Karena Kejujuran, Kesucian, dan Juga Kebenarannya
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ja’far al-Khuldi memberitahuku tentang apa yang aku bacakan kepadanya: Al-Junaid —rahimahullah - bercerita
Syeikh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Ja’far al-Khuldi memberitahuku tentang apa yang aku bacakan kepadanya: Al-Junaid —rahimahullah - bercerita
padaku: Suatu hari aku datang pada Sari as-Saqathi, kemudian
ia berkata padaku: Aku akan menjadikan Anda kagum, karena hurung kecil (emprit)
yang datang dan hinggap di serambi muka rumah ini. Lain aku mengambil segenggam
makanan dan kulumatkan di telapak tanganku. lalu burung itu terbang dan hinggap
di ujung jari-jemariku dan makan makanan yang ada di tanganku. Namun di waktu
lain Ia datang di serambi muka rumah ini, kemudian aku mengambil sepotong roti
yang sudah kulumatkan di atas telapak tanganku, tapi burung itu tak mau hinggap
di tanganku sebagaimana sebelumnya. Lalu aku berpikir apa sehabnya Ia merasa
takut denganku. Akhirnya aku ingat, bahwa aku pernah makan garam dengan
rempah-rempah dan bumbu. Kemudian dalam rahasia hati (sirr) aku berkata, “Saya
tobat dan tidak akan makan garam yang berempah dan penuh bumbu.” Akhirnya ia
mau hinggap di tanganku dan makan apa yang ada di tanganku lalu ia terbang
meninggalkanku.
Dan Abu Ahmad al-Murta’isy yang mengatakan: Saya mendengar
ibrahim al-Khawwash —rahimahullah— berkisah: Aku pernah tersesat di
padang pasir dalam beberapa hari. Tiba-tiba ada seseorang mendekatiku sembari
mengucapkan salam. “Assalamu’alaika.” Lalu aku menjawabnya. “Wa’alaikumsalaam.”
“Apakah Anda tersesat?” tanya orang itu. “Ya!” jawabku. Kemudian lebih lanjut
orang itu bertanya, “Bolehkah aku menunjukkan jalan untuk Anda.” “Tentu saja
boleh!” jawabku. Kemudian orang itu berjalan beberapa langkah di depanku, tapi
kemudian menghilang, dan tiba-tiba aku sudah berada dijalan yang lurus. Sejak
aku berpisah dengan orang itu aku tak pernah tersesat lagi dan tidak pernah
lapar dan haus.
Dan kisah yang diceritakan Ja’far al-Khuldi dan al-Junaid
—rahimahullah— yang mengisahkan: Suatu ketika Abu Hafsh an-Naisaburi bersama
Abdullah ar-Ribathi dan sckclompok orang datang padaku. Dalam rombongan itu ada
seorang berkepala botak dan tidak suka berbicara. Pada suatu hari orang ini
herkata kepada Abu Hafsh, “Orang-orang yang datang sebelum Anda memiliki
tanda-tanda yang tampak —yakni karamah— sementara Anda tidak memiliki hal yang
sama seperti mereka. ”Maka Abu Hafsh mengajak orang itu sembari berkata. “Kemarilah!”
Kemudian ia diajak mendatangi tukang besi, di situ ada perapian yang sangat
besar yang di dalamnya terdapat potongan besi besar yang sedang dibakar. Ia
memasukkan tangannya ke dalam perapian dan mengambil besi yang sedang terbakar
untuk dikeluarkan, maka besi yang terbakar itu dingin seketika di tangannya.
Lalu Ia bertanya kepada orang tadi, “Cukupkah ini untuk Anda?”
Sebagian dari mereka bertanya tentang maksud dan makna
mempertihatkan karamah tersebut dari dirinya. Maka ia menjawab, “Karena ia
selalu mengawasi kondisi spiritualnya lalu ia takut akan kondisi spiritualnya
berubah bila hal itu tidak ditampakkan kepada orang yang memintanya. Sehingga
hal itu suatu perlakuan khusus yang diperkenankan dalam kondisi tertentu karena
kasihan terhadap orang yang menyaksikan dan untuk melindungi kondisi
spiritualnya serta menambah keimanan orang yang menyaksikan.”
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaihan —dimana pada masa
mudanya ia pernah bersahabat dengan Abu Abdillah al-Maghribi— yang berkata:
Suatu hari Abu Abdillah menyuruhku untuk mengambil air untuknya. Kemudian aku
mendatangi tempat yang ada airnya. Ternyata tiba-tiba aku bertemu binatang buas
yang sama-sama hendak menuju ke tempat air itu. Kami bertemu di jalan yang
sempit untuk mcnuju ke tempat tersebut. Suatu ketika binatang buas itu berebut
denganku, dan di saat yang lain aku berusaha berebut dengannya, sehingga aku
bisa mendahuluinya dan sampai di tempat air lebih dahulu.
Dari Ahmad bin Muhammad as-Sulami berkata: Saya pernah
datang ke rumah Dzun Nun al-Mishri, pada saat itu di depannya ada baskom yang
terbuat dari emas, sedangkan di sekelilingnya ada potongan dahan pohon gaharu
dan minyak ambar yang dibakar. Kemudian ia berkata kepadaku. “Anda termasuk
orang-orang yang datang kepada para penguasa di saat mereka bahagia. Kemudian
Ia memberiku sekeping dirham yang kemudian kuberikan kepada seorang yang
sombong.”
Dikisahkan dari Dzun Nun al-Mishri —rahimahullah— barangkali
ia pernah mematahkan pohon gandum dengan giginya seperti hewan.
Dan dari Abu Said al-Kharraz —rahimahullah— yang berkata:
Dalam kondisi spiritualku bersama Allah, Dia selalu
memberiku makan setiap tiga ban sekali. Kemudian aku memasuki daerah padang
pasir, dan sudah lewat tiga hari aku tidak makan apa pun. Dan pada hari keempat
aku sudah lemas, lalu aku duduk di tempatku, tiba-tiba aku mendengar suara
tanpa rupa yang bertanya kepadaku, “Wahai Abu Said mana yang engkau sukai:
diberi sarana (sebab) atau kekuatan?” Aku bangkit dan bcrkata, “Tidak, aku
hanya ingin kekuatan.” Lalu aku berdiri dari waktuku dan aku telah merdeka dan
bebas dari ketergantungan. Kemudian setelah itu aku lanjutkan perjalanan selama
dua belas hari dan aku tidak makan apa-apa. tapi perutku tidak terasa perih.
Dari Abu Umar al-Anmathi berkata: Aku bersama guruku sedang
berada di daerah pedalaman. Tiba-tiba hujan deras mengguyur kami, kemudian kami
masuk ke dalam masjid untuk berlindung dari air hujan. Ternyata di atapnya ada
yang bocor, akhirnya aku dan guruku naik untuk membcnahi atap yang bocor itu.
Kami mencari kayu untuk kami sandarkan di dinding untuk kami jadikan tangga
naik, tapi kayu itu tidak cukup karena ukurannya pendek. “Ulur dan panjangkan,”
kata guruku memerintahku. Lalu aku menariknya, ternyata bisa memanjang dan kami
bisa naik ke dinding dari sini dan sana.
Abu Umar bercerita: Saya pernah di rumah Khair an-Nassaj,
kemudian ada seseorang datang kepadanya. “Wahai Syekh, kemarin saya melihat
tuan menjual basil pintalan seharga dua dirham. Saya datang kemari ingin
‘mengurai’ (meminta, pent.) dua dirham tersebut dari ujung sarung tuan,
sementara tanganku menggenggam pada telapak tanganku yang lain (tak bisa
membuka),” tutur laki-laki yang datang itu kepada Khair an-Nassaj Maka Khair
an-Nassaj tertawa dan memberi isyarat dengan tangannya ke tangan orang itu, lain
ia membukanya. “Pergilah, dan dengan dirham ini silakan Anda membeli sesuatu
untuk keluargamu, dan jangan kembali lagi kepadaku untuk urusan yang sama.”
Yang Lebih sempurna Dibanding Karomah
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya mendengar Thalhah al-’Asha’idi di Basrah berkata: Saya mendengar al-Muqhi sahabat Sahi bin Abdullah berkata: Sahi bin Abdullah sabar tidak makan selama tujuh puluh hari, dan apabila makan ia akan lemah. namun ketika lapar ia justru kuat.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya mendengar Thalhah al-’Asha’idi di Basrah berkata: Saya mendengar al-Muqhi sahabat Sahi bin Abdullah berkata: Sahi bin Abdullah sabar tidak makan selama tujuh puluh hari, dan apabila makan ia akan lemah. namun ketika lapar ia justru kuat.
Dari Abu al-Harits al-Aulasi —rahimahullah— berkata:
Selama tiga puluh tahun aku tidak pernah mendengar lisanku berkata kecuali
hanya dari dalam hati kecilku. Kemudian kondisi spiritualku berubah, dan
kemudian tiga puluh tahun lagi aku tidak pernah mendengar suara hati nuraniku
kecuali hanya dari lisanku.
Dikisahkan dari Abu al-Hasan al-Muzayyin yang berkata: Abu
Ubaid al-Busri, jika telah memasuki awal Ramadhan ia akan masuk rumahnya, dan
berpesan kepada istrinya, “Tutuplah pintu selama bulan Ramadhan, dan setiap
malamnya kirimlah aku roti lewat lubang jendela.” Tatkala Idul Fitri tiba, ia
membuka pintu dan istrinya memasuki kamar tersebut. Ternyata si istri menemukan
tiga puluh potong roti yang diletakkan di sudut kamar. Ia tidak makan, minum
dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk shalat, tapi tidak pernah telat satu
rakaat pun dalam menjalankan shalatnya.
Dikisahkan dari Abu Bakar Muhammad bin Ali al-Kattani
—rahimahullah— berkata. “Aku tidak pernah sama sekali menitipkan sesuatu
pada hatiku kemudian ia mengkhianatiku.”
Dari Abu Hamzah ash-Shufi berkata: Ada seorang penduduk
Khurasan datang kepadaku. Ia bertanya tentang makna aman. Kemudian aku katakan,
“Setahu saya adalah seseorang andaikan di sebelah kanannya ada binatang buas
dan di sebelah kirinya ada pagar atau benteng kemudian ia tidak bisa membedakan
ke mana ia akan berlindung.” Kemudian orang Khurasan itu berkata padaku, “Ini
baru ilmu, coba berikan padaku hakikat untuk menjawab pertanyaanku tersebut.”
Aku terdiam. Kemudian orang itu berkata. “Ambil apa yang aku katakan ini wahai
Abu Badzhakhat, ‘Setahu saya adalah scseorang andaikan ia keluar dan Timur dan
ingin menuju ke Barat, maka dalam jarak tersebut sirr (rahasia hati)nya tidak
berubah sama sekali.” Abu Hamzah berkata: Mendengar jawaban itu, maka selama
empat puluh hari —siang dan malam— aku tidak makan dan tidak tidur sampai ilmu
tentang apa ia katakan itu tampak jelas padaku.
Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya mendengar
Abu Amr bin ‘Ulwan bercerita: Ada seorang pemuda menemani al-junaid
—rahimahullah—. Anak muda itu memiliki hati yang cerdik, dan barangkali Ia bisa
berbicara tentang apa yang terlintas di benak orang lain dan apa yang diyakini
dalam rahasia mereka. Cerita anak muda ini disampaikan kepada al-Junaid. Lalu
ia memanggilnya. “Benarkah kabar yang saya dengar tentang diri Anda?” tanya
al-Junaid kepada pemuda itu.
“Saya tidak tahu, akan tetapi silakan Anda meyakini apa saja
dalam hati Anda sesuai dengan keinginan Anda,” jawab pemuda itu.
“Sudah, saya telah meyakini sesuatu,” tutur al-Junaid.
“Anda berkeyakinan demikian dan demikian,” kata pemuda itu kepada al-Junaid.
“Tidak benar!” sanggah al-Junaid.
“Cobalah sekali lagi Anda bcrkeyakinan.” pinta pemuda itu kepada al-Junaid.
“Sudah, saya telah meyakini sesuatu,” tutur al-Junaid.
“Keyakinan Anda adalah demikian dan demikian,” kata pemuda itu.
‘Tidak benar!” sanggah al-Junaid.
“Silakan Anda berkeyakinan sesuatu yang ketiga kalinya,” pinta pemuda itu.
“Sudah. Saya telah meyakini sesuatu,” tutur al-Junaid.
“Keyakinan Anda adalah demikian dan demikian,” kata pemuda itu.
Tidak benar!” kata aI-Junaid.
Allah, ini cukup aneh. Anda mcnurut kami adalah orang yang jujur dan bcnar, siapa tahu apa yang ada dalam hatiku. namun Anda mengatakan tidak!” kata pemuda itu.
“Anda berkeyakinan demikian dan demikian,” kata pemuda itu kepada al-Junaid.
“Tidak benar!” sanggah al-Junaid.
“Cobalah sekali lagi Anda bcrkeyakinan.” pinta pemuda itu kepada al-Junaid.
“Sudah, saya telah meyakini sesuatu,” tutur al-Junaid.
“Keyakinan Anda adalah demikian dan demikian,” kata pemuda itu.
‘Tidak benar!” sanggah al-Junaid.
“Silakan Anda berkeyakinan sesuatu yang ketiga kalinya,” pinta pemuda itu.
“Sudah. Saya telah meyakini sesuatu,” tutur al-Junaid.
“Keyakinan Anda adalah demikian dan demikian,” kata pemuda itu.
Tidak benar!” kata aI-Junaid.
Allah, ini cukup aneh. Anda mcnurut kami adalah orang yang jujur dan bcnar, siapa tahu apa yang ada dalam hatiku. namun Anda mengatakan tidak!” kata pemuda itu.
Al-Junaid tersenyum sembari berkata, “Anda benar wahai
saudaraku, baik yang pertama, kcdua dan juga yang ketiga. Saya hanya ingin
mcnguji Anda, apakah Anda berubah dari kondisi Anda semula atau tidak.”
Dari Ja’far al-Khuldi —rahimahullah— yang berkata: Saya
mendengar al-Junaid bercerita: Al-Harits al-Muhasibi pernah datang ke rumahku.
Namun pada saat itu aku tidak memliliki makanan enak yang bisa aku berikan
kepadanya. Kemudian aku pergi ke rumah pamanku dan mengambil sesuatu. Aku
membawa sesuap makanan. Kemudian Ia membuka mulutnya, akhirnya makanan itu aku
masukkan ke dalam mulutnya. Akan tetapi makanan itu tidak ditelannya, dan hanya
dipindah dari satu sudut mulut ke sudut yang lain, kemudian Ia berdiri dan
keluar, lalu membuang makanan itu dari mulutnya di gang sempit. Aku pergi
membuntuti di belakangnya, lalu aku bertanya, hai pamanku, aku melihat engkau
tidak menelan makanan yang ada di mulut itu tapi kemudian engkau berdiri dan
keluar kemudian membuang makanan itu di gang kecil.” Ia menjawab. “Benar wahai
anakku. Sebab antara aku dengan Allah sudah ada perjanjian, bahwa bila ada
sesuatu yang bukan karena-Nya maka aku tidak siap menelannya. Aku membuka
mulutku hanya untuk menyenangkan hati Anda, namun aku tidak siap menelannya,
maka aku berdiri dan membuangnya di gang kecil itu.”
Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Haddad yang berkata: Abu
Turab selalu mengawasiku ketika aku berada di daerah padang pasir. Saat itu aku
sedang duduk di dekat kolam, dan selama enam belas hari aku tidak makan dan
juga tidak minum air dari kolam tersebut. “Untuk apa Anda duduk di sini?” tanya
Abu Turab kepadaku. “Aku di antara ilmu dan yakin, aku mcnunggu siapa yang bisa
mengalahkan, maka aku akan bersamanya,” jawabku. Abu Turab berkata kepadaku,
“Anda akan memiliki suatu nilai.”
Abu Abdillah al-Hushri —rahimahullah— berkata: Saya melihat
orang Sufi selama tujuh tahun tidak makan roti. Saya juga melihat seorang
laki-laki selama tujuh tahun tidak minum air. Saya juga melihat seseorang jika
Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan yang ada syubhatnya maka
tangannya tidak bisa bergerak.
Dan Ja’far al-Mubarqa’ yang berkata: Sejak tiga puluh tahun
aku tidak mengikat janji apa pun dengan Allah, karena khawatir perjanjian itu
batal, schingga Dia mendustakan apa yang aku katakan.
Abu Bakar az-Zaqqaq —rahimahullah— berkata: Saya pernah
mengadakan perjalanan dengan Ismail as-Sulami. Kemudian as- Sulami terjatuh
dari atas bukit yang mengakibatkan ruas kakinya patah. Kami menangis atas
kejadian ini. Kemudian ia berkata, “Mengapa Anda ini? Janganlah bersedih. Kaki
itu adalah potongan tanah, apabila mengering kita akan sambung.”
Kisah-kisah semisal ini banyak sekali. Sedangkan yang belum
kami sebutkan jauh lebih banyak. Semuanya memiliki makna yang lebih jauh dan
lebih dalam daripada karamah yang kami sebutkan sebelumnya. Semua yang kami
sebutkan telah cukup menjadi pelajaran bagi orang yang mau berpikir secara
sehat dan paham.
Sumber: http://sufinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar