"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 22 November 2010


ARTI BID’AH (Bagian pertama )
Drs. H. Engkir Sukirman, M.Sc.

Bid’ah merupakan sebuah kata yang tidak asing bagi kita semua. Karena kata atau istilah bid’ah ini berhubungan dengan banyak hal di dalam Islam. Namun sayang, banyak orang yang belum memahami makna bid’ah dengan benar. Sehingga tidak jarang mereka terjebak dalam perselisihan. Sebenarnya, para ulama telah menjelaskan masalah bid’ah ini, namun kita ternyata kurang mempelajarinya. Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan disampaikan uraian singkat tentang bid’ah, semoga tidak terjadi lagi salah paham tentang bid’ah ini. Amin.

Secara bahasa bid'ah itu berasal dari ba-da-'a asy-syai' yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Dan kata bid'ah maknanya adalah baru atau sesuatu yang menjadi tambahan dari agama ini setelah disempurnakan.

Jadi, bid'ah adalah segala yang baru yang diada-adakan yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, baik dalam perkara ibadah ataupun adat, pada masalah yang baik atau yang buruk. Hadits tentang bid’ah sebenarnya cukup banyak, namun yang biasa disitir oleh para penceramah adalah hadits yang satu ini:
......................................Hadits No. 1 (lampiran).............................
Barang siapa diberi hidayah oleh Allah, maka tiada siapa pun yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tiada siapa pun dapat memberinya hidayah (petunjuk). Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk (Hadits) Nabi Muhammad SAW. Dan sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru (muhdatsat) dan semua yang baru adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka (HR. Nasai).

Kalimat terakhir dari hadits di atas, yakni Dan sejelek-jelek perkara adalah hal-hal baru (muhdatsat) dan semua hal yang baru adalah bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka, tidak sejalan dengan hadits-hadits lain. Oleh karena itu, hadits itu tidak bisa dicerna secara langsung
secara leterleg), harus ditafsir terlebih dahulu. Untuk dapat memahami hadits di atas kita harus mengkaji semua hadits yang berhubungan dengannya. Sehingga kita tidak terjerumus pada penafsiran yang salah. Ada beberapa penjelasan, yakni:

Penjelasan pertama
Dikemukakan oleh Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah, beliau berkata: Mengenai hadits semua bid’ah dhalaalah ini bermakna aammun makhsush (pernyataan yang bersifat umum yang ada pengecualiannya). Ungkapan wa kullu bid’atin dhalaalah adalah analog dengan Firman Allah dalam QS. Al-Ahqaf : 25,

(Angin) yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.

Dalam ayat tersebut Allah menggambarkan bagaimana angin menghancurkan segala-galanya sehingga orang kafir tersebut terkubur di dalam bumi.

Walaupun disebutkan bahwa angin tersebut menghancurkan kulla syai’in (segala sesuatu), ternyata ada pengecualian yakni rumah orang-orang kafir tidak ikut hancur.

Ini menunjukkan bahwa kata kullu tidak selalu berarti semua (tidak mutlak). Dalam ayat di atas, rumah orang-orang kafir yang tidak hancur merupakan salah satu pengecualian.

Jadi juga makna kalimat wa kullu bid’atin dhalaalah pada hadits di atas, bukan bermakna keseluruhan bid’ah, tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah, yakni hanya bagi hal-hal baru yang buruk dalam Islam. Jadi maksud hadits di atas adalah bahwa semua hal-hal baru, yang buruk dalam Islam, adalah kesesatan.

Demikian pula,

“Sungguh telah Ku pastikan ketentuan Ku untuk memenuhi jahannam dengan seluruh jin dan manusia” (QS. Assajdah:13 dan QS. Hud: 119).

Walaupun dikatakan semua jin dan manusia akan masuk neraka, namun ada pengecualian yang tidak disebutkan, yakni para nabi, siddiqqin, suhada, sholihin, yang justru mereka itu adalah kelompok manusia calon penghuni surga.

Jadi ayat itu bermakna bukan keseluruhan manusia akan masuk neraka, tetapi bermakna sebagian dari keseluruhan manusia, yakni hanya kaum musyrikin dan dhalimin saja, yang akan dimasukkan ke neraka.

Jadi juga makna kalimat wa kullu bid’atin dhalalah pada hadits di atas, bukan bermakna keseluruhan bid’ah, tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah, yakni hanya bagi hal-hal baru yang buruk dalam Islam.

Jadi maksud hadits di atas adalah bahwa semua hal-hal baru, yang buruk dalam Islam, adalah kesesatan; adapun hal-hal baru yang baik tidaklah sesat.

Penjelasan kedua
Rupanya pemahaman bahwa tidak semua bid’ah itu sesat telah dipahami oleh para sahabat. Bahkan seorang sahabat terkemuka, Khalifah kedua, Amirul Mukminin ’Umar bin Khaththaab ra pernah mencetuskan istilah bid’ah hasanah untuk sebuah amalan yang beliau susun sendiri, yaitu shalat tarawih berjamaah di Masjid selama bulan Ramadhan dengan seorang imam yang hapal Al-Qur’an. Imam Bukhaari ra, dalam kitab shohihnya menyebutkan,
...........................................Hadits No. 2...........................................
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’, ia berkata, Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar menuju Masjid bersama ’Umar bin Khaththab ra. Di sana (tampak) masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) secara berkelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri ada pula yang shalat berjamaah bersama sekelompok orang. Pada saat itulah ’Umar ra berkata, Menurutku, andaikata semua orang ini kupersatukan di bawah pimpinan seorang Imam yang hapal Al-Qur’an tentu lebih baik. Beliau bertekad untuk mewujudkan niatnya. Akhirnya beliau persatukan mereka di bawah pimpinan ’Ubay bin Ka’ab. Di malam lain, aku ke luar menuju Masjid bersama ’Umar ra. Saat masyarakat sedang menunaikan shalat (tarawih) berjamaah dengan Imam mereka yang hapal Al-Qur’an (ketika menyaksikan pemandangan tersebut) berkatalah ’Umar: Ni’mal bid’atu haadzihi (HR. Bukhari dan Malik, Hadits No.1906).

Apa artinya kalimat: Ni’mal bid’atu haadzihi ?. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ungkapan serupa,
Ni’mal wakiil = sebaik-baik tempat penyerahan,
Ni’mal maulaa = sebaik-baik penjaga,
Ni’man nashiir = sebaik-baik penolong,
Ni’mal ‘abdu = sebaik-baik hamba,
Ni’ma ajrul ‘aamiliin = sebaik-baik balasan orang yang beramal,
Ni’mal bid’atu = sebaik-baik bid’ah.
Jadi Ni’mal bid’atu haadzihi artinya: Inilah sebaik-baik bid’ah. Dengan kata lain salat tarawih berjamaah di masjid adalah bid’ah
hasanah. Ucapan beliau ini merupakan salah satu bukti bahwa tidak semua bid’ah sesat, hanya bid’ah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sesat.

Perlu diketahui, memang benar bahwa Rasulullah saw mengadakan shalat tarawih bersama para sahabat, tetapi beliau tidak melakukannya berjamaah selama satu bulan penuh, beliau hanya melakukannya selama dua atau tiga hari (ada perbedaan riwayat). Karena khawatir tarawih tersebut dipandang wajib oleh umatnya, Rasulullah saw kemudian menghentikannya. Disamping itu juga, ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Rasulullah saw setelah Surat Al-Fatihah tidak dibaca secara urut mulai dari Surat Al-Baqarah sampai Surat An-Naas. Lain halnya dengan Sayyidina ’Umar ra, beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan salat tarawih serta memilih seorang imam yang hapal Al-Qur’an untuk membacanya dari awal hingga khatam.

Jadi, shalat tarawih yang dilakukan oleh Sayyidina ’Umar berselisih (berbeda) dengan shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan Sayyidina ’Umar juga memahami, menyadari dan mengakui bahwa perbuatannya itu adalah bid’ah. Namun karena bid’ah yang beliau ra lakukan memiliki dasar dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, beliau merasa senang dengan perbuatannya itu dan beliau katakan: Inilah sebaik-baik bid’ah.

Kita setuju dengan pendapat Sayyidina ‘Umar ra, bahwa shalat tarawih berjamaah di Masjid itu adalah bid’ah hasanah. Dan memang sangat tidak pantas kalau kita membantahnya, karena perbedaan kedudukan antara ‘Umar ra dengan kita amat sangat jauh, beliau mendapat pendidikan langsung dari nara sumber Islam, mendengar, melihat, dan mengamalkan Dien Al-Islam bersama Rasulullah saw. Sementara pengetahuan kita tentang Islam ini hanyalah dari bacaan dan rentang waktu antara kita dengan Nabi saw sudah teramat panjang (15 abad).

Bid’ah hasanah yang dibuat shahabat itu disebut sunnah shahabat. Dan kita ikuti sunnah shahabat itu, karena kita diperintah oleh Nabi saw untuk mengikutinya, sebagaimana sabda Nabi saw,
.......................................Hadits No. 3..............................................
Hendaklah kalian mengamalkan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, Ustman dan Ali) yang telah diberi petunjuk oleh-Nya ke arah kebaikan dan peganglah sunnah itu sekuat kemampuan serta waspadalah terhadap hal-hal baru karena semua bid’ah itu tersesat.(bersambung bag ke 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar