"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Sabtu, 22 Januari 2011


APAKAH TASAWWUF BID'AH ?
Drs. H. Engkir Sukirman, M.Sc.
Peneliti Utama di Badan Tenaga Nuklir Nasional,
Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan.
E-mail : skm2792@batan.go.id
HP : 08170813298

Abdul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi'in yang hidup sezaman dengan Hasan Al Bisri (w. 110 H/728 M.) mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw., tasawwuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya". Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan: Apakah Tasawwuf Bid’ah?. Memang benar, tidak ada istilah tasawwuf pada zaman Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti sikap :
a. Tawadhu (rendah hati bagaikan padi makin berisi makin merunduk),
b. Wara’ (bersifat hati-hati dalam segala hal),
c. Zuhud (dunia diletakkan dalam genggaman tangan tidak di dalam hati),
d. Qona’ah (merasa cukup dengan yang ada),
e. Tha’at (menjalankan seluruh perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya),
f. Istiqomah (konsisten dan berkekalan dalam beribadah),
g. Mahabbah (mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada yang lain),
h. Ikhlas (beribadah semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah),
i. Shabar (tangguh dalam menjalankan ibadah dan dalam menghadapi cobaan),
j. Ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah sepanjang hayatnya dengan khusyu.
k. dan sifat-sifat terpuji (mahmudah) lainnya.
Kumpulan dari sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawwuf.
Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawwuf, beliau tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawwuf. Akan tetapi, beliau memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud). Kalau kita cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawwuf.
Kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qona'ah, taubat, muraqabatullah, 'iffah, dan lain-lain. Anda boleh memberi nama untuk sederet istilah itu dengan nama Tasawwuf. Namun kalau anda tidak suka dengan istilah Tasawwuf dengan alasan istilah tersebut tidak dipakai pada zaman Rasulullah saw, pakai saja istilah lain seperti yang digunakan Imam Ahmad yaitu ilmu zuhud. Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawwuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah nama.
Adapun makna Tasawwuf, bisa dilacak dari asal-usulnya. Para ahli mengatakan bahwa:
a. Suf (bulu domba), yang biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang sufi yang berasal dari Syiria. Mereka memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang kesederhanaan dan kesucian.
b. Ahli Suffah, yaitu orang-orang yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah yang karena kehilangan harta benda, mereka berada dalam keadaan miskin dan tidak memiliki apa-apa. Oleh karena itu Rasulullah saw mendirikan ruangan khusus di samping Masjid (Masjid Nabawi) sebagai tempat tinggal mereka dan di situ mereka dididik dalam ilmu agama.

Mereka tinggal di serambi Masjid Nabawi dan tidur di atas batu dengan bantal memakai pelana kuda. Pelana disebut suffah. Ahli Suffah berhati baik dan mulia, tidak mementingkan keduniawian yang bersifat materi, tetapi berpolakan pada kehidupan yang bersifat im-material (ruhani). Mereka miskin harta, tetapi kaya budi yang mulia, mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan yang sangat kuat, tawakkal dan ikhlas. Kehidupan mereka diabadikan dengan megahnya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw pernah berkata kepada Abu Hurairah, Ahli Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, hatinya tidak terikat kepada seorang manusia pun kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan iman dan keyakinan telah menguasai jiwa mereka dimana dienullah dan rasa ketuhanan benar-benar telah berfungsi di dalam batinnya. Mereka berdo’a dengan merasa berkomunikasi dengan Tuhan, sehingga mereka merasa berkekalan bersama Allah. Oleh karena itu mereka berkata, Laa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun. Sebagaimana Firman Allah, Bahwa sesungguhnya wali-wali Allah itu tidaklah ada rasa ketakutan atas mereka dan tidak ada pula rasa duka-cita, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa (QS. Yunus: 62-63).
c. Safa (suci). Orang-orang sufi adalah orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniawian dan mereka lakukan itu melalui latihan yang berat dan lama, yang disebut riyadhoh dan mujahadah.
d. Sophia (hikmah atau filsafat). Seperti ahli filsafat, ahli Tasawwuf sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidaktahuan.
e. Saf (barisan) dalam sholat. Orang-orang sufi selalu mengambil saf pertama dalam sholat berjamaah untuk mendapatkan pahala yang utama.
f. Sufah, yakni gelar dari seorang anak Arab yang sholih yang selalu mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekati Tuhannya pada zaman sebelum Islam.
g. Sufah, yakni nama Surat ijazah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
h. Tasawwuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophos. Theo artinya Tuhan dan Sophos artinya hikmah. Dengan demikian Tasawwuf berarti hikmah ketuhanan. Pada umumnya yang berpendapat demikian adalah para orientalis.
Dalam perkembangan berikutnya, para ahli memberikan banyak definisi mengenai hal ini, sehingga Annemarie Schimmel mengatakan, sulit mendefinisikan tasawwuf secara komprehensif, karena kita hanya bisa menyentuh salah satu aspeknya saja. Walaupun susah mencari makna yang komprehensif, namun kita perlu mengutip salah satu pengertian tasawwuf yang disampaikan seorang tokoh Sufi modern yaitu Al Junaid Al Baghdadi (w. 289H.) yang menyebutkan, Tasawwuf adalah riyadhah (latihan ruhani) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat kebinatangan) dan menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Mencermati definisi ini, bisa kita simpulkan bahwa tasawwuf adalah latihan untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa yang disunnahkan Rasulullah saw.
Tasawwuf merupakan penyempurna Fiqih, demikian juga sebaliknya. Fiqih dan Tsawwuf adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan atau saling melengkapi (complementary). Seorang ahli Fiqih harus bertasawwuf, begitu juga seorang sufi harus mendalami dan mengikuti aturan Fiqih. Oleh karena itu seorang ulama ahli fiqih (Imam Malik) dengan tegas berkata: Barangsiapa mendalami fiqih tapi belum bertasawwuf berarti ia fasiq, barangsiapa bertasawwuf, namun belum mendalami fiqih berarti ia zindiq, dan barangsiapa yang melakukan keduanya berarti bertahaqquq (menjalani hal yang benar).
Tasawwuf dapat menjadikan manusia merasakan nilai-nilai ‘aqidah dan keimanan sehingga ia memiliki ma’rifat rasa (ma’rifatun dzawqiyah syu’uriyah) sesuai dengan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ahli Tasawwuf mengikuti jejak Rasulullah saw sepenuh hati, baik secara lahir maupun bathin, sehingga dia dapat merasakan persoalan-persoalan akhirat seperti melihat dengan mata kepala sendiri. Pada dasarnya Tasawwuf merupakan manifestasi ruhaniah dari masalah–masalah ‘aqidah, tidak lebih dari itu.
Objek kajian Tasawwuf adalah pelaksanaan dan pengamalan kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah secara proportional atas dasar pemahaman yang benar. As-Sunnah adalah jejak Rasulullah saw dalam bentuk perkataan, tindakan dan sifat. Sifat itu bermacam-macam, ada sifat yang nyata (lahir) dan sifat tidak nyata (bathin/maknawi/abstrak). Para sufi yang muhaqqiq (yang sampai pada tingkat hakikat) adalah manusia yang paling loba dalam menjelmakan sifat-sifat Rasulullah saw, sifat lahir maupun yang bathin; sebagaimana mereka juga menggebu-gebu untuk mengikuti jejak Nabi saw, tidak hanya dalam masalah ibadah (hablumminallah), tetapi juga dalam berpakaian, makan, minum, dan dalam bertingkah laku.
Oleh karena itu,............
Jika ada suatu informasi tentang Tasawwuf atau tentang agama pada umumnya, yang tampak secara lahiriah (leterleg) menyimpang/tiak sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits,
1. BOLEH JADI ANDA BELUM FAHAM MAKNA DIBALIK YANG TERSURAT, karena untuk memahaminya membutuhkan takwil. Ketahuilah bahwa para sufi acap kali berbicara dengan bahasa isyarat, metaphor (metafora atau kiasan) dan perumpamaan, sebagaimana banyak kita jumpai pada kata-kata dalam bahasa Arab pada umumnya dan di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Oleh karena itu jangan sekali-kali main hakim sendiri, tanyakan dulu kepada ahlinya (ahli Tasawwuf). Jangan malu bertanya, karena kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan.

2. BOLEH JADI INI ADALAH FITNAH YANG KEJI, yakni suatu rekayasa yang dibuat-buat oleh musuh-musuh Islam yang ingin menghancurluluhkan ruh Islam dan kekuatan Islam yang hakiki, dimana mereka tahu persis bahwa ruh Islam, kekuatan Islam yang hakiki itu adalah Tasawwuf. Mereka membuat dan melontarkan statement (ajaran, amalan) yang menyimpang/tidak sesuai dengan tuntuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, lalu dinisbatkan/disandarkan seolah-olah dikatakan/dilakukan/diamalkan oleh ulama pengamal Tasawwuf/Sufi.

Wahai saudaraku !. Jangan membabi buta, bersabarlah dengan mau bertanya dan berdiskusi dengan ulama Tasawwuf. BERTANYALAH.....BERTANYALAH......BERTANYALAH.......
Sebagaimana Allah SWT perintahkan kepada kita untuk bertanya kepada orang yang mengetahui ilmunya,

….maka tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahli: 43).
Perintah itu diulang lagi pada Surat Al-Ambiya: 7, dengan redaksi yang sama. Dimana ahli dzikir tiada lain adalah ulama tasawwuf.
Kenapa perintah untuk bertanya tersebut mesti diulang?. Karena Allah sangat mengetahui dan sangat mengenali watak manusia, yakni sombong dan pelupa. Oleh karena itu Allah mengulangi perintah tersebut, … maka tanyakanlah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui.
Keadaannya serupa dengan perintah bersyukur, Allah menyindir berulang-ulang di dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman. Surat tersebut berisi 78 ayat, 31 ayat berbunyi,

Nikmat Tuhan-mu yang mana lagi yang hendak engkau dustakan.
Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar