"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 30 Mei 2011

KHA WAHID HASYIM
Dari Pesantren untuk Bangsa
KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.

Wahid Hasyim adalah salah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.

Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.

Mondok Hanya Beberapa Hari
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya.

Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.

Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain, harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.

Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga, selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.

Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim Asy’ari.

Pembaharuan pendidikan Pesantren Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan madrasah modern di lingkungan pesantren.

Berangkat ke Mekkah
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18 tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.

Dengan pengalaman pendidikan tersebut, tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda. Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren termasuk juga dalam politik.

Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun (1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik, pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah. Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia terbebas dari penjajah.

Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.

Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan ada orang yang memasuki suatu organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.

Waktu itu April 1934, sepulang dari Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang diterima, termasuk tawaran dari NU.

Apa yang terjadi dalam pergulatan pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.

Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.

”di mata saya, ada seribu satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan Politik Muslim Indonesia.

Setelah beberapa lama melakukan pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU. Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim kelebihan yang dimiliki oleh NU.

Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.

Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.

Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.

Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.

Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:

* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.

Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia). Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.

Meski tidak pernah mengenyam pedidikan modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu, pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan umum.

Dalam metode pengajaran, sekembalinya dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan menciptakan kepastian dalam diri santri.

Perubahan metode pengajaran diimbangi pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis. Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid). Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.

Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan Kenegaraan
Selain melakukan perubahan-perubahan tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.

Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.

Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia mengundurkan diri.

Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura (Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman Singodimejo.

Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta. Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim tetap memegang jabatan Menteri Agama.

Dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946. Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP.

Selama menjadi Menteri Agama, usahanya antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia; dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam kementerian agama.

Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin Abbas sebagai wakil ketua II.

Sebagai Ketua Umum PBNU
Ketika Muktamar ke 19 di Palembang mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum, dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.

Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.

Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun.

Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia yang akan segera diproklamasikan.

Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim, dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk di jok belakang bersama Argo Sutjipto.

Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai. Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH. Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula.

Lokasi kejadian kecelakaan itu memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik.

Ditetapkan Sebagai Pahlawan
Berdasarkan Surat keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH. Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai kemerdekaan nusa dan bangsa.


Biografi singkat KH. Abdul Wahid Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis oleh KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta.
Sumber: /www.nu.or.id

Rabu, 18 Mei 2011

Kecintaan Sang Arif Billah
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany, Selasa sore, 27 Ramadhan 545 H di Madrasahnya
“Setiap cobaan senantiasa menyertai kewalian, agar seseorang tidak gampang mengklaim.” Usaha dan cobaan senantiasa ada, apalagi dalam perspektif orang-orang yang mengaku-aku dirinya. Jika bukan karena adanya cobaan dan ikhtiar, pasti banyak orang yang mengaku jadi wali. Oleh sebab itu sebagian Sufi menegaskan, “Setiap cobaan senantiasa menyertai kewalian, agar seseorang tidak gampang mengklaim.”
Diantara tanda kewalian seseorang adalah kesabarannya menghadapi cobaan dari makhluk yang menyakitkan dan mampu melewatinya. Para wali itu tidak pernah mempedulikan haru biru makhluk, dan tuli dari ucapan-ucapan mereka. Harga dirinya sudah mereka serahkan pada mereka. Dalam hadits disebutkan:
“Cintamu pada sesuatu membuat dirimu buta dan tuli.” (Hr. Abu Dawud dan Imam Ahmad).

Cintailah Allah Azza wa-Jalla, butakan dan tulikan dirimu dari selain Dia Azza wa-Jalla. Mereka yang membuatakan dan menulikan diri dari makhluk itu senantiasa bertemu dengan makhluk disertai kalam yang indah, kasih sayang dan menata jiwa mereka. Kadang-kadang malah marah pada mereka karena takut pada kecemburuan Allah Azza wa-Jalla dan berselaras dengan MarahNya.
Mereka ini adalah para dokter, yang mengetahui bahwa setiap penyakit ada obatnya. Setiap dokter tidak mengobati semua penyakit dengan satu obat saja. Mereka mengobati penyakit hati dari titik pandang hati dan kedalaman batin mereka di hadapan Allah Azza wa-Jalla.
Seperti pada Ashabul Kahfi, dimana Jibril as, membalik situasi jiwa mereka. Dan mereka berada di Tangan Kekuasaan dan Kasih SayangNya, sedangkan kelembutan kasih telah membalik jiwa mereka. Tangan Cinta Kasih telah membalik hati mereka dan mentransformasikan dari situasi ke situasi dunia mereka untuk mencari kehidupan duniawi dan yang lain mencari kehidupan ukhrawi. Sedangkan Allah Azza wa-Jalla, Tuhan mereka, sama sekali tidak bakhil. Bila mereka dimintai harta dunianya, akan mereka berikan. Dan bila diminta pahala akhiratnya, juga mereka berikan. Harta dunia mereka, diberikan kepada fakir miskin, sedangkan pahala akhirat mereka, diberikan kepada orang yang terbatas dalam meraih pahala. Sesuatu yang baru (makhluk) diberikan pada yang baru pula. Mereka menyerahkan apa pun yang bersifat kulit, karena selain Allah Azza wa-Jalla adalah kulit. Sedangkan yang dicari mereka ini adalah isi dan taqarrub.
Sebagian sufi – semoga rahmat Allah padanya – mengatakan, “Tidak ada yang bisa tertawa di hadapan orang fasik kecuali orang yang ‘arif Billah.” Memang, karena dia memerintah dan melarang, bahkan menanggung beban deritanya. Tidak ada yang mampu melakukan ini kecuali orang-orang yang ma’rifat kepada Allah Azza wa-Jalla. Hal ini pun tidak mampu dilakukan oleh para ahli zuhud, para ahli ibadah dan para penempuh.
Bagaimana mereka tidak menyayangi ahli maksiat? Sedangkan ahl8i maksiat itu adalah wilayah bagi maqom taubat dan pengakuan dosa.
Sang ‘arif senantiasa berakhlak dari Akhlaq Allah Azza wa-Jalla. Ia senantiasa berjuang untuk membersihkan orang-orang maksiat dari pengaruh-pengaruh syetan dan hawa nafsu. Bila anda melihat seseorang, yang anaknya ditahan oleh orang kafir, pastilah orang tuanya berjuang membebaskannya. Begitu juga orang arif Billah. Semua manusia seperti anak-anaknya sendiri. Sang arif memberikan wejangan dengan bahasa hikmah, kemudian mengasihi mereka, karena sang arif diberi pengetahuan. Sehingga sang arif melihat Tindakan Allah Azza wa-Jalla pada mereka ini, yang memandang agar keluar dari ketentuan dan takdir, melalui intu hikmah dan pengetahuan. Namun ia tetap menyembunyikan dan merahasian itu.
Sang arif menasehati makhluk dengan kebijakan perintah dan larangan, bukan menasehati dengan pengetahuan rahasia. Allah swt, mengutus Rasul dan menurunkan Kitab, memperingatkan dan menyadarkan makhluk agar ada argumen bagi makhluk dan pengetahuan bagi mereka. Jangan masuk di “dalamnya” juga jangan menentangnya. Ulangi dan bergegas. Ada ketetapan ilmu di dalamnya yang membutuhkan aturan ganda bagimu dan bagi yang lain. Anda membutuhkan pengetahuan khusus. Bila seseorang mengamalkan ilmu dzohir, maka Rasulullah saw, menyuapinya dengan ilmu batin, sebagaimana induk burung menyuapi anaknya. Beliau melakukan itu agar dibenarkan dan diamalkan melalui ucapannya yang dzohir, yaitu syariatnya.
Manusia, bila telah benar, tidak ada lagi yang lebih benar dibanding kebenarannya, dan bila dekat tidak ada yang lebih dekat dibanding kedekatannya, bila bersih tidak ada yang lebih bersih dibanding dirinya.
Orang bodoh melihat dengan mata kepalanya, sedangkan orang pandai melihat dengan mata batin akalnya, sedangkan orang airf melihat dengan mata hatinya, begitu cemerlang bermutiarakan pengetahuan. Maka hendaknya makhluk teguh disana dengan totalitasnya, hingga tenggelam di dalamnya, sampai tak ada yang tersisa kecuali Allah Azza wa-Jalla. Maka disinilah seseorang berkata:
“Dialah Yang Maha Awal dan Maha Akhir, dan Maha Dzohir dan Maha Bathin.” (Al-Hadid 3)

Allah azza wa-Jalla menjadi perspektif awal, akhir, lahir dan batinnya, rupa dan maknanya, tak ada sesuatu pun di sisiNya. Maka disinilah cintanya mengabadi di dunia dan akhirat, berserasi dengan berbagai kondisi, hanya memilih ridhoNya, sedangkan amarah orang lain sama sekali tidak membuatnya bergeming, seperti dikatakan sebagian Sufi, ra: “Berserasilah dengan Allah azza wa-Jalla dalam bergaul dengan makhluk, dan jangan berserasi dengan makhluk ketika bersama Allah Azza wa-Jalla.”
Runtuhlah yang harus runtuh, kokohlah yang kokoh. Syetanmu, nafsumu dan geromobolan jahatmu adalah musuh-musuhmu. Hati-hati jangan sampai anda terjerumus di dalamnya. Belajarlah sampai anda tahu bagaimana melawan musush-musuhmu itu, hingga anda mengertyi bagaimana menyembah Tuhanmu Azza wa-Jalla. Karena orang bodoh itu ibadahnya tidak diterima. (bersambung)
Sumber:www.sufinews.com

Dunia Gelap Cahayanya Ilmu (sambungan: Kecintaan Sang Arif Billah)
Syeikh Abdul Qadir Al-JilanySelasa sore, 27 Ramadhan 545 H.di Madrasahnya
Setiap orang yang dalam hatinya ada iman akan mencintai orang yang beriman, dan setiap orang yang dalam hatinya munafik, ia akan membenci orang yang beriman.
Nabi saw, bersabda:
“Siapa yang menyembah Allah dengan kebodohannya, maka hal-hal yang bisa merusak ibadah lebih banyak dibanding hal-hal yang memperbagusinya.”

Orang bodoh itu ibadahnya tidak meraih apa pun, bahkan ia berada dalam kehancuran total dan kegelapan menyeluruh. Ilmu juga tidak akan berguna kecuali dengan mengamalkannya, dan beramal tidak berguna kecuali dengan keikhlasan. Setiap amal yang tanpa ikhlas, tidak bermanfaat dan tidak diterima . Namun jika anda berilmu namun tidak mengamalkan, ilmu itu akan menjadi argumentasi yang menohokmu. Dalam sabdanya, Nabi saw:
“Orang yang bodoh disiksa sekali, sedangkan orang berilmu disiksa tujuh kali.”

Orang bodoh disiksa, karena ia tidak mau belajar, dan orang berilomu disiksa karena ia tidak mau mengamalkan ilmunya. Belajarlah dan amalkanlah dan ajarkanlah. Semua itu akan berpadu selyuruh kebajikan bagimu.
Bila anda mendengarkan ilmu pengetahuan, dan anda mengamalkan, lalu anda mengajar, anda mendapat dua pahala: Pahala ilmu dan pahala belajar.
Dunia ini gelap. Cahayanya adalah ilmu. Siapa yang tidak berilmu ia akan tersesat di kegelapan, dan kehancurannya lebih banyak disbanding kebaikannya.
Wahai orang yang mengakui punya ilmu pengetahuan, janganlah anda meraihnya dari nafsumu, dari watakmu dan dari syetanmu, jangan pula mengambil dari kemampuan wujudmu, jangan mengambil dari kemampuan pamermu dan kemunafikanmu, karena zuhudmu hanya lahiriyah, batinmu ambisius. Jelas ini zuhud batil.
Anda menyiksa diri dan memperdayai Allah Azza wa-Jalla, sedangkan Dia Maha Tahu apa yang tersembunyi, apa yang tampak, apa yang ada di hatimu. Karena bagiNya tak ada yang tersembunyi maupun terang-terangan, tak ada tirai. Katakan: Sungguh celaka! Sungguh hina, sungguh malu!Bagaimana tidak? Allah Azza wa-Jalla melihat pafdaku siang dan malam, bagaimana aku tidak malu dengan pandanganNya.
Bertobatlah dari penyimpanganmu padaNya dan mendekatlah padaNya, dengan menjalankan fardhu dan menjauhi laranganNya. Tinggalkan dosa lahir dan dosa batin. Lakukan kebaikan yang jelas. Dengan begitu anda sampai di pintuNya, mendekatiNya, dan Dioa mencintaiNya dan membuat makhluk mencintaimu. Semula mencintaimu, kemudian memindahkan cinta itu pada makhluknya hingga mereka mencintaimu.
Bila Allah dan malaikatNya mencintaimu, para makhluk akan mencintaimu, kecuali orang kafir dan orang munafik. Karena mereka tidak berselaras dengan Allah Azza wa-Jalla dalam cintamu.
Setiap orang yang dalam hatinya ada iman akan mencintai orang yang beriman, dan setiap orang yang dalam hatinya munafik, ia akan membenci orang yang beriman. Karena itu tidak usah dipikir dengan kebencian orang kafir padamu, kebgencian orang munafik dan syetan-syetan. Iblis-iblis munafik dan kafir adalah syetan-syetan bersosok manusia.
Manusia beriman yang yaqin kepada Allah Azza wa-Jalla yang arif kepada Allah, senantiasa hatinya dan rahasia batinnya menyendiri bersama Allah swt, hingga pada tahap dimana manfaat dan derita tidak mempengaruhinya, karena ia berada dalam tarikan Allah Azza wa-Jalla, karena tidak ada daya dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya.
Bila bisa benar demikian, kebaikan datang dari segala penjuru. Janganlah anda mendatangi kaum yang hanya mengaku-aku, berkhalwat dan berangan-angan. Karena mereka ini tidak bisa jadi pedoman.
Anda pun tidak bisa bisa jadi pegangan sepanjang anda belum merasa putus dari rasa sebab akibat dunia, hingga anda bosan dan putyus dari langkah ke pintu-pintu manusia. Bahkan tak bisa jadi pegangan sampai anda memalingkan hati anda, akal anda dan wajah anda dari manusia, menuju sang Khaliq, hingga lahiriyahmu berada di tengah makhluk dan wajah pandangan hatimu kepada Sang Khaliq Azza wa-Jalla. Lahir dan sososkmu pada makhluk, tetapi batin dan hakikatmu kepada Sang Khaliq Azza wa-Jalla. Saat itulah hatimu seperti hati para malaikat dan para Nabi, karena hatimu makan dari makanan mereka, minum dari minuman mereka. Inilah masalah yang berkaitan dengan hati dan rahasia hati serta makna-makna hakiki, bukan pada formalitas rupa.
Ya Allah, bagusi hati kami, pakaikan kebagusan itu pada rahasia batin kami, dan jernihkan akal kami, antara kami dan DiriMu dibalik akal-akal para makhluk dan akal kami.

Wahai orang-orang yahdir dan wahai mereka yang tidak hadir di sini. Kalian semua melihat hari kiamat sangat heran. Aku menganalisa orang munafik, bagaimana dengan orang-orang yang beriman.

Ya Allah tolonglah aku dari semuanya, dan cukupkan padaku dari selain diriMu. Cukupkanlah para pengajar dari problema anak dan rumah-rumah mereka. Jadikan rumah-rumahnya adalah rumah pendidikan. Ya Allah, Engkau Tahu kalimat-kalimat ini mengalahkan diriku, upahku sudah tuntas, dan kudapatkan dariMu upah anak-anak, pengikut dan Jalan-jalan menujuMu, dan aku mohon padaMu agar semuanya mudah dengan kebaikan hatiku dan kejernihan batinku.

Wahai kaumku….Kalian semua menyangka kalau aku punya kepentingan darimu, dank au melihat kalian, tidak sama sekali dan tak sedikit pun ada kemuliaan. Aku hanya mengambil dari Allah Azza wa-Jalla, bukan dari kalian, bahkan yang kuambil mengalir pada kalian, hanya karena aku bersamamu sepanjang kau mengenalmu. Bila aku keluar dari kalian, aku mengenalkan padamu bahwa akulah penyangkal kaum munafiq, dan pengkritisi kaum arifin. Aku tidak memukul kaum munafiq kecuali dengan menenggelamkannya, bukan dengan senjata yang digantungkan. Aku makan setelah kalian semua kenyang, dan aku menddapatkannya bukan dari diri kalian. Aku ada kelompok setelah kalian keluar dar sahabat-sahabatku, aku pemukanya dan aku melayaninya. Lihatlah wahai orang yang punya matahati. Saya selalu menyingsingkan lengan baju dan mengetatkan ikat pinggang.
Ada yang bertanya, lalu utusan Allah Azza wa-Jalla, Jibril Alaihissalam berkata kepada para Nabi, dan dari rasulNya disampaikan kepada para waliNya, lalu berkata: Dia adalah RasulNya kepada mereka tanpa perantara melalui rahmat dan kasih sayangNya, anugerah, ilham dan pandanganNya pada hati mereka serta rahasia mereka. Dia menganugerahi kasih sayang atas mereka, mereka melihatnya, baik dalam kondisi jaga maupun tidur dengan mata hati mereka, dengan kebeningan rahasia batin mereka dan langgengnya keterjagaan batin mereka.
Wahai kaumku, bahwa kalian terputus dari ma’rifatullah dan tidak bisa mengenal wali-waliNya semata karena cinta dan ambisi kalian pada dunia, cinta berlomba-lomba dunia. Ingatlah kalian pada akhirat, tinggalkan dunia dan sifat-sifat duniawi kalian dengan kedermawanan yang baik . Ya Tuhan, kami hanyalah hambaMu yang kecil, berikanlah kami sepercik kebajikan dan kedermawanan. Amin.
Sumber:www.sufinews.com

Senin, 09 Mei 2011

Riwayat Singkat Abu Dzar Al-Ghifari
Sumber :
http://www.alghuroba.org/biografi.php
http://www.alghuroba.org/abudzar.php
*Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu ‘anhu, Sosok Pejuang Sendirian*
Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang
jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal
sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah
serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan
menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang
tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek,
semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.
Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal
dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani
Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai
utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat
mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama
Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah
seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab.
Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tau apa sesungguhnya yang terjadi
di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah
beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar
tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita
tersebut. Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu
lakukan ?”, tanyanya. Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang
pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.
Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.
Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir,
tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa
mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan
omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan
omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan
bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar
ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.
Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk
bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah
mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat
menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di
Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang
dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah
diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ?
Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng
putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat
berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan
menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun
di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau
sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya
bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat
dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai
qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu
Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang
dicarinya dan apa yang diinginkannya.
Dia hanya menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya
telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya
dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian
terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu
Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini
sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya
serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang
dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog
langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui
darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya
terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap
masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.
Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di
salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan
langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja
Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya :
Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah Ali untuk dijamu
sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumahpun tidak
tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu,
Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah.
Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu
keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali
berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : “Apakah hari
ini anda akan kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum
!”. Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa
sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”. Dan Abu
Dzarpun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang
Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing
ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya
ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik
mengajukan syarat bernada tantangan : “Bila engkau berjanji akan
merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Langsung saja Ali
menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”. Dan Abu Dzar
tidak ragu lagi dengan janji pemuda Quraisy yang terhormat ini, sehingga
dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah sampai kepada
kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar kata-kata Abu Dzar
itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya : “Engkau
sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan
masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang
mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat
ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku
lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh”. Maka Abu Dzarpun
mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan
apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang
paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam
kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah
syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat
kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah
ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan
engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.
Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran,
sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk
Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.
Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak
berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang
berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan
menyatakan : “Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula
Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.
Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka
berteriak memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar
orang murtad itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari
memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al
Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani
kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang
beringas memukuli Abu Dzar : “Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh
seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di
jalur perdagangan kalian”. Demi masyarakat mendapat teriakan demikian,
merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat
dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila
meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan
keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat
apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ini, tidak menciutkan nyalinya untuk
mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot
kafir Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang
penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali
berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk
mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya
ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh
masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah
seperti kemaren.
Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi
masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa.
Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar
pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al
Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya
yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga
separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah
menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja
mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung
mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah
ke Al Madinah An Nabawiyah.
Hijrah Ke Al Madinah :
Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah
peperangan Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya
untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar
berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu
mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun
beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap
majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir
padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada
halangan apa.
Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari
pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa
aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :
(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)
“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu
adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan
penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang
mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah
jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan
ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya :
Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab :
“Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan :
“Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al
Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.
Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar
setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat
tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran
padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak
kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna. Rasulullah
menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab :
Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka
Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa
yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar
menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri
tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri
para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana
pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan
kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan
tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau
diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan
mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku
mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut
mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku
tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan
: Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan
kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu,
engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau
menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati
penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.
Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :
(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).
“Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang
dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad
dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam
Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.
Abu Dzar berjuang sendirian :
Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar
cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang
yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap
ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping
kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari
ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia adalah orang yang
penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena
dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau
ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai
(Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk
mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan
aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau
memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun
untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap
menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian
pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit
untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la
haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada
kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan
perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam
Musnadnya jilid 5 hal. 159.
Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup
di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al
Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar
dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al Madinah di
suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk
bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-orang Quraisy.
Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping
bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup,
dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar
gembira bagi orang-orang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman
adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar
diatas api, dan batu itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam
padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan
batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian
terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya.
Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan
kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari
hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itupun segera meninggalkan
halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada
yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah
Abu Dzar.
Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk
menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku
melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau
ucapkan.
Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti
sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad)
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera
memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat
gunung Uhud itu ?!.
Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada
punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu
keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.
Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau
seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya
sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku).
Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya
selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.
Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari
kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka
sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka.
Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak
akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa
dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan
RasulNya”.
Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408
dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.
Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan
harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para
Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa
harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar
menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang
mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini
diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut :
“Ketika Abu Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu
Dzar. Maka Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah
seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria
yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha
merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku !!
Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya :
“Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat
jabatan di pemerintahan”.
Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu
Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan
kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.
Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau
menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?
Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.
Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun
bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?
Abu Hurairah menjawab : Tidak.
Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku,
engkau saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dalam
Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.
Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :
(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)
“Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang
keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku
meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal.
162.
Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi
melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan
posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi
wasallam di hari kiamat kelak.
Meninggal dunia di tempat pengasingan :
Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan
sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah
tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu
anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya,
sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya
ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh
Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah
segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar
diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di
Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan
itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak
senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah
perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.
Maka Amirul Mu’mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu
Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi
Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu
Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.
Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada
manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi
melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan
pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya
dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu
dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan
waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Sesekali dia
turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui
setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi
wa aalihi wasallam.
Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke
Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang
membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka
Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut
pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah
akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab :
Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya
haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.
Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung
memukul Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya
sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya
perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara
hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah
telah berfirman : (artinya)”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari
pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. S. Al Hasyr 9, juga Allah
berfirman : (artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang
miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. S. Ad Daher (dinamakan juga S.
Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna
dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas
pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas
hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali
meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.
Melihat kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah
engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan
tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”.
Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak
menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya
melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya.
Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan
dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk
bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat
pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir
hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan
menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit
yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya.
Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis ?”.
Istrinya menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam
keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.
Maka Abu Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku
telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam
bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok
orang yang lainnya. Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian
akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok
kaum Mu’minin”.
Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah
olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah,
telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini
dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang
pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu
sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang
aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini
(yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan
peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)”.
Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang
engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.
Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah
jalan !”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan
Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan
Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat
olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah
yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat
gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun
berhenti didepannya. Orang-orang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa
engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : “Di
sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian
mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya”. Maka
merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu menjawab : “Dia
adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari
kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka
sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas
tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka :
“Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai
sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian
Abu Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku
hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak
dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah,
hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari
kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh
masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.
Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat
berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan
kepadanya : “Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku
mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di
kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai
ini”.
Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan
serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta
mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.
Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan
selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai
Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan.
Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah
Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati
serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.
P e n u t u p :
Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah
sepeninggalnya. Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar
peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian
itu dengan mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar
dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.
Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada
kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia.
Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang
tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani
kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan
pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh.
Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman
pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur’an
dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan,
sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup
menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat
diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur’an dan Al Hadits. Masyarakat
yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan
diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan
dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah,
niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan
pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan
rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada
keridho’anNya.
Daftar Pustaka :
1. Al Qur’an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria An
Nawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al
Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
Sumber:tulisanasrofi.wordpress.com

Selasa, 03 Mei 2011

Pengantar Memahami Thoriqoh
Thoriqoh adalah jalan menuju kepada Allah Swt. Setelah kita mengetahui tentang prinsip (aqidah), sehingga kita mengetahui mana yang wajib mana yang mustahil dan mana yang ja’iz bagi Allah. Dan bisa mengetahui serta bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram. Serta mengetahui kewajiban-kewajiban individu kepada TuhanNya. Seperti Sholat –khususnya- dengan syarat-syaratnya. Walaupun cara mempelajarinya tidak semudah yang kita harapkan, secara sempurna. Namun paling tidak sudah melangkah sesuai ketentuan (hukum) dan sesuai dengan ilmu.
Apabila telah mempelajari itu secukupnya, alangkah baiknya segera untuk mempelajari atau masuk kedalam thoriqoh yang sehingga bisa mengantarkan hati dalam menemukan kekhusyu’an dalam menjalankan sholatnya. Dari itu akan tambah disanubarinya; merasa dilihat dan di dengar oleh Allah Swt. Hal yang demikian tidak hanya dalam sholat belaka tetapi akan menjadi bekal hidup, untuk sehari-harinya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ke-khusyu’an. Merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Dan mensosialisasikan, khususnya untuk pribadi. Karena itu sesuai dengan sabda Nabi Saw; “setiap manusia dalam tubuhnya terdapat segumpal daging yang disebut ‘mudhoh’, bila segumpal darah itu baik, bersih, semuanya akan berpengaruh baik dalam pola pikir dan lain sebagainya”. Lalu sahabat bertanya; ‘apakah mudhgoh itu wahai Rasulullah Saw. Di jawab oleh baginda Nabi Saw; ‘ mudhgoh itu adalah hati’.
Sumber segala penyakit, seperti takabur, sombong, dengki, hasud, pelupa kepada yang Maha Kuasa dan penyakit hati yang lainnya, sumbernya ada dihati itu sendiri. Kalau kita mandi, wudhu, cuci muka, jelas alatnya; pembersih tersebut adalah air. Bahkan ada yang menambah dengan farfum. Tidak cukup dengan air saja maka ditambah dengan farfum, selain itu memakai alat pembersih seperti sabun. Sehingga selain badan kita bersih juga harum.
Kita jarang berfikir, kalau kita mandi, cuci muka atau wudhu sehari berapa kali, seminggu berapa kali, pernahkah kita mewudhui, mencuci atau memandikan hati kita. Kita sadar atau tidak kalau daki-daki yang ada dalam badan kita kita bersihkan, kita gosok. Lalu kapan kita bersihkan hati kita, dan kita gosok hati kita, supaya karat-karat yang ada dalam hati, bersih. Sehingga seandainya hati bersih, bilamana karat-karatnya hilang, cahaya besi yang putih mengkilat itu akan Nampak.
Karat-karat tersebut saya umpamakan seperti penyakit hati, seperti takabur tersebut diatas. Apabila kita menyadari, terkadang kotoran hati itu sendiri mendorong kita berbuat satu kesyirikan yang kita sendiri tidak mengetahui. Lain daripada itu, kita banyak tertipu dengan peranan nafsu. Nafsu itu bagaikan anak kecil, nangisnya membuat hati kita iba, tertawanya membuat hati kita lega atau terhibur. Sadar atau tidak anak itu akan tumbuh besar. Bilamana kita tidak mengawasinya, mungkin akan kencing seenaknya. Berbeda pada waktu kencing masa bayi.
Dari sinilah Thoriqoh berperan untuk membersihkan segala penyakit hati. Kalau mandi mempunyai alat; air, sabun dan farfum. Sedangkan dalam membersihkan hati alatnya adalah dengan dzikir. Sebagaiama firman Allah: ‘Ala bidzikrillah tathmainna al qulub’, ketahuilah hanya dengan berdzikir pada Allah hati kita akan menjadi tentram.
Itulah diantaranya yang bisa membersihkan hati kita. Bilamana karatan-karatan ini terkikis sedikit demi sedikit dengan bidzikrillah akan membuka sedikit demi sedikit pancaran cahaya iman yang telah tumbuh di hati kita yang tadinya banyak terhalang dengan karatan-karatan yang ada dihati. Bilamana cahaya keimanan yang didukung dengan bidzikrillah itu mulai terpancar, maka akan mewarnai pandangan pola pikir, pandangan mata, telinga kita sampai pada perilaku-perilaku kita, yang jauh dari perbuatan-perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah Thoriqoh, mengantrar setiap individu manusia sehingga sampai kepada Allah Swt. Sadar bahwa dirinya selaku hamba, sadar kewajiban hamba pada Tuhannya. (tobe continu[Tsi])
Sumber: /www.habibluthfiyahya.net