"Migunani Marang liyan,Ora Gawe Kapitunaning Liyan,Marsudi Luhur Ing jiwo"

Rabu, 25 Agustus 2010


Paradigma Kemanusiaan
Rabu, 18 Agustus 2010 10:25 Handri Ramadian
Apa itu manusia?
Sejak kapan kita menjadi manusia?
Semua orang cenderung mengatakan adanya manusia itu sejak lahir. Setidaknya sejak ibu mulai hamil dan mulai terbentuk janin dalam rahimnya. Janin itulah kemudian yang menjadi tubuh.
Mengapa anggapan menjadi manusia adalah sejak lahir?
Apakah disebabkan sejak tubuh dilahirkan, maka sejak itulah ”aku” disebut manusia?
Kalau begitu manusia itu yang apa?
Tubuh biologis sajakah?
Ketika kita menganggap manusia hanya sebatas tubuh material saja, berarti kita sudah terjebak pada paradigma yang materialistik.
Paradigma materialistik itu mengharapkan kita untuk berada pada suatu pemahaman bahwa sesuatu itu baru dikatakan ada atau eksis apabila sesuatu sudah berwujud secara materi. Sedangkan yang tidak berwujud secara materi dianggap tidak eksis, dianggap tidak ada.
Persoalan inilah sebenarnya yang membuat suatu perubahan yang paling mendasar pada dunia barat pasca renaissance. Dengan dalih dan semangat ilmiah, sesuatu itu baru dapat dikatakan ilmiah (scientific) bila berdasarkan fakta yang terbungkus secara materi. Hal-hal yang tidak ada fakta empiriknya dianggap tidak ada. Itulah paradigma materialistik.
Filosof muslim yang mendalami ajaran Islam dengan pendekatan yang sangat rasional akan mengatakan sesungguhnya yang paling berbahaya bagi ajaran Islam bukan ajaran Kristen dan Yahudi. Bukan pula benturan agama dengan agama. Tetapi para filosof muslim itu melihat bahwa yang paling berbahaya bagi umat Islam adalah paradigma materialistik.
Visinya tentang manusia adalah tubuh biologis. Yang dianggap sebagai manusia hanya tubuh biologis saja. Karena manusia adalah tubuh dan pusatnya tubuh adalah otak maka orang sering terpaku pada otak manusia.
Yang disebut mengajar cukup dengan memberikan inspirasi-inspirasi ke otak. Karena otak itu adalah kumpulan sel-sel, dia bekerja secara kimiawi dan sangat mekanistik. Disini, hidup manusia dianggap seperti mesin, sebuah kehidupan yang sangat mekanistik.
A. PARADIGMA KEHIDUPAN
Apa yang dimaksud dengan kehidupan?
Pada paradigma kemanusiaan, manusia mengartikan bahwa manusia hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi.
Apa itu hidup?
Hidup adalah kehadiran tubuh di bumi. Kalau kita mati tubuh kita dikubur busuk dan hancur. Maka, dengan mati, musnahlah tubuh sekaligus hidup ini. Karena sekarang belum mati dan tidak musnah, maka tubuh ini hidup masih ada di bumi.
Bumi dalam bahasa latin adalah sekulum, dari kata sekulum itulah muncul istilah sekuler. Paradigma sekuler adalah suatu pandangan hidup yang memahami bahwa kehidupan hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi ini saja.
Berbeda dengan paradigma materialistik yang menganggap bahwa segala sesuatu baru ada kalau berwujud secara materi sehingga manusia pun dianggap manusia hanya sebatas tubuh, pandangan sekuler melihat kehidupan hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi. Maka, dalam konteks ini, muncul beberapa pertanyaan: lalu apa yang kita inginkan dalam hidup ini? Apa yang hendak kita capai dalam hidup?
Semua orang akan berkata saya ingin mendapatkan kebahagiaan. Apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan itu?
Ukuran kebahagiaan bagi penganut sekuler adalah kenikmatan tubuh atau jasmani, yang dapat dirasakan sekarang di bumi ini. Bagi mereka, tidak ada kehidupan lain selain kehadiran tubuh yang sekarang. Tidak ada kehidupan nanti kehidupan disana. Kehidupan hanya kini disini, di bumi.
Akibatnya, kebahagiaan yang diukur dari kenikmatan jasmani atau biologis harus disingkirkan, karena ini merupakan pola hidup Hedonisme. Konsekuensinya, kejarlah semua yang diinginkan sekarang juga, disini juga. Raih dan miliki, dapatkan dan ambil. Kuasai sekarang juga, disini juga. Mumpung masih di bumi.
Tak pelak, orang pun berlomba-lomba mencari kenikmatan jasmaniah. Wajar jika banyak orang menjadi stres dilanda kecemasan (anxiety). Mereka merasa kesepian. Di kala tubuh makin hari semakin tua, banyak penyakit yang menghampirinya, seperti kolesterol tinggi, asam urat, tekanan darah tinggi, diabetes dan lain sebagainya. Melihat keadaan ini, mungkinkah orang akan mencapai kebahagiaan? Yang terjadi justru sebaliknya, stres meningkat. Itu sebabnya, kebahagiaan tidak dapat kita raih jika diukur hanya sebatas tubuh jasmani saja.
Apabila orang sudah terjebak pada pola hidup hedonisme, yang menghalalkan segala macam cara, maka prinsip hidup yang dianutnya adalah tiga H yaitu: halal, haram, hantam. Kalau sudah materialistik otomatis sekuler, sehingga yang disebut kenikmatan adalah kenikmatan jasmani. Baginya tidak ada kehidupan ruhaniah nanti disana. Segala-galanya harus bisa diperoleh sekarang juga, mumpung di bumi.
Hedonisme akan membuat orang stres. Misalnya, ketika ada handphone baru dia ingin sekali memilikinya. Akibatnya, bila satu minggu saja dia belum membeli handphone tersebut, itu akan membuatnya stres. Bagaimana dia menghalau stresnya? Dia pun melakukan terobosan-terobosan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan handphone baru tadi.
Sikap hidup yang hedonis membuat orang tidak bahagia. Mengapa? Karena pola pikirnya adalah mengejar kenikmatan tubuh sesaat. Padahal, tubuh akan semakin menua dan melemah. Apabila tubuh yang semakin menua dan semakin melemah itu dipaksa harus menikmati segala sesuatu secara jasmaniah, sekarang dan disini, bukankah hal ini hanya akan menjadikan orang bertambah stres?
C. PARADIGMA SPIRITUALISTIK
Berbeda dengan paradigma materialistik yang menganggap sesuatu baru dikatakan ada apabila berwujud secara materi, paradigma spiritualistik adalah memahami sesuatu tidak hanya sebatas kehadiran tubuh di bumi, namun manusia adalah mahluk spiritual/manusia ruhaniah. Akan ada kehidupan selain di bumi sekarang ini. Allah mengingatkan bahwa manusia bukan hanya tubuh, tetapi juga ruh. Sebagaimana Allah SWT ingatkan dalam ayat-Nya berikut ini:
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS Al-Insaan, 76:1)
Ayat di atas menerangkan bahwa yang datang kepada manusia (al insan) adalah masa/waktu, artinya manusia telah lebih dahulu ada sebelum datangnya waktu. Manusia yang belum menjadi sesuatu, bahkan belum disebut sebagai sesuatu.
Itulah masa ketika manusia belum memiliki tubuh jasmaniyah, ketika ibu dan bapaknya belum kawin dan membentuk janin tubuhnya. Itulah masa ketika manusia masih dalam wujud ruhaniyah bersama ruh-ruh lain di alam lâhût, alam dimensi ke-Tuhanan, entah dimana. Ruh adalah wujud pertama manusia dalam proses penciptaannya sebelum diturunkan ke bumi dan dimasukkan kedalam tubuh jasmaniah (basyar).
Tubuh yang kita miliki ini merupakan sarana fisik semata. Pada hakikatnya manusia yang ruhaniah yang hadir ke dalam tubuh.
Tujuan penciptaan manusia
Tidaklah Aku cipta jin dan manusia kecuali untuk melayaniKu (QS Adz-Dzariyat, 51:56)
Manusia dicipta untuk memberikan pelayanan (service/`ibâdah) kepada Allah SWT. Salah satu bentuk pelayanan itu adalah dengan menjadi Wakil Allah (khalîfatullâh) di bumi guna menjalankan misi kepemimpinan (leadership / imâmah).
Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, lalu mengangkat derajat sebagian kamu lebih tinggi dari yang lain, untuk mengujimu atas apa yang telah dilimpahkanNya kepadamu. (QS Al-An’am, 6:165)
Misi kepemimpinan manusia di muka bumi antara lain mencakup: merawat lingkungan, melindungi makhluk-makhluk hidup dari kepunahan, menjaga kelestarian alam, menegakkan hukum, menebarkan kasih sayang, dan menghasilkan kemakmuran.
Persoalannya adalah bagaimana mungkin manusia yang dicipta dalam wujud ruh itu akan menjalankan misi tersebut kalau manusia tidak memiliki sarana fisik. Tanpa sarana fisik keberadaan dan fungsi manusia menjadi tidak efektif. Guna menopang pencapaian misi itulah maka Allah SWT lalu menciptakan tubuh jasmaniyah bagi manusia.
Untuk itu, kita perlu mengubah paradigma tentang manusia dan kehidupan ini. Diri kita bukan hanya tubuh tetapi ruh. Dahulu, kini dan nanti, akan ada kehidupan.
Paradigma ini penting ditanamkan ketika kita belajar tasawuf. Kalau paradigma belum digeser kemudian belajar tasawuf, apa yang terjadi? Kemungkinan yang terjadi adalah dzikir yang dilakukan tujuannya menjadi serba materi, kekinian dan kedisinian. Yaitu: supaya cepat kaya, atau ingin memiliki kekuatan supranatural seperti bisa menembus dinding dan lain-lain.
Kalaulah dalam bertasawuf yang dikejar hanya karomah-karomah, maka cepat atau lambat hal itu akan tergantikan oleh teknologi karena manusia mempunyai potensi kreatif. Belajar tasawuf akan menjadi berat bila paradigmanya masih materialistik. Sebaliknya kalau paradigma sudah diubah maka bertasawuf menjadi ringan.
Dengan mengganti paradigma materialistik menjadi paradigma spiritualistik, maka manusia menyadari bahwa dirinya adalah mahluk spiritual yang ditempatkan di dalam tubuh. Tubuh tak lain hanya berfungsi sebagai cangkang/wadah. Yang hakiki adalah yang spiritual.
Dalam kaitan ini, kita perlu menggeser pandangan bahwa kehidupan tidak sebatas di bumi ini saja. Karena sesungguhnyalah hidup itu abadi. Bukan saja di alam sini tetapi juga di alam sana (transendental).
dan mereka kekal di dalamnya" (QS. Al-Baqarah, 2:25)
Sebab itu tidak usah takut pada kematian, kematian adalah sesuatu yang pasti.
Bila paradigma sudah berubah menjadi spiritual, persoalannya bukan pada kematian yang perlu ditakuti.
Tetapi pertanggungjawaban sesudah kematian itulah yang ditakuti. Karena sejatinya, yang disebut manusia adalah manusia ruhaniah. Si manusia ruhaniah inilah yang akan dibawa menghadap Allah. Editor: Han
Sumber :www.tqn-jakarta.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar