab ini dapatlah kitab ini digolongkan sebagai buku Public Finance dalam pengertian ilmu ekonomi modern.
Khoroj adalah atas pajak tanah yang dikuasai oleh kaum Muslimin baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan perjanjian damai dengan pasukan Muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (khoroj) sejumlah tertentu kepada baitul mal.
Usyur merupakan bentuk jamak dari kata usyr artinya sepersepuluh atau 10 persen. Ia merujuk kepada kadar zakat pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada para pedagang Muslim maupun non-Muslim yang melintasi wilayah daulah Islamiyah. Dalam persoalan zakat pertanian ada ketentuan sebagai berikut yaitu jika penglelolaan tanah menggunakan teknik irigasi maka zakatnya adalah nisf al-usyr (5 per sen) sedangkan kalau pengelolaannya menggunakan irigasi tadah hujan maka zakatnya adalah usyr atau 10 per sen. Dalam beberapa riwayat, bea cukai antara pedagang Muslim, ahlu dzimmah dan ahlu harb dibeda-bedakan. Pedagang Muslim dikenakan rub’ul usyr (2,5 per sen), ahlu dzimmah nisf al-usyr (5 per sen) dan ahlul harb usyr (sepuluh per sen).
Jizyah adalah pajak kepala yang harus dibayar oleh penduduk non-Muslim yang tinggal dan dilindungi dalam sebuah negara Islam. Rasulullah SAW menetapkan jizyah lewat sahabatnya Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman sebanyak satu dinar setiap orang yang sudah balig. Ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku terbukti Umar bin Khottob memungut jizyah sebanyak 4 dinar atau 40 dirham.
Selain dari zakat, ghonimah dan fai’ ketiga pendapatan di atas merupakan sumber-sumber pemasukan utama bagi daulah islamiyah. Kitab al-Khoroj ini merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluarannya berdasarkan kitabullah dan sunnah RasulNya.
Diawali dengan nasehat yang baik kepada kholifah Harun ar-Rosyid, Imam Abu Yusuf menekankan agar penguasa menyadari bahwa amanah kekuasaan itu berat tetapi jika dilaksanakan dengan penuh amanah juga menjadi sumber pahala yang sangat besar. Tugas utama penguasa adalah menghapuskan kezaliman yang dirasakan oleh rakyatnya dan memenuhi segenap kebutuhan mereka lahir dan batin. (Hal. 3-17)
Dalam menghimpun zakat dan pemasukan lainnya, penguasa dinasehatkan agar memilih orang-orang yang dapat dipercaya (amanah), teliti dan kritis. Ini semua diharapkan agar proses penghimpunan bebas dari segala kebocoran sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga negara. (Hal. 132)
Menurut Imam Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam jelas mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Beliau memaparkan sebuah atsar bahwa banyak warga mengeluh kepada kholifah Umar bin Abdul Aziz karena harga-harga pada jamannya melambung. Umar bin Abdul Aziz menjawab keluhan mereka dengan mengatakan bahwa para penguasa sebelumnya (sebelum dia) telah memungut pajak dari ahlu dzimmah dengan kadar yang melebihi kemampuan orang yang memikulnya. Sementara beliau tidak membebani pajak jizyah melainkan sebatas kemampuannya sendiri karena ” Rasulullah SAW diutus untuk menjadi penyeru kepada Islam dan bukan menjadi penghimpun pajak.” Jika, karena sesuatu hal selain dari pada monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen, terjadi kenaikan harga dalam ekonomi, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan demand and supply dalam ekonomi.(Hal. 131-132).
Kitab al-khoroj berbeda dari kitab-kitab ekonomi Islam klasik yang lahir dari generasi yang berdekatan dengannya seperti kitab al-amwal karya Abu Ubaid yang isinya merupakan kumpulan hadis dan atsar yang berkenaan dengan ekonomi, keuangan dan bisnis. Kitab ini selain memaparkan hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan bab-bab pemasukan negara dan pengeluarannya secara rinci dan sistematis, juga membentangkan pikiran-pikiran Imam Abu Yusuf sendiri dalam persoalan tersebut yang merupakan ekspresi pendapat madzhab Abu Hanifah kendatipun dalam banyak persoalan beliau berbeda dengan gurunya. Meskipun kitab ini ditulis lebih dari 1200 tahun yang lalu, tetapi masih sangat relevan untuk dijadikan rujuakan dalam bidang ekonomi, keuangan dan perdagangan di jaman modern sekarang. Bahkan dapat pula dijadikan sebagai pedoman, rujukan dan pelengkap kebijakan pemerintah dalam fiskal dan moneter serta pembangunan ekonomi pada umumnya.
Tulisan: Ikhwan Abidin Basri, MA
Sumber: http://ekonomiislami.wordpress.com/2011/09/28/imam-abu-yusuf-113h731m-182h798m/

Senin, 17 Oktober 2011


KEKUATAN SEDEKAH
Ahmad Zain An Najah,MA *

Allah berfirman :

لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ“

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya “ Q.S 3: 92
Banyak pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas, diantaranya adalah :

( 1 ) TEORI KEKEKALAN ENERGI
Pada ayat di atas, Allah swt meletakkan suatu kaidah yang sangat penting sekali di dalam kehidupan manusia. Kaidah tersebut adalah “ bahwa manusia ini tidak akan mendapatkan kebahagian dan keberhasilan di dalam kehidupannya baik sewaktu di dunia ini maupun di akherat nanti, kecuali jika ia mau mengorbankan apa yang dicintainya demi kehidupan manusia itu sendiri. “
Hal itu sangat terlihat jelas pada ayat di atas. Kita dapatkan di dalamnya, bahwa Allah swt memberikan syarat bagi setiap manusia yang ingin mendapatkan kebaikan -dan tentunya keberhasilan – untuk terlebih dahulu memberikan kepada orang lain sesuatu yang dicintainya, yang kemudian kita kenal dengan istilah infak dan sedekah
Infak dan sedekah ini benar-benar mempunyai pengaruh yang sangat signifikan atau bahkan sangat dahsyat di dalam kehidupan manusia ini. Tidak ada seorang-pun di dunia yang berhasil dalam bidang apapun juga, kecuali dia telah mengorbankan apa yang dicintainya demi mencapai sebuah cita-cita yang diidam-idamkannya. Teori atau kaidah yang diletakkan Allah tersebut, pada akhir-akhir ini ternyata mendapatkan sambutan yang begitu hebat dari kalangan para pakar psikologi dan orang-orang yang bergelut di dalam management dan pengolahan SDM ( Sumber Daya Manusia ) . Mereka menyebut kaidah ini dengan « Teori Kekekalan Energi « . Mereka percaya bahwa energi atau amal perbuatan baik yang dikerjakan manusia tidak hilang dari alam ini, akan tetapi berubah bentuk [1].
Lihat umpamanya apa yang dinyatakan oleh John F. Kennedy ( 1961 ) : “ Apabila suatu masyarakat-bebas tidak dapat membantu banyak orang yang miskin, masyarakat tersebut akan gagal menyelamatkan sedikit orang kaya “ [2]
Perkembangan tersebut semakin membuktikan akan kebenaran Al Qur’an ini dan bahwa Al Qur’an ini adalah solusi alternatif di dalam mengentas problematika-problematika kehidupan manusia.

( 2 ) ANTARA IMSAK DAN INFAK
Berkata Hasan Basri : “ Sesungguhnya kalian tidak akan bisa meraih apa yang anda inginkan kecuali kalau kalian mampu meninggalkan sesuatu yang menyenangkan , dan kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian cita-citakan kecuali dengan bersabar dengan sesuatu yang kaliantidak senangi “ [3]
Perkataan Hasan Basri di atas telah memberikan isyarat bagi kita tentang tata cara menapak tangga-tangga prestasi. Beliau memberikan dua jalan untuk mencapai sebuah prestasi yaitu dengan : Imsak ( Menahan Diri dari hal-hal yang melalaikan ) dan Infak ( Mengorbankan/ menginfakkan apa yang dicintainya ) .
Untuk Infak telah disebutkan pada ayat 10 dari Surat Ali Imran di atas. Adapun Imsak disebutkan Allah pada ayat lain, yaitu dalam surat Al Nazi’at, ayat : 37- 41 : « Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya ( Al Nazi’at, ayat : 37- 41 «)

( 3 ) SYAREAT BANI ISRAIL DAN SYAREAT ISLAM
Dari sisi pembinaan yang tersirat dari ayat di atas adalah : seseorang hendaknya membiasakan diri untuk meninggalkan sesuatu yang ia cintai, sekaligus untuk memberikannya kepada yang lebih membutuhkan. Selain bermanfaat bagi dirinya sendiri, karena jiwanya menjadi bersih, begitu juga bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada umat Bani Israel, jika mereka diperintahkan untuk meninggalkan sesuatu yang mereka cintai, mereka hanya meninggalkannya begitu saja, tanpa diiringi perintah untuk memberikannya kepada orang lain. Dari sini, bisa diketahui betapa lengkap dan mulianya ajaran Islam yang kita yakini ini. [4].

(3 ) ARTI “ AL BIRR ‘ PADA AYAT DI ATAS

Diantara arti « Al Birr « yang disebutkan para ulama adalah :
1. Pahala dari Allah swt .
2. Syurga . [5
3. Amal Sholeh , dalam suatu hadits disebutkan : « Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran itu akan membawa kalian kepada ( Al Birr ) - yaitu amal sholeh - Sedangkan Al Birr ( amal sholeh ) tersebut akan mengantarkan kalian kepada syurga . «
4. Ketaqwaan dan Ketaatan . [6]
5. Tingkatan amal sholeh yang paling tinggi [7]
6. Diantara para ulama ada yang membedakan antara ( Al Birr) dengan ( Al Khoir ) , kalau Al Birri adalah segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi orang lain , sedangkan Al Khoir adalah seluruh kebaikan. [8]
Dari situ bisa diambil kesimpulan bahwa « Al Birr « segala sesuatu yang mengantarkan seseorang kepada kebaikan dan syurga. Dengan demikian ayat tersebut bisa diartikan : « Bahwa kalian semua tidak akan mendapatkan ketenangan, ketentraman ,kebaikan, kebahagian di dunia dan akherat kecuali dengan menginfakkan apa yang kalian cintai di jalan Allah swt.

( 4 ) SEDEKAH MELIPUTI SELURUH AMAL SHOLEH
Ibnu Umar ra berpendapat bahwa sedekah / infak pada ayat di atas mencakup sedekah/ infaq wajib dan sedekah tathowu’ ( yang tidak wajib ) .
Tetapi, menurut hemat saya, infak atau sedekah di atas mencakup seluruh amal sholeh yang bermanfaat bagi orang lain, seperti membantu orang yang kesusahan, dl, . Pendapat ini dikuatkan dengan apa yang disebutkan Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam Al Qur’an ‘ bahwa sedekah di atas meliputi seluruh amal perbuatan baik , kemudian beliau mengatakan : « Inilah pendapat yang benar, karena ayat di atas bersifat umum « [9]
Pendapat ini dikuatkan juga dengan sebuah hadist bahwasanya Rosulullah saw bersabda : « Setiap perbuatan baik yang bermanfaat bagi orang lain adalah sedekah « . [10]
Diantara contoh- contoh sedekah yang berupa amal sholeh yang bermanfaat bagi orang lain adalah sebagai berikut :
1. Bertasbih , bertakbir , bertahmid dan bertahlil – Para ulama menyebutkan bahwa amalan di atas disebut sedekah karena pahala orang yang mengerjakannya sebagaimana pahala orang yang bersedekah, atau karena amalan tersebut membuatnya bersedkah pada dirinya sendiri. [11]
2. Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar – Setiap kali seseorang berbuat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar ,maka dihitung satu sedekah. Amalan ini jauh lebih mulia dan lebih utama , serta pahalanya lebih banyak dibanding dengan amalan yang pertama, karena yang pertama ( tasbih dst ) hukumnya sunnah sedangkan yang kedua ( amar ma’ruf dst ) hukumnya fardhu kifayah dan kadang berubah menjadi fardhu ‘ain. Sebagaimana telah diketahui bahwa pahala amalan wajib jauh lebih besar dibanding dengan pahala amalan yang sunnah. Bahkan Imam Haramain , salah seorang ulama besar dari kalangan Madzhab Syafi’i mengatakan : « Pahala amalan wajib lebih utama sebanyak tujuh puluh ( 70 ) derajat diatas amalan sunnah«.[12] Beliau merujuk pada hadist Qudsi bahwasanya Allah swt berfirman : « Tidak ada dari amalan hamba-Ku yang lebih Aku cintai dari pada amalan yang Aku wajibkan kepada-nya « [13]Selain itu Amar Ma’ruf Nahi mungkar manfaatnya bisa dirasakan orang banyak sedangkan tasbih dan tahmid manfaatnya hanya dirasakan dirinya sendiri.
3. Menyalurkan Syahwatnya pada tempat yang halal. – Para ulama menyebutkan bahwa hal-hal yang mubah bisa berubah menjadi sebuah ibadah dan ketaatan hanya dengan niat yang baik. Jika seseorang menyalurkan syahwatnya pada tempat yang halal dan berniat melaksanakanperintah Allah untuk menggauliistrinya dengan baik, atau mengharap anak yang sholeh, atau untuk menjaga dirinya dan istrinya dari perbuatan haram, maka terhitung ibadah yang mendapatkan pahala dari Allah swt. [14]
4. Beristighfar
5. Menyingkirkan batu atau duri atau hal-hal lain yang membahayakan orang lain dari jalan.
6. Membantu orang yang kesusahan.
7. Tidak mengerjakan maksiat atau kejahatan.
8. Membantu orang lain mengangkat barang ke atas kuda atau mobil.
9. Berbicara baik dan sopan.
10. Berjalan menuju masjid . [15]

( 5 ) SIKAP PARA SAHABAT DAN ORANG-ORANG SHOLEH TERHADAP AYAT DI ATAS
Para sahabat dan orang-orang sholeh menafsirkan ayat di atas secara dhohir-nya ( apa adanya ) kemudian mengamalkannya.[16] Berikut ini beberapa contoh dari sikap tersebut :
1/ Abu Tolhah.
Menurut Anas bin Malik ra bahwa Abu Tolhah ra adalah orang Anshor yang paling banyak memilki pohon kurma di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah perkebunan “ Bairuha’ “ [17] yang letaknya di depan Masjid Nabawi. Nabi Muhammad saw sering masuk ke dalamnya sambil minum air yang terdapat di dalamnya.
Ketika ayat di atas turun, Abu Tolhah datang kepada Rosulullah saw seraya berkata : “ Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah perkebunan “ Bairuha’ “ ini , dan saya sedekahkan untuk Allah, saya mengharapkan kebaikannya di sisi Allah, maka silahkan wahai Rosulllah engkau letakkan pada tempat yang engkau pandang sesuai. Berkata Rosulullah saw : “ Bakhin-bakhin[18] ( Bagus-bagus ) … inilah harta yang membawa keuntungan, inilah harta yang membawa keuntungan, dan saya telah mendengarnya, sebaiknya engkau berikan kepada saudara-saudara kamu “ .
Berkata Abu Tolhah : Akan saya laksanakan hal itu wahai Rosulullah saw . Kemudian Abu Tolhah membagikan taman tersebut kepada pra sanak saudanya. “[19]
2/ Zaid bin Haritsah.
Pada suatu hari, Zaid bin Haritsah ra datang kepada Rosulullah dengan kuda perangnya yang bernama “ sabal “ ( kuda ini adalah harta yang paling dicintai-nya ) .
Zaid berkata : Wahai Rosulullah saw, sedekah-kanlah kuda ini . Tetapi secara tidak disangka Rosulullah saw memberikan kuda tersebut kepada anak-nya ( Zaid ) sendiri yaitu Usmah bin Zaid. Melihat hal tersebut, Zaid bertanya : “ Wahai Rosulullah saw, maksud saya, agar kuda tersebut disedekahkan . “ Bersabda Rosulullah saw : “ Sedekah kamu telah diterima ( oleh Allah swt “ [20]
3/ Abdullah bin Umar
Berkata Abdullah bin Umar : “ Ketika saya teringat ayat ini, saya berpikir tentang harta yang paling saya cintai dan ternyata saya dapatkan bahwa tidak ada yang paling saya cintai dari seorang budak wanita Romawi, kemudian segera saya bebaskan demi mencari ridha Allah, seandainya aku ambil lagi sesuatu yang telah saya infakkan di jalan Allah,tentunya budak tersebut akan aku nikahi. “ [21]

(6 ) SEDEKAH YANG PALING UTAMA
Sedekah yang paling utama adalah menginfakkan harta yang paling dicintainya di jalan Allah, sebagaimana yang dikerjakan oleh para sahabat di atas.
Berkata ‘Atho’ ( seorang ulama tabi’in ) : “ Kalian tidak akan mendapatkan kemulian Islam dan Taqwa sehingga kalian bersedekah dalam keadaan sehat , ingin hidup secara baik dan takut tertimpa kemiskinan “ [22]
Perkataan Atho’ diatas menunjukkan bahwa fitrah manusia mencintai hal-hal yang membuatnya enak

( 7) HUKUM ORANG MISKIN YANG TIDAK PERNAH BERINFAK
Timbul sebuah pertanyaan : Bagaimana nasib orang miskin yang tidak mampu berinfak , apakah dia tidak akan menjadi orang baik selama-lamanya menurut ayat ini ? Di sana ada beberapa jawaban :
1/ Ayat di atas bermaksud untuk mendorong seseorang agar berbuat baik dan itupun menurut kemampuannya masing-masing ,karena Allah tidak akan membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya.
2/Ataupun arti ayat di atas bahwa seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan secara lebih sempurna kecuali kalau dia meng-infakkan apa yang dimilikinya. [23] Oleh karena itu, seorang yang miskin atau fakir tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna tersebut sehingga dia menginfakkan apa yang ia cintai. Bukankah sedekah yang paling utama adalah sedekahnya orang yang hidupnya kekurangan ? [24]
3/ Ataupun artinya bahwa infak yang baik adalah infak terhadap apa yang ia cintai. [25]

( 8 ) PERBANDINGAN ANTARA ORANG YANG MISKIN SABAR DENGAN ORANG KAYA YANG BERSYUKUR
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah ini. Akan tetapi jika dibandingkan antara seorang miskin yang taat dengan orang kaya yang maksiat tentunya, orang miskin terssebut jauh lebih utama, sebaliknya pula antara orang kaya yang taat dengan orang miskin yang senang dengan dunia,tentaunya orang kaya tersebut jauh lebih utama.
Jika kedua-duanya sama-sama taat kepada Allah swt, maka manakah yang lebih mulia. Untuk menjawabnya, kita harus terlebih dahulu mengetahui standar keutamaan antara keduanya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia diciptakan di dunia ini untuk beribadah kepada Allah swt. Di dalam beribadah ini banyak segala gangguan dan halangannya, diantara gangguan yang paling menyolok adalah terikatnya hati dengan dunia dengan segala kesenangannya. Begitu juga kemiskinan bukanlah tujuan utama, hanya karena gangguan dan halangan menuju Allah jauh lebih kecil jika dibanding dengan orang yang memiliki dunia. [26]

( 9 ) HUKUM SEDEKAH KEPADA SANAK KELUARGA
Sedekah dibagi menjadi dua : sedekah tathowu’ ( yang tidak wajib ) dan sedekah wajib . Untuk sedekah tathowu’, para ulama menyimpulkan dari kisah Abu Tolhah dan Zaid bin Haritsah di atas, bahwa seseorang dibolehkan, bahkan dianjurkan untuk bersedekah kepada sanak saudara yang membutuhkan[27]. Sedekah kepada sanak saudara ini , paling tidak mempunyai dua keistimawaan :
1/ Sedekah tersebut bisa menguatkan jalinan silaturahmi diantara keluarga. Karena manusia akan merasa senang jika ada seseorang yang membantunya untuk di dalam memnuhi kebutuhannya, apalagi yang membantu tersebut adalah dkeluarga dekatnya. Dia akan merasa bangga mempunyai keluarga yang mau memperhatikan satu dengan yang lainnya. Jelas hal ini akan menguatkan hubungan antar keluarga.
2/ Begitu juga, perasaan orang yang menginfakkan akan lebih tenang dan merasa senang, karena dia mampu membantu saudaranya yang membutuhkan. Dia juga merasa tenang karena sedekahnya telah diterima oleh orang yang berhak menerimanya. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa dua wanita yaitu Zainab istri Abdullah bin Mas’ud dan Zainab istri Abu Mas’ud bertanya kepada Rosulullah saw tentang sedekah kepada suami dan anak . Rosulullah saw bersabda : “ Keduanya mempunyai dua pahala ; pahala menjalin silatrahmi, dan pahala sedekah “ [28]
Adapun sedekah wajib, para ulama telah sepakat bahwa hal itu tidak boleh diberikan kepada orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri.
Kenapa tidak boleh ? Banyak alasannya, diantaranya adalah : 1/ Dengan mengambil sedekah wajib dari orang yang menanggungnya , mereka ( anak dan istri ) menjadi orang yang berkecukupan, dengan demikian, tidaklah perlu mereka diberi nafakah lagi .
2/ Mereka ( anak dan istri ) sudah cukup dengan nafakah yang diberikan suami atau orang tua mereka, sehingga tidak berhak lagi mendapatkan harta sedekah, karena harta sedekah ( wajib ) hanya diberikan kepada orag-orang yang membutuhkan. [29]
Jika ada pertanyaan : bagaimana hukum seorang istri memberikan sedekah wajib kepada suami dan anak ?
Jawabannya : bahwa para ulama dalam hal ini masih berselisih pendapat , akan tetapi pendapat yang lebih mendekati kebenaran bahwa hal itu dibolehkan, karena seorang istri tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada suami dan anaknya [30] , selain itu dikuatkan juga dengan hadits Zaenab istri Abdullah bin Mas’ud di atas.
Dari situ juga bisa diambil kesimpulan bahwa seorang istri jika ingin meninfakkan hartanya tidak perlu ijin kepada suaminya, karena hartanya merupakan haknya pribadi. [31]
Hadist di atas juga menunjukkan bahwa seseorang sebelum bersedekah dianjurkan untuk meminta pendapat para ulama dan tokoh masyarakat tentang bagaimana menaruh sedekah dan yang terkait dengannya. [32]

(10 ) BERINFAK SECARA SEMBUNYI-SEMBUNYI
Secara umum, bersedekah secara sembunyi-sembunyi jauh lebih utama jika dibanding dengan sedekah secara terang-terangan, kecuali jika disana ada maslahat yang menuntut seseorang untuk memperlihatkan sedekahnya kepada orang lain, seperti memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dan lain-lainnya. Karena sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih dekat kepada keikhlasan .
Pada akhir ayat 92 surat Ali Imran di atas , secara tidak langsung Allah menganjurkan seseorang untuk mengikhlaskan niatnya ketika bersedekah. Allah berfirman : “ Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya “ yaitu walaupun manusia tidak mengetahui bahwa kalian telah bersedekah, akan tetapi Allah mengetahuinya, maka jangan cemas, niscaya Allah akan membalas apa yang telah kalian sedekahkan .
Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika itu sedekah wajib, sebaiknya dinampakkan, untuk menghindari tuduhan jelek. Tetapi jika itu adalah sedekah tathowu’ ( tidak wajib ) , maka sebaiknya diberikan secara sembunyi- sembunyi.
Berkata Ibnu Abbas : “ Allah menjadikan pahala sedekah tathowu’ ( yang tidak wajib ) yang diberikan secara sembunyi-sembunyi sebanyak 70 kali lipat , dan menjadikan pahala sedekah wajib yang diberikan secara terang-terangan sebanyak 25 kali lipat dibandingyangdiberikan secar sembunyi-sembunyi. Begitu juga halnya dengan seluruh ibadat wajib dan yang tidak wajib . “ [33]

( 11 ) SEDEKAH MAMPU MENGOBATI BERBAGAI PENYAKIT
Diantara faedah dari sedekah adalah menyembuhkan penyakit, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits, bahwasanya Rosulullah saw bersabda :
داووا مرضاكم بالصدقة
“ Obatilah orang –orang yang sakit dari kalian dengan memberikan sedekah “ [34]
Penyakit yang dimaksud di dalam hadist tersebut adalah penyakit badan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan hadist tersebut mencakup penyakit badan dan penyakit hati. Karena seseorang yang selalu bersedekah dengan harta yang dicintainya, hatinya akan menjadi bersih dan tenang. Banyak bukti di dalam kehidupan disekitar kita yang menunjukkan kebenaran hadist di atas :
1/ Diriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak bahwa seseorang mengadu kepadanya tentang penyakit yang ia rasakan di kedua lutut kakinya, sudah tujuh tahun dia berobat ke dokter-dokter, akan tetapi tidak ada perubahan. Abdullah bin Mubarak berkata kepadanya : “ Pergilah dan buatlah sebuah sumur, karena masyarakat sangat membutuhkannya, dan saya berharap sumur trsebut banyak airnya dan penyakit anda bisa sembuh.” Kemudian orang tersebut mengikuti perintah Abdullah bin Mubarak, dan tidak lama pula, akhirnya penyakitnya sembuh. [35]
2/Prof Dr H Biran punya pengalaman. Ia mempunyai seorang pasien yang kaya raya. Keluhannya selalu merasa gelisah dan sakit perut. Sudah diperiksa secara medis, namun tidak ada kelainan. Akhirnya pada suatu waktu ketika sang pasien itu datang berkonsultasi lagi, Dr Biran bertanya: “Maaf pak, berapa kali bapak bersedekah dalam setiap minggu?” Mendapat pertanyaan yang tidak lajim ini sang pasien merasa bingung dan menjawab: “Kekayaan, saya peroleh dengan kerja keras dan susah payah. Kalau saya berikan pada orang lain, harta saya jelas akan berkurang. Dan kalau saya berikan pada satu orang, pasti peminta yang lain datang lagi.’
Setelah Dr Biran memberikan ” tausiah ” singkatnya mengenai fadhilah sedekah maka ia berkata: “Untuk kali ini saya tidak memberi resep, tapi coba bapak ikuti nasehat saya tadi.” Karena ingin sembuh, maka walaupun dengan hati berat karena belum terbiasa, si pasien itu mencoba mengikuti advis sang dokter. Aneh tapi nyata. Setiap selesai ia mengeluarkan sedekah, ada perasaan lega dan tenteram dalam hatinya. Pelan-pelan tapi pasti, maka bukan setiap minggu tapi setiap hari dia bersedekah. Sejalan dengan kebiasaan barunya itu, maka keluhannya kian berkurang akhirnya lenyap sama sekali .
3/Dua orang anak Rudi Hartono, maestreo bulu tangkis dunia, menderita lumpuh. Sudah berulang-ulang membawanya berobat kepada para medis kenamaan di Jakarta, namun tidak kunjung sembuh. Atas advis seorang ahli agama, Juara All England delapan kali ini, dianjurkan untuk sering menderma atau membantu para fakir miskin dan mereka yang memerlukan. Saran ini ia turuti. Sejak saat itu setiap bulan ia menyumbang dua setengah juta rupiah. Diluar dugaan, kedua anaknya sembuh total. [36]

________________________________________
* Makalah ini dipresentasikan di dalam acara Paket Kuliah Kilat Ramadlan 1427 H PCIM , Kairo Mesir pada tanggal 7 Ramadlan 1427 ( 30 / 9/ 2006 ) .
[1] Lihat Steven J. Stein dan Howard E. Book, The EQ Edge : Emotional Intelligence and Your Success ( Ledakan EQ : 15 Prinsip Dasar kecerdasan emosional meraih ukses) . cet . Kaifa, hlm : 160-161 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spriritual, cet. Arga, hlm ; 88-91
[2] Lihat Steven J. Stein dan Howard E. Book, The EQ Edge : Emotional Intelligence and Your Success hlm : 154
[3] Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an ( Beirut , Dar Al Kutub Ilmiyah, 1417 H- 1996M cet. Ke- V ) : 4/ 86
[4] Ibnu Hajar Al Asqalany, Al Ujab fi Bayan Al Asbab ( Damam, Dar Ibnu Jauzi, 1997) : 2/ 714
[5] Ibnu Arabi, Ahkam Al Qur’an : 1/ 368, Al Jashos, Ahkam Al Qur’an (
Beirut, Dar Ihya’ Turast Al Araby , 1405 H ) : 2/ 300
[6] Qurtubi, Al Jami’ li Akam Al Qur’an : 4/ 133
[7] Al Jashos, Ahkam Al Qur’an : 2/ 301
[8] Al Alusy, Ruh Al Ma’ani : 3/ 222
[9] Ibnu Arabi, Ahkam Al Qur’an : 1/ 368, pendapat ini juga didukung oleh Imam Qurtubi ( Al Jami’ li Akam Al Qur’an : 4/ 133) , Ibnu Hajar ( Fathu Al Bari : 3/ 396 ) , Al Alusy ( Ruh Al Ma’ani : 3/ 223) , Al Jashos, ( Ahkam Al Qur’an : 2/ 301 )
[10] HR Muslim, Kitab : zakat, Bab : Bahwa kata ‘ Sedekah “ mencakup seluruh perbuatan baik ( no : 1005 )
[11] lihat An Nawi, Syareh Shohih Muslim, cet . Dar Al Hadist : 4/ 101
[12] lihat An Nawi, Syareh Shohih Muslim, cet . Dar Al Hadist : 4/ 101
[13] HR Bukhari
[14] lihat An Nawi, Syareh Shohih Muslim, cet . Dar Al Hadist : 4/101- 102
[15] Sepuluh macam sedekah di atas tersebut di dalam Shohih Muslim Kitab : Zakat, Bab : Bahwa kata ‘ Sedekah “ mencakup seluruh perbuatan baik ( dari no : 1006- 1009 )
[16] Lihat Qurtubi, Al Jami’ li Akam Al Qur’an : 4/ 132
[17]
Para ulama berselisih pendapat tentang namanya yang paling tepat, apakah ( Bairuha atau Bairaha atau Bariha atau yang lain-lainnya ) ( lihat An Nawi, Syareh Shohih Muslim, cet . Dar Al Hadist : 4/ 94 )
[18] Kata: ( Bakhin-bakhin/ bakhi-bakhi / bakh-bakh ) biasanya diucapkan orang-orang Arab ketika memuji suatu perbuatan atau ketika kagum terhadap sesuatu. ( lihat An Nawi, Syareh Shohih Muslim, : 4/ 95)
[19] Hadits riwayat Bukahri, Bab : Zakat terahap sanak saudara. ( no : 1461 ) dan Muslim , Bab Zakat ( no : 42 )
[20] Ibnu Arabi, Ahkam Al Qur’an : 1/ 368
[21] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Adhim : 1/ 506
[22] Lihat Qurtubi, Al Jami’ li Akam Al Qur’an : 4/ 133
[23] Ini sebagaimana yang dalam hadist tentang definisi miskin : “ Seorang miskin bukanlah orang yang hanya makan satu atau dua suap makanan, atau satu atau dua buah kurma, akan tetapi orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai uang sama sekali dan tidak diketahui keadaannya, sehingga ia diberi sedekah “ Berkata Al Jashos : Hadist ini ingin menerangkan orang miskin yang sempurna, dan bukan berarti selain itu tidak boleh disebut miskin ( Al Jashos, Ahkam Al Qur’an : 2/ 3001 )
[24] Para pengamen jalanan yang tergabung dalam Pengamen Stovia Community, menyumbang uang sejumlah Rp 746.200 yang murni dari dari hasil mengamen untuk korban tsunami Aceh dan Sumut . Mereka mengamen pada malam Tahun Baru selama sekitar empat jam di sekitar Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Begitu juga seorang pembantu rumah tangga dan seorang baby sitter masing-masing menyerahkan Rp 50.000 gajinya untuk disumbangkan para korban tsunami (Kompas , 06 Januari 2005 ) Begitu juga yang dilakukan oleh seorang ( Djarot ) pengamen di Ciledug, Tangerang, Banten. Ia menyumbangkan uang senilai hampir Rp 9 juta kepada korban gempa di Desa Muker, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jateng, Selain itu Djarot juga menghibur para pengungsi dengan mengajak bernyanyi bersama dengan lagu ciptaannya sendiri. Uang bernilai hampir Rp 9 juta diperoleh Djarot dengan cara mengamen di bus patas AC 44 tujuan Ciledug-Senen selama sepekan. (http://www.liputan6.com/view/7,124630,1,0,1150639203 )
[25] Al Alusy, Ruh Al Ma’ani : 3/ 223
[26] lihat Abu Dzar Al Qolmuni, Al Toyyibat mi Al Rizqi ( Kairo ; Maktabah Taufiqiyah , t.t.) hlm : 96-97
[27] Jika saudara tersebut tidak membutuhkan, sebaiknya sedekahnya dialihkan kepada yang lebih membutuhkan. Karena dikawatikan tidak mengena sasarannya, sehingga pahalanya menjadi hilang, atau tidak diterima oleh Allah swt.
[28] HR Bukhari , Kitab : Zakat, Bab : Zakat terhadap suami dan anak yatim yang tinggal dirumahnya ( no : 1466 ) , HR Muslim, Kitab : Zakat, Bab : Keutamaan Nafakah dan sedekah kepada sanak saudara , ( no : 1000 )
[29] Ibnu Hajar, Fath Al Bari : 3/ 402 -403
[30] Pendapat ini dianut oleh Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi, dan merupakan salah satu riwayat dari Madzhab Malik, ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’I, dan riwayat dari Madzhab Imam Ahmad. ( lihat Ibnu Hajar, Fath Al Bari : 3/ 402 )
[31] Ibnu Hajar, Fath Al Bari : 3/ 403
[32] An Nawi, Syareh Shohih Muslim : 4/ 95
[33] Al Qurtuby, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an , : 3/ 214
[34] Hadist ini adalah hadist hasan, sebagaimana diebutkan Syekh Al Bani di dalam Shohih Al Jami’
[35] Kisah ini tercantum di dalam Shohih Targhib wa Tarhib.
[36] Oleh Uti Konsen U.M, Sedekah Penangkal Bencana dalam Pontianak Post, Jumat, 22 Juli 2005 .
Sumber: http://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/16/kekuatan-sedekah-1/