"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Senin, 23 Agustus 2010

Jadilah Manusia Ramadan Sejati
Jumat, 13 Agustus 2010 15:20 Syarief Oebaidillah
DENGAN melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadan sejatinya manusia dilatih untuk melepaskan diri dari jerat dimensi kebinatangan sehingga diharapkan dimensi spiritual atau kerohaniannya pun meningkat.
“Dengan kekuatan spiritual rohaniah manusia akan mampu mengendalikan diri dan terbebas dari syahwat negatif seperti korupsi, oto riter, tirani, pornografi , hedonistik, dan aksi kekerasan,” kata KH Wahfiuddin kepada Media Indonesia, di Jakarta, Kamis (12/8).
Mubalig yang kerap memberi ceramah di sejumlah stasiun televisi ini menegaskan seharusnya manusia memanfaatkan momentum Ramadan dengan menjalankan dan menegakan shiyam atau puasa di siang hari dan qiyam atau bangkit beribadah di malam hari. Dengan melaksanakan hal itu, manusia mampu menghentikan dirinya dari perbuatan buruk tersebut.
Dijelaskan, apabila kejahatan itu tidak juga di hentikan manusia, mereka itu masuk kategori yang disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW, “Betapa banyak manusia di bulan Ramadan ini tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali sekadar pengalaman lapar dan haus.” Itu artinya Ramadan berlalu begitu saja tidak ada peningkatan kualitas diri dan tidak juga mendapat pahala dari Allah SWT.
KH Wahfiuddin yang juga Ketua Bidang Pengkajian dan Diklat Jakarta Islamic Centre (JIC) ini mengutip hadis lainnya, “Celakalah orang yang di dalam Ramadan ini tidak mendapatkan ampunan dan berkah dari Allah SWT.”
Selanjutnya, bukan hanya tindakan ritual dengan shiyam dan qiyam, melainkan juga harus ada tindakan sosial dan politik untuk menghentikan kegiatan-kegiatan yang destruktif tersebut. Hal ini untuk menunjukkan bukti bahwa manusia yang berpuasa sebagai ‘manusia Ramadan’ yang sejati.
Manusia Ramadan itu, yakni bersikap jujur, adil, mendahulukan kepentingan orang lain, menghindari berbuat curang, korupsi, dan tirani. “Manusia jangan larut memperturutkan hawa nafsu, memperturutkan hasrat kebinatangan. Hiduplah sebagai manusia yang berjiwa luhur dengan kesadaran penuh sebagai pemimpin yang memberi teladan bagi umat dan bangsa.”.
Menurut Wahfiuddin yang juga Wakil Talqin dan Ketua Koordinator Wilayah Thariqot Qadiriyyah Naqsabandiah Abah Anom Suralaya, Tasikmalaya, segeralah buang jauh-jauh sifat kebinatangan itu sebelum terlambat. “Jangan sampai kesadaran itu tumbuh ketika segalanya sudah terlambat.”
Lebih lanjut Wahfiuddin menjelaskan ashiyam dari kata shoma artinya menahan atau mengendalikan. Dalam ritual Ramadan ada imsak artinya menggenggam atau mengerem untuk menghentikan. Dari dua istilah itu ibadah puasa intinya menahan dan mengendalikan dari dorongan hawa nafsu.
Ia menambahkan, dalam diri manusia terdapat empat syahwat utama yang menjadi ciri kebinatangan, yakni syahwat perut seperti makan minum, syahwat farji seperti libido dan seks, syahwat kalam atau hasrat bergunjing, ngerumpi atau bergosip, dan syahwat naum, yakni hasrat untuk tidur.
Sementara itu, di bulan Ramadan ini terdapat dua jenis ibadah yang menonjol, yakni shiyam, puasa di siang hari dan qiyam, bangkit mengurangi tidur di malam hari. “Nah, dua jenis ibadah ini menahan diri dari empat utama syahwat tadi,” cetus Wahfiuddin.
Kontrol diri
Hal senada dikatakan Ketua Takmir Masjid Hi dayatullah, Jakarta, KH Nawawi Hakam. Ia mengatakan puasa artinya imsak, yakni menahan dan mengendalikan diri tidak melakukan ke mungkaran. Puasa juga mendidik diri kita menjadi orang baik berakhlak mulia, turut merasakan penderitaan orang lain. Lebih dari itu, dengan puasa merasa jiwa diawasi Allah SWT.
“Puasa itu alat kontrol kita menjauhi mungkar karena merasa diawasi Allah SWT. Kita selalu terpusat pada Ilahi dan dalam pemeliharaan- Nya,” ujar Nawawi Hakam, jebolan Universitas Ummul Quro, Mekah, yang aktif mengajar di Fakultas Dasar Ulama MUI Jakarta ini.
Karena merasa selalu diawasi Allah, jauhkanlah diri dari sifat arogansi, merasa benar sendiri, perbuatan korupsi, iri hati, adu domba, dan perbuatan buruk lainnya. “Intinya berpuasa mesti ikhlas dan merasa dipantau Allah SWT sehingga mampu meninggalkan perbuatan buruk, mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu amarah menuju nafsu mutmainah yaitu nafsu yang tenang yang diridai-Nya,” pungkas Nawawi Hakam. (S-1)
Sumber:www.tqn-jakarta.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar